Part 3

53 5 1
                                    

Sebelum kecelakaan......

Sudah satu jam Ana duduk di cafe Pelangi ini. Makanan san minuman yang dipesannya sama sekali tak tersentuh. Dirinya bukan ingin duduk bersantai saja. Karna seseorang lah ia bisa duduk dimeja itu memandang lekat meja yang berada dipojok kanan didepannya. Bermodalkan jaket hoodie dan kacamata baca, ia duduk tenang. Lebih tepatnya berusaha tenang meredam semua amarah yang berkecamuk dalam dirinya. ini kali pertamanha ia mengikuti seseorang yang sedang diamatibua sekarang. ia berusaha berpikiran positif, tapi semua sirna kala dua orang yang sedang diamatibua bangkit dari kursi yang ditempatinya meninggalkan cafe Pelangi ini dengan tangan yang saling menggenggam. jangan kira dua orang yang sedang diamatinua ini ialah sepasang kekasih remaja yang baru saja dimabuk cinta. faktanya dua orang yang baru saja keluar adi ialah seorang laki-laki paruh baya dengan seorang wanita yang mungkin berbeda 5 tagun dari laki-laki itu. Fakta yang lebih menyakitkannya, laki-laki paruh baya itu Ayahnya. Dirinya hendak tidak percaya tapi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. jika laki-laki bersama wanita yang bukan istrinya dan saling menggenggam tangan satu sama lain, apalagi kalau bukan selingkuh? bukti yang terpampang nyata ini sangat jelas.

Segera Ana meletakkan dua lembar uang seratus ribu untuk membayar makanan yang sudah dipesannya. Ia juga pergi meninggalkan cafe itu. Mobil Ayahnya perlahan mulai berjalan. Bergegas ia juga masuk kedalam mobilnya, mengikuti rute perjalanan Ayahnya berharap sang Ayah tak menyadari keberadaannya. 45 menit kemudian, mobil Ayahnya berhenti didepan rumah bertingkat dua komplek perumahan yang tergolong elit. Dirinya juga memarkirkan mobilnha tak jauh dari mobil Ayahnya. Ayahnya dan wanita itu keluar dari mobil memasuki runah bertingkat dua itu. Lama dirinya menunggu hingga mereka keluar kembali dengan seorang anak laki-laki berumur sekitar 7 tahun berada digendongan Ayahnya. Ayahnya terlihat sedang berpamitan, menurunkan anak laki-laki itu dari gendongannya lalu memeluk wanita itu.

Deg!

Jantungnya seperti diremas kuat sekali. Sesak rasanya. Jika wanita itu benar selingkuhan Ayahnya. Lalu siapa anak laki-laki itu? Jika anak laki-laki itu memang benar berusia 7 tahun, maka perselingkuhan ini sudah berjalan 5 tahun! karna dirinya sekarang berumur 18 tahun. Jika anak laki-laki itu benar hasil dari perselingkuhan Ayahnya, maka anak itu adik tirinya? Tidak. bahkan menyebut dengan sebutan 'adik tiri' saja membuat kepalanya berdenyut sakit. Jika perselingkuhan ini bernar-benar berjalan 5 tahun, maka Ayahnya terlalu bermain bersih tanpa cacat sedikitpun! Bagaimana bisa Ibunya tak curiga sama sekali?
Terlalu banyak kata 'jika' saat ini.

Ana tersadar dari lamunan pikirannya saat mobil Ayahnya kembali melaju keluar komplek perumahan mewah ini. Ia juga melajukan mobilnha tetap mengikuti mobil Ayahnya dengan sedikit menjaga jarak. Dilihat dari rute perjalanan mereka saat ini, ini juga rute perjalanan jika ingin pulang kerumah. Benar saja! Mobil Ayahnya memasuki komplek perumahan Permai Husada dan berhenti tepat didepan gerbang rumahnya. Satpam rumahnya bergegas membuka gerbang tinggi itu agar mobil Ayahnya bisa masuk. Ana hanya melewati rumahnya, saat ini taj ada niat sama sekali dirinya untuk pulang. Apalagi jika melihat wajah Ayahnya. Ana tertawa sumbang. Lebih tepatnya tertawa mengejek! Bisa-bisanya Ayahnya bersandiwara seperti ini. Ana sama sekali tak habis pikir. Bahkan dirinya masih terkejut dengan kenyataan pahit ini. Ayahnya memenag seorang perkerja keras. Tapi Ayahnya bukan tipe lelaki yang sibuk lalu lupa caranya memberi kasih sayang pada anak dan istrinya. Terlebih lagi Ana anak perempuan tunggal. Ibunya juga bujan wanita carir dan seorang shopaholic. Ibunya memang seorang tipe ibu rumah tangga yang baik. Cantik, perhatian, penuh kasih sayang? Apalagi yang kurang dari Ibunya? Walaupun bukan seorang wanita carir, Ibunya juga bisa mendampingi sosok Ayahnya yang tegas dan penuh wibawa. Bahkan wanita tadi tak sebanding parasnya dengan Ibunya.

Ana menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Tangannya mencengkeram stir kemudi dengan erat. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Tepat saat ia mengangkat kepalanya, matanya melihat sebuah bingkai foto berisikan dua gambar yabg berbeda di dashboard mobilnya. Kini air matanya jatuh tak terbendung lagi. Dalam foto pertama, dirinya saat umur 10 tahun tersenyum ceria. Disamping kanan dan kirinya, Ayahnya dan Ibunya menggenggam erat tangannya yang kecil saat itu. Dalam foto kedua, tepat pada haru kelulusan SMA-nya. Benar-benar potret keluarga bahagia. Sekarang gelar itu sudah tak pantas disandang lagi. Ana menangis sejadi-jadinya. Bahunya berguncang hebat. Dadanya sakit. Ana memukul-mukul dadanya sendiri berharap rasa sakitnya sekarang bisa berkurang. Sakit, sesak, kecewa, semua perasaan berkecamuk dalam dirinya. Sosok yang selalu dihormatinya, menyakiti hatinya terutama Ibunya. Kepercayaannya benar-benar hancur tak tersisa. Layaknya sebuah kaca yang pecah lalu disatukan lagi. Penuh pengorbanan dan sakit untuk menyatukan tapi tetap menyisakan bekas luka. Seperti layar flashback yang sangat cepat berkelebat dipikirannya. Layar tentang peristiwa yang bisa di ingatnya kala dirinya bersama Ayah dan Ibunya seperti film dokumenter tersendiri. Saat dirinya senang maupun sedih, tak hanya ibunya yang selalu bersamanya dan selalu mendukungnya. Tapi Ayahnya juga selalu ada berpartisipasi saat dirinya memerlukan. Tak pernah habis kasih sayang yang diberikan Ayah dan Ibunya selama ini.

Satu pertanyaan, dua kata ditujukan kepada sosok yang menyakiti hatinya saat ini.

" Ayah, kenapa? "

Dan satu pertanyaan pada sang Maha Esa Penguasa Semesta Alam

" Wahai sang Penguasa Takdir, mengapa engkau lukiskan luka padaku dan Ibuku? Sebegitu bencinya kah engkau pada kami, daging bertulang ini? "

InvisibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang