BAB 2 : DIAM

179 80 27
                                    

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Mata ini terasa sangat berat untuk dibuka. Aku meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas di sebelah kanan tempat tidurku. Aku menyalakan layarnya untuk melihat jam. Pukul enam.

Aku mengendus kesal dan segera bangkit dari kasurku menuju kamar mandi di sebelah lemari pakaianku. Sejenak aku tertegun saat menatap pantulan wajahku di cermin. Aku melihat betapa mengerikannya keadaan wajahku saat ini. Mataku bengkak dan hidungku sedikit memerah.

"Haahhhh..." aku mendesah kesal. Melihat bagaimana keadaan wajahku saat ini. Secara tidak langsung membenarkan bahwa kejadian tadi malam itu bukan mimpi.

Setelah dua puluh menit bersiap, aku keluar dari kamarku. Hal pertama yang aku pikirkan adalah wanita yang semalam. Perlahan aku memberanikan diri membuka pintu yang berada beberapa langkah dari hadapanku. Tanganku terulur untuk menggapai gagang pintu. Saat aku berhasil meraihnya, aku segera memutar gagang pintu dan mendorong pelan pintu di depanku ini. Pintu mulai tersibak, dan akupun dapat melihat suasana kamar ini. Hangat. Mungkin itulah kata yang bisa menggambarkan keadaan kamar ini. Sangat berbeda dengan keadaan tadi malam, dan wanita itu?. Aku mengedarkan pandanganku berusaha menemukan sesuatu, tapi tidak ku temukan siapapun di ruangan ini. Mungkin dia telah pergi pikirku, lalu aku segera menutup pintu.

Aku turun menuju meja makan. Saat menuruni tangga aku dibuat bingung dengan keadaan rumah yang sangat berbanding terbalik dengan keadaan semalam. Sangat rapi seperti biasanya.

Aku segera duduk di kursi tempat biasa aku duduk saat sarapan dan makan malam. Disana juga ada Ayahku. Ia menatapku dengan ekspresi yang tidak mau aku artikan.

Aku melihat hidangan di atas meja, siapa yang memasak semua ini. Karena penasaran aku menolehkan kepalaku ke arah dapur. Mataku membelalak saat menatap seseorang yang tengah berjalan ke arahku.

Itu Ibuku. ia tersenyum kepadaku. Tapi bukankah tadi malam ia pergi, tapi kenapa pagi ini ia ada di hadapanku. Bukannya aku tidak suka ia kembali, hanya saja aku bingung dengan semua ini.

Ia kemudian duduk di kursi meja makan, tetapi tidak di tempat biasa-disebalah Ayahku. Ibuku malah duduk disampingku. Ia menatapku, tatapannya sama seperti tatapan Ayahku beberapa menit yang lalu, dan aku tidak mau mengartikan tatapan itu.

Kami sibuk menyantap makanan masing-masing. Terlarut oleh pikiran masing-masing. Tidak ada lagi candaan atau gurauan yang keluar hanya untuk sekedar memicu tawa pagi ini. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Seketika dadaku sesak jika mengingat hari-hari itu.

Ibuku juga tidak menatap Ayahku, meski Ayahku berkali-kali melemparkan tatapan pada Ibuku. setelah selesai sarapan, aku segera meraih ransel sekolahku yang bewarna hitam pekat itu.

Ibuku mengelus kepalaku lembut, sangat lembut. Dan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Ada perasaan bersalah dalam sentuhan itu.

"Fuji," panggil ibuku lembut. Aku menoleh menatapnya yang tersenyum lembut padaku, selalu seperti itu.

"kau hanya perlu fokus pada sekolahmu," ucap Ibuku, aku diam menunggunya melanjutkan kalimatnya.

"jangan pikirkan apa yang terjadi tadi malam," ucapnya kelewat lembut dan aku mengangguk paham nyaris tak kentara.

"jangan khawatir. Ibu dan ayah tidak akan bercerai." dan kalimat itu berhasil membuat mataku memanas, dan pandanganku mulai berkabut oleh air mata. Namun secepatnya aku mengurungkan airmata ini. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali memaksa pergi airmata yang nyaris saja jatuh menyentuh pipiku pagi ini.

Aku segera pamit pada Ibuku yang telah berdiri di depan pintu lengkap dengan pakaian kantornya. Ibuku mencium keningku seperti biasa. Tapi, ada hal yang berubah. Tidak ada lagi kecupan mesra dari Ibu untuk Ayahku begitupun sebaliknya. Aku menelan ludah yang mendadak kering. Aku tersenyum kikuk lalu berjalan menuju mobil Ayahku.

AMBIGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang