HAII SEMUA!!!
jangan jadi silent readers yaa, hargai karya seseorang dengan cara vote dan komen :)
okeyy happy reading...
Sudah seminggu lebih aku tidak melihat Alam di sekolah. Dia juga tidak sedang mengikuti olimpiade atau perlombaan, karena jika memang benar pasti berita itu sudah tersebar di seluruh penjuru sekolah. Aku tidak merasa kehilangan, sungguh. Aku hanya penasaran kenapa dia tiba-tiba menghilang. Terlebih kemarin Pak Marko menanyaiku seputar mementori Alam tentang pelajaran matematika.
Pak Marko terkejut karena aku belum juga memulai mementori alam. Sebenarnya aku dapat menolak, tetapi insentif yang diberikan sekolah terlalu menggiurkan.
Peraturannya adalah jika seorang siswa mementori siswa lainnya, maka ia akan mendapatkan tambahan poin, dan poin ini sangat dibutuhkan untuk menambah nilai dalam menentukan peringkat sekolah. Dengan syarat siswa yang menjadi tutor harus menyerahkan laporan yang berisi materi, serta tanda tangan dari siswa yang dimentori.
"Lakukanlah secepatnya, agar Bapak bisa melaporkannya kepada pihak akademik sekolah. Dan menambah poin pada nilaimu."
Begitulah kira-kira yang diucapkan Pak Marko sebelum aku meninggalkan ruangnya kemarin.
Aku masih terpaku menatap kertas putih di hadapanku. kertas yang berisi beberapa laporan kegiatan. Aku memijit pelan pelipis mataku dengan tangan kanan. Aku memejamkan mata mencoba mencari ketenangan.
"Memikirkan sesuatu?" aku yakin pertanyaan itu ditujukan untukku, tapi aku masih melanjutkan kegiatanku.
"Kau berusaha mengabaikanku?" kali ini dia bertanya dengan nada sedikit serius. Aku menghela nafas lalu menghentikan kegiatanku, membuka mata dan menatap seseorang yang tengah duduk di hadapanku.
Dia tersenyum tepat ketika aku menatapnya. Rangga.
Laki-laki ini selalu datang dan menemaniku ketika aku tengah belajar di perpustakaan. Meskipun pada hari pertama aku sempat mengusirnya, karena dia terus mengajakku berbicara. Dia selalu mengoceh di hadapanku, meski tak jarang mendapat tatapan amarah dariku. Dia juga tidak memaksa jika aku tidak menjawab ucapannya. Awalnya aku sedikit canggung, bukan. Aku sangat canggung berada di dekatnya. Karena tidak pernah orang yang mengajakku berbicara seperti dia.
Dia selalu tersenyum ketika aku merespon ucapannya, meski tidak semua. Aku tidak tahu berapa banyak dia mempersiapkan topik pembicaraan, karena dia seperti tidak kehabisan topik. Cara dia menempatkan diri membuat rasa canggungku terhadapnya perlahan hilang.
Aku tidak tahu apa tujuannya datang ke sini. Karena selama seminggu ini dia hanya membolak-balikan halaman buku tanpa membacanya. Terkadang dia juga sibuk dengan ponselnya ketika aku mulai menyuruhnya untuk diam. Atau terkadang dia hanya memandangiku ketika aku tengah belajar. Laki-laki aneh.
"Kau tidak belajar?" tanyaku padanya
Dia tidak menatapku tapi malah berdiri menuju rak buku disebelah kanan sambil berkata "Tentu saja."
Aku menatap kepergiannya yang berjalan menyusuri lorong yang diapit oleh rak buku di sisi kiri dan kanan. Tak lama dia kembali dengan membawa sebuah buku ditangannya. Dia kembali duduk dan membuka buku itu. Ditambah dengan sebuah buku catatan serta pena bewarna hitam.
Dia mulai mengerjakan beberapa soal yang sudah ia tandai. Sesekali dahinya mengerut yang menandakan bahwa ia tengah serius mengerjakan soal itu. aku memerhatikan aktivitasnya sedari tadi, karena niatku kesini bukan untuk belajar. Jadi tidak ada satu bukupun yang ada di hadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIGU
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] Aku mematahkan apa yang tak seharusnya patah. Mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Jika aku menghancurkan sesuatu untuk melindunginya, apakah aku telah melakukan hal yang benar?