BAB 4: BISA

119 67 28
                                    

HAIII....

yang masih nungguin cerita ini, Happy reading yaa..

jangan lupa vote dan komen ;)

-

-

Aku keluar tepat setelah pembicaraan itu selesai. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri, lima belas menit lagi dan waktu istirahat akan segera berakhir. Aku membawa diriku ke kantin sekolah. Karena jika ke perpustakaan waktunya tidak akan cukup.

Kantin sekolah tidak terlalu jauh dari ruangan guru, jadi akan lebih baik menghabiskan waktu yang sedikit ini di sana.

Kantin terlihat sepi, tentu saja. Karena sebentar lagi jam pelajaran segera dimulai. Kantin akan sangat ramai disaat bel istirahat baru saja berbunyi. Selalu seperti itu, sehingga aku lebih suka ke kantin disaat seperti ini.

Aku masuk dan mengambil nampan makan siangku, tidak perlu mengantre untuk mengambil makan siang. Semua juru masak di sekolah begitu ramah. Mereka selalu tersenyum ketika menuangkan makanan diatas nampan para siswa. Menu makan siang hari ini adalah chicken katsu.

"Makan yang banyak," ucap salah satu juru masak padaku, aku tersenyum dan menjawab "Terima kasih." lantas bergeser ke sebelah kanan untuk mengambil air mineral yang telah disediakan.

"Boleh saya minta ini satu lagi?" ucap seseorang di sebelahku sambil menunjuk chicken katsu yang baru saja diberikan oleh juru masak sekolah. Pertanyaannya mengelitikku. Karena baru pertama kali aku mendengar seseorang yang meminta double. Aku menatapnya namun ia tidak menghiraukanku.

Kemudian aku menatap juru masak sekolah guna melihat reaksinya. Tapi tentu saja reaksinya tersenyum ramah lalu menambahkan apa yang laki-laki ini minta.

"Makanlah yang banyak," ucap juru masak itu padanya. Aku tersenyum simpul menyimak interaksi dua orang itu. setelahnya, aku berjalan menuju meja yang kosong. Disudut kanan tepat disebelah jendela kaca yang besar ini, jendela ini membuatku leluasa melihat ke lapangan basket sekolah. Begitu banyak siswa di sana, dan begitu banyak pula kegiatan yang mereka lakukan.

Pandanganku menerawang jauh menatap birunya langit di atas sana. Sampai percakapan seseorang begitu menggangguku.

"Dia selalu sendiri."

"Apakah dia normal? Dia selalu mengabaikan apa yang terjadi di sekitarnya." aku tidak tahu mereka tengah membicarakan apa, tapi itu menggangguku, sangat.

"Beberapa siswa mengatakan, dia punya kelainan mental."

"Apa maksudmu?"

"Masalah psikis." sambung salah seorang dari mereka.

Aku menoleh menatap mereka, bukan karena aku penasaran, mereka begitu mengganggu. Yang ku dapatkan adalah sekelompok siswa perempuan menatap ke arahku.

"Lihatlah dia," ucap salah seorang dari mereka, dan sekarang aku yakin mereka tengah membicarakan diriku. Tanganku mengepal hebat, menggenggam sendok ini dengan kuat. Saat aku hendak bangkit dari dudukku. Tiba-tiba seseorang memukul bahuku pelan. Sontak aku menatap ke arahnya.

"Kau selalu seperti. Aku bilang tunggu aku," ucap laki-laki di hadapanku. Aku mengernyit bingung. "Kenapa susah sekali bagimu untuk menunggu ku?" lanjutnya, dan ia segera duduk tepat di sebelah kiriku. Ia meletakkan nampan di meja lalu menoleh ke arah sekelompok siswa. Menatap mereka dengan tajam lalu berkata "Yang punya masalah mental itu kalian," ucapnya.

"apa ya--"

"Apakah kalian tidak punya kegiatan lain? Ah, aku tahu. Kalian adalah sekelompok siswa yang tidak memiliki tujuan hidup. Pantas saja kalian mengurus hidup orang lain." potongnya.

AMBIGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang