Jangan lupa comment dan tekan tombol bintang untuk ngevote yaa...
karena comment dan vote dari teman-teman adalah penyemangat buat aku nulis Hehehe
dan jangan lupa tambahkan cerita aku ke daftar bacaan teman-teman, supaya saat aku up kalian dapat notif.
okeiii... Happy reading;)
"Bertemu lagi." ia tersenyum padaku.
Aku menatapnya, seketika dahiku mengerut. Ia masih menatapku, perlahan ia sedikit menunduk guna menyamai tinggiku.
"Rangga," katanya.
Tatapan mataku turun, lalu beralih menatap name tag yang terpatri di dada bagian kiri laki-laki ini. Kemudian aku mengangguk. "Aku tahu," jawabku meninggalkannya. Ia mengejarku dan menyamai langkahku. Kami berjalan beriringan. Aku menatapnya yang juga menatapku. Lalu aku menghentikan langkah. "Ada apa?" tanyaku karena ia terus menatapku heran.
"Kau ingat aku?" tanyanya.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku menatap lekat pada satu titik, dapat aku rasakan jika ia menunduk untuk ikut melihat apa yang aku tatap.
"Aahh... karena ini?" tanyanya sembari memegangi name tagnya. Mendengar pertanyaan itu tatapanku terangkat. Dan kini menatap wajah laki-laki di hadapanku. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Hmm.. mungkin lain kali aku tidak akan memakainya," ucapnya.
"kenapa?" tanyaku. Ia menerawang beberapa saat, yang aku yakini ia tengah berusaha merangkai kata.
"Supaya kau mengingat ku," jelasnya. Aku tersenyum samar mendengar alasannya. "Aku mengingat mu," ujarku padanya, setelah itu dapat ku lihat raut wajahnya berubah. Ada kerutan kasar di dahinya.
"Kau yang duduk di depanku saat di perpustakaan tadi bukan?" tanyaku. Kemudian kerutan di dahinya hilang dan digantikan dengan senyum yang mengambang di wajahnya. Ia sangat mudah tersenyum. Itu yang bisa aku simpulkan dari laki-laki bernama Rangga ini.
"Tapi saat di perpustakaan tadi kenapa kau tidak mengingatku?" tanyanya. Aku diam sejenak. Memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan. Aku tidak mungkin menjelaskan bagaimana diriku padanya, bahkan saat aku tidak mengenalnya. Bukan, lebih tepatnya aku tidak mengingatnya.
Dia tidak akan percaya jika ku katakan bahwa aku kesulitan dalam mengingat nama dan wajah seseorang.
Aku tidak mungkin menjelaskan bagaimana diriku padanya. Dan juga aku tidak mungkin menjelaskan padanya seberapa tertutupnya aku dengan mereka yang ada di sekitarku. Maksudku, aku membuat batasanku sendiri-antara duniaku dengan dunia mereka. Bukan karena aku tidak peduli, aku hanya menjaga diriku dari kemungkinan terburuk jika aku peduli.
Dan alasan lainnya mengapa aku seperti ini, sulit bagiku untuk menjelaskannya.
Saat kesadaranku telah kembali, aku melihat ke arahnya yang tentu saja ia masih menatap ku dan aku mulai risih olehnya, lebih tepatnya merasa di intimidasi karena ia menunggu jawabanku. Aku mengedarkan pandangan ke rak-rak buku yang ada di belakangnya.
"Baiklah," ucapnya yang mulai menjauhiku. Mungkin ia sadar jika aku mulai tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Aku menghelas nafas lega.
Aku mengikuti langkahnya menuju kasir. Ia berdiri tepat didepanku, aku menatap punggungnya lalu menunduk menunggu giliran.
"Sudah selesai?" aku mengangkat kepalaku saat suara itu menyapa lembut pendengaranku.
"Sudah." laki-laki di depanku ini menjawab sambil mengangkat kantong plastik berwarna putih di tangan kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIGU
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] Aku mematahkan apa yang tak seharusnya patah. Mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Jika aku menghancurkan sesuatu untuk melindunginya, apakah aku telah melakukan hal yang benar?