Chapter 1

10.2K 782 6
                                    

Aku mengangkat tanganku dengan kerutan samar di mana kutemukan tangan putih mulus dan jenjang di sana. Cahaya lampu menimpa tepat ke retinaku dan aku merasa kalau aku telah melewatkan terlalu banyak hal hingga pada akhirnya aku berakhir membuka mata seperti ini. Aku tidak tahu, tapi di mana aku dan apa yang aku lakukan di sini. Aku bergerak dengan tidak nyaman. 

Kulepas benda di wajahku. Alat bantu pernafasan? Aku membuang benda itu dengan kesal. Aku tidak membutuhkannya. Lalu aku bangun, walau agak berat kurasakan tubuhku bergerak. Aku telah duduk dan memperhatikan sekitar. Menemukan kalau ternyata aku berada di sebuah ruangan. Ruangan yang asing. Apakah rumah sakit?

Aku kembali memperhatikan tanganku. Keduanya dan satunya ternyata ditempeli infus. Aku ingin membukanya tapi aku takut itu berdarah. Yang aku sadari adalah aku tidak menyukai darah, warna merah yang keluar dari kulitku akan membuat aku sakit kepala dan mual. Lalu aku akhirnya membiarkan saja benda itu di sana.

Aku melihat ke balik selimut. Ada gaun putih terusan sampai ke mata kakiku. Siapa yang merawatku dengan sabik ini? Bahkan gaunnya juga indah.

Tunggu, kenapa aku tidak ingat bagaimana aku berakhir seperti ini? Aku juga tidak ingat siapa diriku? Ya Tuhan, siapa aku?

Mataku menelusuri segala hal dan tidak ada yang familier. Aku juga menelusuri ingatanku dan masih sama. Segalanya buram dan tidak berjejak, apa sebenarnya yang terjadi? Siapa aku dan di mana aku? Lalu siapa orang yang merawatku. Kenapa aku tahu segala benda yang ada di sekelilingku tapi tidak kutemukan ingatan tentang diriku sendiri. Ini benar-benar buruk.

Kepalaku terangkat dan aku melihat satu sosok tinggi di sana dengan mata menatap aku dalam balutan kemarahan dan kelegaan. Dia bertemu pandang denganku dan aku memiringkan mata, melihat dia sangat tampan. Dia memiliki tatapan yang dingin tapi juga hangat, lalu warna matanya. Sangat unik. Campuran warna coklat tapi juga kuning. Aku tidak tahu ada mata seindah itu. Tunggu, aku juga tidak tahu siapa aku jadi buat apa memikirkan mata orang lain. Aku memutuskan kalau pria itu masuk daftar ke dalam pria yang aku selerakan. 

Apa aku memang senarsis ini? Aku tidak kuasa menahan senyum dalam hatiku.

Rambut pria itu berantakan. Aku kembali memperhatikan dia. Dadanya naik-turun dengan tidak teratur. Dia pasti berlari hingga sampai di sini, itu juga tampak di keringat yang mengalir pada pelipisnya. Aku tidak kuasa menahan hatiku melihat apa yang terjadi padanya. Aku bergerak ke pinggir ranjang dan dia segera beranjak ke sisiku. Dia berdiri di depanku dengan tatapan jatuh menyedihkan di mataku.

Aku mendongak dan kutegaskan di mataku pada pria itu khawatir dengan berlebihan padaku itu, aku baik-baik saja dan dia harus mulai tenang sekarang. Aku di sini dan baik-baik saja. Dia masih tidak bergerak di depanku. Tidak ada keinginan untuk bahkan sekedar menyentuhku. Harusnya itu yang dia lakukan saat dia dengan tanpa kata begitu sayang padaku. Tampaknya apapun yang menimpaku sangat menyakiti dirinya. Aku penasaran siapa pria ini bagiku?

Kuharap dia bukan saudara sedarahku. Aku harus melihat diriku sendiri, karena aku ketahuan apa kami mirip. Jika mirip maka keinginan untuk bersamanya dalam ikatan sakral pastilah mustahil sama sekali. Lagi-lagi aku berpikir terlalu jauh. Seperti apa sebenarnya aku yang dulu? Kenapa bisa senarsis ini. 

Tapi siapapun dia dan apapun hubungan kami, aku tidak bisa diam saja di sini dengan melihat ketakutan di mata indahnya itu. Jadi aku bangun, mengabaikan lemah pada persendianku. Berusaha sejajar dengannya walau itu tidak mungkin, dia sangat tinggi dan aku hanya mencapai bahunya. Aku harus mendongak untuk melihat wajahnya dan dia menunduk untuk mencari tahu apa yang akan aku lakukan. Dia sama sekali tidak berinisiatif membantuku walau dia tahu aku memerlukan hal itu.

Mungkin karena setengah dari dirinya belum percaya aku ada di depannya. Dengan utuh. Dan setengahnya lagi kesal padaku, karena aku membuat dia menunggu terlalu lama hingga berakhir sadar seperti sekarang ini. Jika dilihat dari bagaimana tubuhku sangat kaku, aku memang sepertinya memiliki banyak waktu untuk sadar. Aku tidak menyalahkan sikapnya yang demikian.

Kugerakkan tangan kananku yang tidak berinfus. Mengangkatnya dan mendaratkan telapaknya di pipinya yang tirus. Aku tidak yakin apa karena memikirkan aku yang membuat dia seperti ini. Tubuhnya tidak berisi dan tampak terlalu banyak beban di matanya. Walau dia tampak menyembunyikan segalanya tapi aku tidak mengerti, bagaimana begitu mudah rasanya membacanya. Di depanku dia seperti buku terbuka.

Kulitnya hangat, hangatnya sampai merasuk ke dalam pori kulitku dan membuat detak pada jantungku yang tampak mengenalnya berbunyi keras. Aku takut dia akan mendengar detakan jantungku. Dia mudah sekali membuat dadaku berdegup. Keinginan untuk tidak sedarah dengannya semakin kuat. Bahkan hati kecilku telah mendoakan hal itu.

Dia terkejut. Matanya melebar, warna yang indah itu tersentak. Pastinya sentuhanku yang membuatnya demikian. Apa ini pertama kalinya aku menyentuhnya? Tapi tidak mungkin, dia tampak familier sekali. Hatiku bahkan mengenalnya. 

"Apa yang kau rasakan saat ini?"

Aku mendengar tanyanya tanpa bisa menahan senyumku. Aku suka suaranya. Sangat maskulin dan juga membuat bulu kudukku meremang, bukan karena buruk tapi sebaliknya. "Baik," Aku berdehem. Tenggorokanku serak. 

"Sungguh?"

Aku mengangguk. "Tentu." Kali ini suaraku lebih baik. "Kenapa? Tidak suka aku di depanmu dan hidup?" Aku menggodanya.

Diluar dugaanku, matanya menajam dan dia tidak suka dengan apa yang aku katakan. Satu tangannya telah meraih pinggangku dan kami hampir jatuh ke ranjang. Dia tampaknya lupa kalau aku baru saja bangun dari tidur yang sepertinya panjang. Hingga tubuhku belum bisa beradaptasi dengan keadaanku saat. Lalu sentuhannya tiba-tiba menyerangku. Tapi beruntung dia segera sadar dan membantu aku tetap berdiri tapi kali ini tubuhnya adalah sandaranku.

Payudaraku yang lembut menempel di dadanya yang keras. Rasanya, aku tidak bisa menjabarkan. Aku menyukai segala hal dalam dirinya. 

Dirinya. Tatapannya. Sentuhannya. Aromanya. Segalanya. Dia tidak memiliki kekurangan di mataku.

"Jangan katakan hal semacam itu. Kau tahu kalau itu tidak benar, Bella."

"Bella?" beoku. Kupikir itu namaku. Atau itu nama panggilannya? Yang mana saja, aku menyukainya.

"Ya, Bella. Tidak ingin aku memanggilmu begitu?" suaranya terdengar kalut dan juga sedih. Kini aku tahu apa yang tidak kusuka darinya, kesedihan di matanya.

Aku menelusuri jemariku di dadanya yang bidang dan berbalut hanya baju tipis ketat. Baju yang tidak bisa menyembunyikan kekekarannya. "Aku suka. Sangat suka."

Dia diam. Menatap aku dengan mengawasi dan jelas dia tidak percaya pada pengakuanku.

"Aku sungguh suka. Aku hanya penasaran apa itu namaku atau nama panggilan sayang darimu?" Aku mengigit bibirku. Berharap kalau dia memang bukan kakakku atau sejenisnya. Dasar otakku.

"Apa maksudmu? Kau bercanda?"

Aku berdecak. "Aku tidak ingat apa-apa. Aku tidak ingat kau, semoga kita bukan saudara, aku sangat berharap akan hal itu. Aku juga tidak ingat namaku. Semuanya, aku tidak mengingatnya."

"Apa?" Dia memegang kedua bahuku dengan lembut. "Kau serius?"

Aku hanya memberikan anggukan meyakinkan. Kenapa juga aku harus bercanda. Aneh sekali dia. Bahkan saat matanya tetap menelusuri diriku dengan penuh. Dia masih tidak percaya. Apa aku dulu adalah tipikal gadis yang sering berbohong padanya? Jika itu benar, maka aku akan menjanjikan kejujuran padanya. 

***

CARVER TEPESH ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang