Chapter 5

6K 534 6
                                    

Aku tengah berada di gurun siksaan. Bagaimana tidak, mataku yang dipenuhi dengan perasaan iri ini tengah menatap dua pasangan di depanku yang sedang sibuk dengan kemesraan mereka. Sementara aku hanya bisa duduk diam di tempatku dengan pria yang mengaku sebagai suamiku tapi dengan kelakukan yang bahkan lebih asing dari orang asing sekalipun.

Kami mengadakan makan malam berempat. Harusnya aku meminta Lori membawakan saja makananku ke kamar dan tidak setuju dengan permintaan Eliya untuk makan malam bersama mereka. 

Aku tentu saja bukannya tidak suka dengan kemesraan yang ditunjukkan Caleb dan Eliya. Aku hanya iri, iri itu halal kan? Aku ingin, kalau bisa Carver sedikit saja menghargai hadirku di sisinya. Di dekatnya. Tapi itu hanya akan menjadi harapan semu belaka. Mengharapkan Carver akan berlaku seperti Caleb itu seperti mengharapkan meteor jatuh ke meja makan ini. Sebuah kemustahilan yang hakiki.

"Aku ingin bercerai..."

Aku menyendok makananku. Menghela nafas dengan kuat dan terus menunduk tidak lagi mau menatap pada pasangan di depan kami. 

"Apa yang kau katakan?"

Suara Carver yang bertanya marah terdengar dingin. Aku mengangkat pandangan dan baru sadar kalau semua orang diam dengan mata mereka yang menatapku. Semua wajah terkejut itu  tertuju padaku. 

"Katakan sekali lagi apa yang kau katakan?" Carver kembali bertanya dengan kemarahan yang menguar.

Tunggu, apa aku mengatakannya dengan keras? Aku bahkan tidak meniatkan hal itu, aku hanya mengatakannya untuk mengalihkan kekesalan dalam diriku. Tapi semua orang malah mendengarnya dengan jelas. Bibirku, lain kali aku harus mengendalikan diriku sendiri. Mengatakan hal yang tidak kau inginkan hanya karena kau marah, itu tidak baik. Otak sehatku sepertinya sedang menyembunyikan diri.

"Aku... Aku..."

"Jangan pernah katakan hal itu lagi, Bella. Bahkan memikirkannya saja kau tidak boleh, mengerti?"

Aku menatap Carver. Kemarahannya membangkitkan amarahku yang terpendam. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh mengatakannya? Kalau aku menginginkan perceraian, bukankah aku bisa mendapatkannya. Sepertinya saat aku menikah denganmu, aku sedang mabuk dan tidak sadarkan diri. Jadi aku yakin pernikahan itu tidak sah sama sekali."

Aku terkejut dengan degupan jantung keras. Melihat piring makan pria itu sudah menghantam lantai. Dia melakukannya dengan mata memerah yang siap menelanku habis-habis. Dia membuat aku takut. Tidak ada dalam waktu seminggu ini kurasakan perasaan semacam ini. Seharusnya semua ini salahnya. Jika sedikit saja dia bersikap baik padaku maka aku akan jadi kucing penurutnya. Tapi dia yang membangkitkan srigala dalam diriku. Dia dan sikap sialannya.

Kupaksa tubuhku terbangun dan menatap dia dengan mata nanar tidak yakin. Aku mencoba tidak meneteskan airmata. Di depannya, aku tidak mau terlihat menjadi gadis lemah yang hanya bisa menangis cengeng. Dia tidak akan mendapatkan kelembutan lagi padaku. 

"Kenapa tidak kau lempar saja piringnya ke wajahku. Apa yang menahan dirimu melukaiku. Hah?!"

"Bella, jangan menguji batas sabarku." Tangan pria itu terkepal di atas meja. Dia menahan untuk membalik meja makan itu. Bajingan terkutuk ini...

"Kau meminta aku tidak menguji batas sabarmu tapi kaulah yang menguji batas sabarku. Pikirmu aku tidak tahu, kau sangat marah karena aku bangun bukan? Kau memiliki wanita lain di luar sana? Hingga dengan kesadaranku membuatmu terkekang untuk bertemu dengan wanita itu?" Aku menatap dia tajam. Dengan tuduhan yang memang ada di kepalaku belakangan ini dan kini kukeluarkan.

Dia tergelak tanpa humor. "Kau sangat lucu. Itukah yang selama ini otak kecilmu pikirkan?"

"Kau bisa tertawa sepuasmu Carver Tepesh. Tapi aku tidak akan pernah ada di sisimu lagi untuk melihat tawa sialan itu, aku bahkan tidak pernah berada di posisi itu bukan? Bodoh sekali aku."

"Bella..."

Aku melempar lap makan ke atas meja. "Jika aku sampai masih mencintaimu setelah apa yang kau lakukan padaku, maka aku akan mengakhiri nyawa sendiri. Aku benar-benar perempuan yang menyedihkan."

Aku berbalik dan meninggalkan dia. Airmataku menetes. Sialan sekali.

***

Dan pada akhirnya aku masih mencintainya. Aku memang wanita tolol yang tidak seharusnya hiudp. Tapi apa aku benar-benar akan mengakhiri hidupku? Maka jawabannya adalah tidak. Aku terlalu pengecut untuk melakukan itu. Hanya mulutkku saja yang pandai berkoar-koar, tapi pada kenyataannya aku hanya akan berakhir seperti ini. Menangisi diri dan berdoa kapan cobaan ini akan berakhir. 

Aku sudah melemparkan diri ke atas ranjang. Merasakan sakit pada kepalaku sejak pertengkaranku dan Carver terjadi beberapa menit yang lalu. Aku tidak yakin, tapi seiring waktu sakitnya terus bertambah. Aku sepertinya tidak akan bisa menahannya lagi. Aku beberapa kali mengatur nafasnya agar sakit pada kepalaku berkurang. Itu cukup membantu akhir-akhir ini.

"Ara, apa aku boleh masuk?"

Aku mendengar suara Eliya di luar sana. Aku segera duduk dengan cepat dan menatap pintu kamarku. Berusaha terlihat baik-baik saja walau kepalaku masih terasa berdenyut. 

"Masuk, Eliya."

Pintu kamarku terbuka. Mata Eliya mencariku dan menemukan aku duduk di pinggir ranjang. Dia tersenyum dengan sedikit canggung. Langkahnya datang mendekat.

Aku membalas senyumnya. Rasa bersalah menyusup di jantungku. Aku harusnya tidak melakukan pertengkaran di makan malam pertama kami. Itu adalah cara yang buruk untuk memperlakukan tamu. 

"Eliya, maafkan aku atas apa yang terjadi barusan. Aku benar-benar tidak mengerti..."

Eliya duduk di sampingku. Dia meraih tanganku yang ada di atas pangkuannya dan menggenggamnya dengan sangat erat. Memberikan aku senyum pengertian yang membuat perasaanku luruh. "Itu bukan hal yang harusnya diberikan permintaan maaf, Ara. Aku mengerti dengan situasimu. Jika pun aku ada di posisimu saat ini maka aku pastilah akan meninggalkan pria itu."

Aku mendelik pada Eliya. "Apa kau sedang memberikan aku ide saat ini?" tanyaku menggoda.

Dia tampak bergumam. Berpikir. Lalu tertawa sendiri. Tawa itu menular, aku juga ikut tertawa dengannya. 

"Mungkin," dia membenarkan.

"Itu ide yang sangat menarik." 

"Tapi apa kau sungguh bisa pergi darinya?" Eliya tampaj ragu dengan apa yang dia tanyakan.

Aku sendiri memiliki jawaban tapi aku tidak akan mengatakannya dengan gamblang. Terlalu membuka hati juga akan melukaimu dengan sangat banyak. "Mungkin," kuikuti nada suaranya.

Kami berdua kembali tertawa dengan gelak humor yang memiliki kapasitas cukup tinggi. 

"Tapi itu bukan ide yang ingin aku berikan padamu sebenarnya."

Aku mendekat pada Eliya. "Ada ide lain?"

Eliya mengangguk.

Aku cukup antusias dengan ide apapun itu. "Katakan padaku."

Eliya mengelus dagunya, dia tampak seperti pria tua gatal yang suka menggoda anak kecil. Eliya sangat lucu. "Ini seperti sebuah ide pembalasan dendam." Dia melirik padaku dengan penuh arti.

"Balas dendam?"

"Ya, jadi kau harus melakukan persis seperti yang aku minta dan Caleb akan melindungi pria itu. Aku buat dia berjanji untuk melindunginya dan terimakasih karena dia setuju setelah aku menatapnya dengan tatapan kecewa."

Aku tidak yakin apa yang diocehkan Eliya. Satu katapun tidak ada yang bisa aku mengerti, tapi aku tentu saja mendukung ide apapun yang bisa membuat Carver sakit hati. Pria itu pantas mendapatkannya setelah apa yang dia lakukan padaku.

***

CARVER TEPESH ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang