Part: 1

44 6 0
                                    

"Telaaaaattt"

Pekikan keras terlontar dari mulut manis Uwi. Waktu menunjukan pukul enam lewat tiga puluh pagi. Baru kali ini ia bangun kesiangan, biasanya ia sudah berada disekolah, tampil memukau dan siap membantu guru menertibkan murid didepan gerbang. Tapi hari ini tidak, dan satu satunya yang bisa ia salahkan adalah saudaranya yang terbangun tengah malam dan menyelinap kekamarnya karena takut dengan suara petir. Menjengkelkan.

Dengan buru buru ia turun dari ranjangnya, menyambar handuk dan mandi dengan kecepatan kilat. Tak ada waktu untuk bersenandung, menyiapkan sarapan, menyuci baju atau menyiram tanaman seperti rutinitas hari biasanya. Ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik mengharuskan beliau pergi sebelum subuh dan Uwi mau tidak mau mengambil sebagian besar pekerjaan rumah tangga.

Uwi kira memiliki saudara kembar akan sangat menarik. Saling merias, bercerita hingga tengah malam, saling membantu pekerjaan rumah, ternyata tidak. Apalagi jika kembaranmu memiliki kapasitas otak yang tak lebih dari anak kelas 1 SD sementara usianya sudah menginjak 16 tahun. Itu menyusahkan. Keluarganya perlu menyewa babysitter entah sejak mereka berumur berapa agar si'bodoh' itu tak berakhir mencabut keran kamar mandi hingga menyebabkan rumahnya terendam air, atau membakar setengah dapur ketika ia berusaha memasak, bahkan mungkin saja jika tidak diawasi ia akan menancapkan garpu di stop kontak.

Uwi benci Ale –si'bodoh' yang menyebabkan hidupnya penuh penderitaan.

Saat Uwi sedang mencari sesuatu untuk sarapan di meja makan, Ale keluar dari kamarnya –kamar Uwi- dengan tampilan seperti gembel. "Ale, aku nggak sempet bikin sarapan. Makan roti ini aja, ya" Uwi menepuk nepuk satu bungkus roti dimeja, dan memasukan beberapa bungkus kedalam tasnya.

Seperti Ale memiliki nalar lebih saja untuk protes.

Kening Uwi berkerut ketika ia menyadari ada bagian basah dicelana saudaranya, lalu mengerang, "Kamu ngompol?! Dikamarku?!" sambil memijat pelipisnya yang tiba tiba sakit ia melangkah cepat menuju kamarnya dan mengumpat ketika melihat ada noda berbau tak sedap di kamarnya, lalu berbalik untuk memarahi saudaranya.

"Maaf Uwi, Ale nggak sengaja" cicit Ale. " –Ale nggak sengaja" ia tak berani menatap wajah Uwi. Yang ia lakukan hanya menatap kakinya dan memainkan jari tangannya.

Menyedihkan!

Seberapa keras Uwi ingin memaki mahluk didepannya, ia tetap tak bisa. Semenyedihkan atau se-bodoh apapun Ale, ia tetap saudara kembarnya. Wajah mereka sama. Bahkan Uwi rasa ia tengah melihat bayangannya sendiri dalam bentuk yang lebih menyedihkan.

"Berhenti bersikap menyedihkan! Buka bajumu, dan cepat mandi. Aku akan menyiapkan air untukmu, lalu bantu aku menjemur kasurku. Kita tak punya banyak waktu, jika kamu lamban akan aku tinggal dalam keadaan telanjang!"

Dengan gesit Uwi menyiapkan peralatan dan air mandi untuk Ale. Jika itu ibunya, beliau dengan suka cita akan memandikan Ale. Uwi? Gadis itu tak meninggalkan saudaranya dalam keadaan bau saja sudah patut disyukuri. Uwi mengawasi Ale mandi didepan pintu kamar mandi. Jika diteliti, ternyata tubuh Ale lebih berisi dan lebih tinggi dari Uwi.

Setelah mandi dan memberi pakaian yang layak untuk Ale serta menjemur kasurnya yang terkena ompol Ale, Uwi segera berangkat sekolah. Jam sudah menunjukan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Entah beruntung atau tidak, ini adalah hari jumat dan jam pelajaran baru akan dimulai pukul setengah delapan. Setidaknya ia tidak tertinggal banyak pelajaran.

"Ingat, kamu jangan keluar. Tetap ada didalam rumah sampai aku atau ibu pulang. Mengerti?" Ingat Uwi yang dibalas anggukan oleh Ale diiringi dengan senyuman seribu watt yang terlihat amat bodoh. "Jangan mencariku sampai ke kantor polisi karena aku telat pulang, mengerti?"

IKATAN [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang