Jantung Uwi bertalu-talu saat menuju rumahnya bersama Aldi. Sebelumnya ia tak pernah merasa sebodoh dan seceroboh ini. Berharap Ale sedang tidur siang dikamarnya atau memberi makan ikan mas dihalaman belakang rumah. Mungkin saja. Perjalanan yang hanya ditempuh tak sampai satu jam terasa berabad-abad bagi Uwi.
Uwi cemas bukan karena memperhatikan Ale atau mengkhawatirkan keselamatan hidup saudaranya tapi lebih pada takut akan amukan ibunya. Mungkin sang ibu akan memenggal kepalanya atau memasukan ia ke pesantren seperti yang sering beliau ancamkan ketika Uwi melakukan hal hal yang dianggapnya membuat sakit kepala. Lagipula, enam belas tahun hidupnya sudah berpusat pada Ale walau Uwi tak tahu juga apa alasannya. Selalu saja 'Jaga Ale', 'Ajak Ale bermain', 'Belikan Ale makanan ringan', 'Antar Ale potong rambut' seperti pusat kehidupan berporos pada Ale saja. Batin Uwi bergejolak.
"Uwi, turun. Udah sampai" Perkataan Aldi membuat Uwi kembali dari dunia nya sendiri. Sudah ia tebak, ia lupa mengunci pintu baik pintu pagar maupun pintu rumahnya. Jantungnya kian bergemuruh dan dengan buru buru ia memasuki rumahnya disusul dengan Aldi yang lebih dulu memarkirkan motor dihalaman rumah.
"Ale.." Seru gadis berambut panjang itu sesaat setelah memasuki ruang tamu. Kosong dan senyap. Ia memeriksa setiap ruangan yang ada, mulai dari kamar Ale, kamarnya, dapur, kamar mandi, halaman belakang, tak ada tanda tanda saudaranya itu. "Ale.." Demi apapun Uwi ketakutan.
"Uwi"
Uwi tak merespon panggilan Aldi. Ia ketakutan.
"Uwi"
"Uwi, cari didepan. Ayo!"
Aldi menarik tangan Uwi yang tengah bersandar ditembok dekat kamarnya. Tangannya dingin. Aldi tahu, sekeras apapun Uwi ingin membenci kakaknya, ia tetaplah adik yang sangat menyayangi sang saudara (tanpa gadis itu sadari). 'Tak ada saudara yang saling membenci. Mereka selalu saling menyayangi dengan versi mereka sendiri' Aldi yakin itu.
"Loh, Aldi, Uwi. Kalian lagi ngapain?" Sapa seorang wanita paruh baya yang rambutnya tergelung rapi dengan pakaian semi formal dengan raut wajah menenangkan walau ada beberapa kerutan diwajahnya. Aldi segera melepas tangan Uwi dan mencium tangan wanita itu, disusul oleh Uwi. "Baru pulang atau sudah daritadi? Ibu habis dari warung"
"Baru, tante" Jawab Aldi dengan sopan, diikuti anggukan dari Uwi.
"Bu, Ale –"
"Ale sama Ibu, Uwi. Kamu ceroboh sekali pergi tanpa mengunci pintu rumah dan pagar. Gimana kalau ada orang masuk, gimana kalau ada apa apa sama kakak kamu? Kamu tahu, ibu ketemu kakakmu diujung jalan saat ibu pulang kerja, tanpa alas kaki. Telat sedikit mungkin ia sudah dijalan raya, bagaimana jika dia hilang Uwi? Dia kakak kamu. Dan tahu dia bilang dia nunggu adiknya pulang sekolah. Tolong jaga dia, Wi"
Ibunya mulai berceramah dan Uwi tidak dengan mood yang baik untuk mendengarkannya. "Bu, Uwi juga coba buat jaga Ale. Tapi Uwi sekolah, dan Uwi hari ini kesiangan, Bu. Nggak setiap waktu Uwi bisa jaga Ale. Uwi juga pengin main"
"Uwi, Ibu Cuma minta kamu jaga Ale. Dia butuh teman, dia kakakmu"
"Kakak cacat, bu?"
"Uwi, kakak kamu nggak cacat!"
"Ale cacat, dan ibu harus terima itu!"
Sebelum mendengar jawaban sang Ibu, Uwi segera berlari keluar rumah. Mengabaikan panggilan Ibu dan Aldi yang bingung dengan situasinya. Hatinya dongkol, marah, iri dan kecewa. Tak pernahkah ibu membela dia sekali saja? Sampai dihalaman luar ia melihat Ale yang sedang bermain dengan kucing liar, perasaanya makin kacau.
"Uwi, lihat ada kucing kecil. Ale boleh pelihara?" Ale menunjukan seekor kucing kecil bewarna putih yang sedang ia beri makan. Senyumnya yang mengembang perlahan meredup melihat wajah marah Uwi.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKATAN [ON GOING]
Teen Fiction"Mungkin ini yang dimaksud ikatan antarsaudara. Sedalam apapun kamu membencinya, kamu akan tetap menemukan ruang untuk menyayanginya" Project: 29 Januari 2020-Maret 2020