BAGIAN 4

670 22 1
                                    

Inilah sulitnya tata kepemerintahan. Tidak semua orang bisa mudah memahaminya. Itulah sebabnya, para putra mahkota yang dipersiapkan menggantikan ayahnya, sudah dibekali ilmu-ilmu tata kepemerintahan sejak masih berusia muda. Di samping juga, dibekali ilmu-ilmu keprajuritan dan ilmu-ilmu kesaktian. Dan tentu saja harus lebih tinggi daripada para panglimanya. Tapi memang, tidak semua putra mahkota memiliki keinginan mempelajari ilmu keprajuritan dan kesaktian. Bahkan tidak banyak yang justru menggemari pola kepemimpinan atau ilmu-ilmu sastra.
Hal itu dijelaskan Rangga secara gamblang, sehingga membuat kepala Pandan Wangi terasa begitu pening. Gadis itu memang sulit memahami ilmu-ilmu keprajuritan. Apalagi ilmu tata kepemerintahan. Dia sudah terbiasa mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan itu sudah didapatkan sejak masih kecil. Tanpa terasa, mereka terus berbicara sambil berjalan menuruni Lereng Gunung Haling ini. Dengan demikian mereka semakin jauh meninggalkan puncak gunung itu.
"Kakang..." desis Pandan Wangi tiba-tiba. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu mendadak menghentikan ayunan kakinya. Dan Rangga yang berjalan di sampingnya jadi ikut berhenti. Langsung ditatapnya Pandan Wangi dalam-dalam.
"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga melihat Pandan Wangi hanya diam saja memandanginya.
"Kita sudah menjelajahi seluruh Gunung Haling dari bawah sampai ke puncaknya. Dan di puncak gunung ini, tidak ada yang bisa ditemukan selain...," Pandan Wangi menghentikan ucapannya.
"Selain apa, Pandan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Hanya ada satu gua di puncak gunung itu. Dan letaknya tidak terlalu jauh dari tempat pertempuran Bibi Dewi Selendang Maut dan Paman Pendekar Bayangan Dewa," jelas Pandan Wangi, begitu sungguh-sungguh suaranya.
"Maksudmu...?"
"Apa tidak mungkin mereka, atau salah satu dari mereka, ada di dalam gua itu. Kakang," kata Pandan Wangi mengemukakan jalan pikirannya yang tiba-tiba saja muncul.
"Kau benar, Pandan...," desis Rangga agak tersentak. seperti baru diingatkan.
"Kita kembali lagi ke sana, Kakang," ujar Pandan Wangi.
"Ayolah," ajak Rangga.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua pendekar muda itu berlari cepat ke Puncak Gunung Haling. Mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga yang terlihat hanyalah dua bayangan berkelebatan di antara pohon pohon dan bebatuan.
Begitu tingginya tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua pendekar muda itu, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah tiba di Puncak Gunung Haling. Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti, Ilmu meringankan tubuhnya memang sudah mencapai ringkat sempurna. Jadi tak heran kalau Rangga lebih dahulu sampai di depan mulut gua itu daripada si Kipas Maut.
Rangga berdiri tegak memandangi bagian dalam gua yang begitu pekat, sehingga cukup sulit menembus dengan pandangan mata biasa. Sementara Pandan Wangi sudah sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya juga memandangi ke dalam gua yang gelap gulita.
"Kita masuk, Kakang..." ajak Pandan Wangi.
"Kau jangan jauh-jauh di belakangku," kata Rangga berpesan.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga sudah mulai melangkah memasuki goa yang tidak begitu besar itu. Atap gua ini memang cukup rendah, sehingga Rangga dan Pandan Wangi harus merunduk. Mereka terus melangkah perlahan-lahan menyusuri lorong gua yang gelap dan pekat ini.
"Hm.... Sulit juga menembus kegelapan di sini. Aku harus menggunakan aji 'Tatar Netra'," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti memang menggunakan aji 'Tatar Netra', sehingga bisa melihat jelas dan terang di dalam kegelapan yang begitu pekat ini. Rangga tertenyum saat berpaling ke belakang. Rupanya, Pandan Wangi tetap tidak jauh berada di belakangnya. Lorong gua ini semakin sempit dan kecil saja. Sehingga, mereka terpaksa harus merayap menyusurinya.
Rangga baru berhenti merayap ketika melihat ada titik cahaya tidak jauh di depannya. Kemudian bergegas dia merayap maju lagi, dan kembali berhenti begitu tiba di sebuah relung gua yang sangat besar dan terang benderang. Kedua pendekar muda itu baru bisa berdiri setelah berada di relung gua yang seperti sebuah ruangan.
"Kakang...," desis Pandan Wangi seraya mencolek lengan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berpaling menatap Pandan Wangi yang menunjuk ke kanan. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi menyipit ketika melihat sebuah pintu yang terbuat dari besi hitam yang tampak begitu kokoh. Bergegas kakinya melangkah menghampiri, lalu berdiri tegak merayapi pintu besi itu. Sedangkan Pandan Wangi terus mendampingi di sampingnya.
Krieeet...!
Perlahan-lahan Rangga membuka pintu besi itu. Suara berderit terdengar begitu tajam, menggelitik gendang telinga. Kelopak mata pemuda berbaju rompi putih ini kembali menyipit begitu mendapati di balik pintu ini ternyata terdapat sebuah taman yang begitu indah. Perlahan Rangga melangkah melewati pintu besi itu, diikuti Pandan Wangi yang juga jadi terlongong memandangi taman yang begitu indah.
Perlahan-lahan kaki mereka terayun memasuki taman itu. Segar sekali udara di dalam taman ini, membuat hati terasa begitu damai. Tapi kedamaian ini tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja langkah Rangga berhenti. Kepalanya bergerak perlahan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu, kelopak matanya jadi menyipit. Terdengar suara menggumam kecil yang agak mendengus dari hidung.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Pandan Wangi. Belum juga Rangga menjawab pertanyaan si Kipas Maut, tiba-tiba saja di sekitar mereka berkelebat beberapa tubuh yang langsung mengepung. Sebentar saja di sekeliling mereka sudah mengepung tidak kurang dari tiga puluh orang laki-laki berpakaian seragam kuning gading. Mereka semua menggenggam tombak panjang dan sebuah perisai berbentuk bulat seperti tudung. Tampaknya mereka seperti para prajurit sebuah kerajaan.
"Jangan...." cegah Rangga cepat ketika Pandan Wangi hendak mencabut senjata kipasnya.
Dua orang yang berada paling depan, bergerak menyingkir seperti membuka jalan. Dan dari belakang mereka tadi, terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih. Kepalanya memakai caping berukuran besar, sehingga hampir menutupi seluruh wajahnya. Hanya bagian dagu dan sedikit bibir bawahnya saja yang terlihat. Orang itu melangkah mendekati Rangga dan Pandan Wangi, kemudian berhenti setelah berjarak sekitar lima langkah lagi. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya.
"Kenapa kalian berada di sini? Dan apa maksud kalian masuk ke sini dari lorong rahasia?" tanya laki-laki berjubah putih itu, dingin nada suaranya.
"Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi. Kami tersesat, dan tidak tahu kalau gua itu merupakan lorong rahasia. Maafkan, jika kehadiran kami dianggap mengganggu," ucap Rangga seraya membungkukkan tubuh sedikit, memberi penghormatan.
"Sikapmu cukup sopan, Anak Muda. Tapi aku sudah cukup berpengalaman dalam menghadapi segala macam sikap dan tingkah seperti ini," terasa begitu sinis ucapan laki-laki berjubah putih itu.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan dengan kening berkerut. Mereka kemudian kembali memandangi laki-laki berjubah putih yang wajahnya tidak jelas terlihat, karena tertutup caping bambu lebar. Dari tubuh dan nada suaranya, serta rambut yang sudah memutih, memang sudah bisa dipastikan kalau laki-laki ini sudah berumur lanjut.
"Kuminta kalian menjawab jujur, dan jangan membuat persoalan denganku di sini," ujar laki-laki berjubah putih itu dingin dan tegas. "Siapa yang mengirim kalian ke sini untuk memata-matai?"
"Sudah kukatakan dengan jujur. Kami hanya tersesat dan tidak tahu kalau gua itu merupakan...."
"Cukup!" bentak laki-laki tua berjubah putih itu memutuskan kata-kata Rangga.
Rangga jadi terdiam mendengar bentakan bernada ketus begitu. Kembali ditatapnya Pandan Wangi. Sedangkan gadis itu sudah menggenggam senjata kipas maut, meskipun belum tercabut dari balik sabuk berwarna kuning emas yang melilit pinggangnya.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur, Anak Muda! Apakah kau dikirim ratu iblis itu...?" semakin dingin nada suara laki-laki tua berjubah putih ini.
"Ratu iblis...? Aku tidak mengenalnya," kening Rangga semakin dalam berkerut.
"Jangan berpura-pura. Anak Muda! Kedatanganmu ke sini sudah membuatku curiga. Dan sekarang kau berbelit-belit menjawab semua pertanyaanku. Aku tidak ingin menjatuhkan tangan kasar pada kalian berdua. Pergilah, sebelum pikiranku berubah," desis laki-laki tua berjubah putih itu, semakin dingin nada suaranya.
"Baiklah. Kami akan pergi dari sini." kata Rangga seraya mengangkat bahunya sedikit.
"Bagus! Kalian akan diantar keluar sampai gerbang."
Laki-laki tua berjubah putih itu menggerakkan tangan kirinya sedikit. Maka empat orang berseragam bagai prajurit itu bergerak mendekati Rangga dan Pandan Wangi. Mereka kemudian menggiring kedua pendekar muda itu. Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja mengalah, dan tidak ingin membuat sesuatu yang tidak dinginkan. Sementara laki-laki tua itu memandangi sampai kedua pendekar muda itu jauh meninggalkan taman ini.
Setelah Rangga dan Pandan Wangi yang diringi empat orang berseragam bagai prajurit tidak terlihat lagi, laki-laki tua berjubah putih itu baru memutar tubuhnya dan melangkah. Sedangkan semua orang berpakaian bagai prajurit yang tadi mengepung Rangga dan Pandan Wangi, sudah meninggalkan taman itu sejak tadi. Ayunan langkah laki-laki tua berjubah pulih itu terhenti, ketika melihat seorang gadis cantik berlari-lari kecil menghampirinya. Dia diikuti seorang wanita berbaju kuning gading yang mengenakan caping bambu berukuran besar. Sama persis dengan yang dikenakan laki-laki tua berjubah putih ini.
"Siapa mereka itu tadi, Paman?" tanya gadis cantik itu, begitu manja sikapnya.
"Hanya dua tikus yang coba-coba menyusup ke sini," sahut laki-laki tua berjubah putih seraya membuka caping yang menutupi kepalanya.
Di balik caping besar itu ternyata tersembunyi seraut wajah tua yang begitu bersih dan bercahaya. Sinar matanya sangat tajam, tapi memancarkan satu keteduhan yang begitu damai. Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan alis, kumis, dan jenggotnya juga sudah putih semua.
Wanita berbaju kuning gading di belakang gadis itu juga membuka capingnya. Dia ternyata sudah cukup berusia lanjut. Mungkin usianya sudah mencapai lima puluh tahun, atau bahkan sudah lebih. Namun garis-garis kecantikan, masih terlihat jelas pada wajahnya yang sudah mulai keriput. Meskipun bentuk tubuhnya masih cukup padat berisi, bagai gadis berusia dua puluh tahun.
"Bagaimana? Apakah kau sudah siap menerima pelajaran, Dewani?" tanya laki-laki tua berjubah putih itu sambil menepuk pundak gadis cantik yang ternyata memang Dewani.
"Aku siap, Paman," sahut Dewani mantap.
"Bagus. Aku dan Bibi Dewi akan menjadikanmu seorang pendekar wanita yang tangguh, dan tak ada tandingannya."
"Terima kasih, Paman."
"Ayo, kita ke tempat latihan,"

63. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Darah BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang