BAGIAN 6

602 22 0
                                    

Lanjani memandangi potongan selendang kuning keemasan yang sempat dibawa Iblis Pedang Perak. Selendang itu memang terpotong oleh tebasan pedangnya. Ratu Kerajaan Batu Ampar itu kemudian memberikan potongan selendang kuning itu pada Iblis Pedang Perak lagi, lalu melangkah mendekati jendela. Dia kini berdiri di sana memandang matahari yang baru saja menyembul dari peraduannya.
"Kau yakin kalau itu bukan milik Dewi Selendang Maut, Pedang Perak?" tanya Lanjani seraya memutar tubuhnya membelakangi jendela.
"Kabarnya Selendang Maut sukar ditandingi senjata apa pun juga. Rasanya tidak mungkin kalau pedangku ini mampu memotongnya. Apalagi, tanpa pengerahan tenaga dalam penuh," jelas Iblis Pedang Perak. "Jelas kalau ini hanya selendang biasa yang bentuknya dibuat mirip dengan Selendang Maut"
"Jadi...?" Lanjani meminta penjelasan lagi.
"Aku berani bersumpah kalau dia bukan Dewi Selendang Maut yang asli." tegas Iblis Pedang Perak.
"Tapi, sewaktu bertarung dia memakai jurus-jurus Dewi Selendang Maut Pedang Perak, " selak si Cambuk Setan yang juga sempat bertarung dengan wanita yang mengaku berjuluk Dewi Selendang Maut itu.
"Itulah yang membuatku sampai sekarang jadi bertanya-tanya, Paman," desah Iblis Pedang Perak lagi.
"Apa tidak mungkin dia muridnya...?" gumam Lanjani seperti bertanya pada diri sendiri.
"Kemungkinan itu jelas ada. Sepuluh tahun Dewi Selendang Maut menghilang. Dan selama sepuluh tahun itu, bisa saja diisinya dengan menggembleng seorang murid. Meskipun, kepandaiannya tidak mungkin bisa menyamai dalam waktu sepuluh tahun," Iblis Pedang Perak menyambuti lagi.
Lanjani terdiam dengan kening sedikit berkerut. Dia teringat kata-kata Dewi Selendang Maut semalam. Bahkan menghubungkan dengan larinya Dewani yang sampai saat ini belum juga bisa diketahui rimbanya. Dewani lari berkat ditolong seorang wanita yang sama dengan yang muncul semalam.
Hal ini bukan hanya menambah beban pikirannya, tapi juga menimbulkan kecemasan. Karena, kedudukannya sebagai ratu di Kerajaan Batu Ampar ini benar-benar terancam. Di samping itu, dia juga jadi penasaran. Yang jelas, rahasia di balik Selendang Maut ingin segera diungkapnya. Karena, sudah dua kali orang yang mengaku Dewi Selendang Maut muncul di Istana Batu Ampar ini.

***

Sementara itu di dalam hutan Lereng Gunung Haling, wanita berbaju kuning gading yang ditolong Rangga dan Pandan Wangi semalam sudah mulai siuman. Dia merintih lirih sambil menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan kelopak matanya terbuka. Dia tampak terkejut begitu malihat Rangga dan Pandan Wangi duduk bersama di dekatnya. Wanita berbaju kuning gading itu bergegas bangkit, dan duduk di depan kedua pendekar muda itu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rangga lembut disertai senyuman di bibir.
Wanita itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Dia langsung ingat peristiwa yang terjadi semalam, saat maut sudah begitu dekat menghampirinya. Untunglah, pemuda tampan berbaju rompi putih ini telah menyelamatkannya dari ujung pedang si Iblis Pedang Perak. Dan gadis cantik berbaju biru ini yang membawanya pergi dari tempat pertarungan semalam.
"Terima kasih atas pertolongan kalian yang telah menyelamatkan nyawaku," ucap wanita itu perlahan.
"Sudah selayaknya sesama makhluk hidup saling tolong menolong. Tidak perlu kau ucapkan itu, Nisanak," sahut Rangga, tetap lembut nada suaranya.
Wanita itu kembali memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Keningnya jadi berkerut, karena merasa belum pernah mengenal kedua pendekar muda yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut semalam.
"Oh, ya Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi...," Rangga terlebih dulu memperkenalkan diri, seakan-akan bisa membaca jalan pikiran wanita itu.
"Kenapa kalian menolongku?" wanita itu malah ber-tanya, tanpa memperkenalkan dirinya.
"Karena kau mengaku sebagai Dewi Selendang Maut pada mereka," kali ini Pandan Wangi yang cepat menyahuti. "Tapi, aku yakin. Kau bukanlah Dewi Selendang Maut."
"Aku..., aku memang bukan Dewi Selendang Maut," pelan sekali suara wanita itu.
"Sudah kuduga..." desis Pandan Wangi pelan sekali, seperti untuk dirinya sendiri.
"Lalu, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dewani," sahut wanita itu menyebutkan namanya.
"Dewani..?!"
Kening Rangga jadi berkerut mendengar nama wanita ini. Dipandanginya wanita itu tajam-tajam, seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti ingin meyakinkan kalau wanita yang ditolongnya semalam ini benar-benar Dewani seperti pengakuannya tadi.
"Kau kenal, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak berbisik, melihat Rangga seperti terkejut, dan tidak percaya kalau wanita itu bernama Dewani.
"Pernah kudengar kalau mendiang Prabu Jaya Permana hanya mempunyai seorang putri yang bernama Dewani," ujar Rangga perlahan, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri. "Apakah kau putri Prabu Jaya Permana...?"
"Benar. Aku putri tunggal Ayahanda Prabu Jaya Permana." sahut Dewani membenarkan dugaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh...," Rangga mendesah panjang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tidak mengerti. Sementara, Dewani hanya diam saja merayapi Rangga dan Pandan Wangi secara bergantian. Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam. Mereka jadi sibuk dengan pikiran masing-masing yang bergelut dalam kepala. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini.
"Kau putri seorang raja yang sudah mangkat, dan seharusnya sekarang menggantikan ayahmu menduduki takhta Kerajaan Batu Ampar ini. Tapi, kenapa malah berkeliaran menggunakan nama Dewi Selendang Maut?" Rangga kembali membuka suara seperti berbicara untuk dirinya sendiri.
"Sulit diceritakan. Dan aku tidak mungkin bisa menduduki takhta selama...," Dewani tidak melanjutkan ucapannya.
"Kau punya masalah?" desak Rangga. Dewani hanya tersenyum saja.
"Kami memang orang-orang luar, dan bukan rakyat Batu Ampar. Tapi jika kau mau menceritakan persoalan yang ada, mungkin aku dan Pandan Wangi bisa membantu menyelesaikannya," kata Rangga lagi.
"Tidak ada yang bisa membantu menyelesaikan persoalanku. Bahkan kedua guruku juga tak mungkin bisa membantu. Terlalu sulit, karena seluruh rakyat Batu Ampar seperti tidak peduli dengan keadaan dalam Istana. Mereka kini seakan-akan tidak lagi mengenalku. Hal ini sudah terjadi sejak aku masih kecil. Sedangkan aku sendiri tidak kuasa menolaknya. Sudah beberapa kali kucoba, tapi selalu kegagalan yang kualami semalam pun, aku sudah mencoba. Kenyataannya, hampir saja aku tewas jika kalian tidak cepat menolongku." jelas Dewani seakan-akan mengeluh.
"Boleh kutahu, siapa kedua gurumu?" tanya Pandan Wangi menyelak.
Dewani tidak segera menjawab pertanyaan itu, dan malah memandangi si Kipas Maut dengan sinar mata yang sukar diartikan. Sedangkan Pandan Wangi membalas pandangan itu sambil menunggu jawaban atas pertanyaannya. Tapi tampaknya Dewani enggan menjawab pertanyaan si Kipas Maut barusan.
"Terus terang, sebenarnya aku dan Kakang Rangga sudah mengamati saat kau masuk ke dalam Istana Batu Ampar secara diam-diam. Dan kami tahu semua apa yang terjadi pada dirimu, termasuk pertarunganmu dengan Iblis Pedang Perak. Itu sebabnya, aku dan Kakang Rangga tidak ingin kau tewas di tangan mereka, karena julukan Dewi Selendang Maut kau gunakan. Dan aku sendiri sebenarnya tengah mencari orang yang julukannya kau gunakan." kata Pandan Wangi menjelaskan maksud pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Dan yang terpenting, kau menggunakan jurus-jurus yang dimiliki Dewi Selendang Maut, meskipun belum menggunakan secara sempurna," sambung Rangga, bisa mengerti maksud Pandan Wangi yang ingin mengorek keterangan untuk mengetahui paman dan bibinya itu.
Sedangkan Dewani masih tetap diam, memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Namun, sinar matanya mengandung kecurigaan. Dia jadi ingat, kalau kedua pendekar muda ini yang menyusup masuk ke dalam taman tempat tinggal kedua gurunya. Gadis itu bangkit berdiri tanpa bicara sedikit pun.
"Maaf, aku harus kembali," ucap Dewani langsung saja melangkah pergi.
Pandan Wangi bergegas bangkit berdiri. Dan baru saja hendak mengejar gadis itu, Rangga sudah keburu mencekal tangan si Kipas Maut ini. Mereka membiarkan Dewani melangkah cepat meninggalkannya. Gadis itu terus berjalan tanpa berpaling lagi, semakin masuk ke dalam hutan Lereng Gunung Haling ini. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memandanginya saja sampai lenyap tak terlihat lagi.
"Kenapa kau membiarkannya pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi bernada tidak puas.
"Kau tidak mungkin bisa memaksanya, Pandan. Sebaiknya kita ikuti saja secara diam-diam. Dia pasti kembali pada kedua orang gurunya yang dirahasiakan," sahut Rangga.
"Maksudmu...?" tanya Pandan Wangi, ingin lebih jelas lagi.
Rangga tidak menjawab. Kepalanya didongakkan ke atas, lalu menarik napas dalam-dalam. Sebentar kemudian terdengar suara siulan yang panjang dan bernada aneh. Pandan Wangi tahu, Rangga tengah memanggil Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa tunggangannya, selain kuda hitam Dewa Bayu.

63. Pendekar Rajawali Sakti : Prahara Darah BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang