kekhawatiran Sabiya

1.9K 218 9
                                    

Sabiya menyerahkan nasi bungkus pada Altan, lelaki itu baru saja selesai melaksanakan tugasnya di bagian logistik.

"Lo pasti belum makan, seharian ini lo ngga malak makanan ke gue."

Altan tertawa pelan. Hari ini memang padat, bantuan mulai berdatangan. Sehingga Altan yang mendapat tugas di bagian logistik harus bekerja ekstra. "Makasih ya, Sab."

Untung saja Sabiya mendapat tugas di dapur umum, jadi ketika tidak sempat makan seharian, akan ada Sabiya yang mengingatkan dan membuatkannya makanan.

"Kamu udah kabarin mas Rayyan?"

Sabiya mengangguk. "Tadi udah nelfon juga kok. Dia masih aja khawatir, dan ngancem lo!"

Altan tertawa.

"Gimana hari ini?"

Sabiya menghela nafas. Ia tidak pernah menduga keadaan disini begitu kacau dan darurat, ia kagum pada orang-orang yang bertahan dan tergerak, mengutamakan kehidupan orang banyak dan dengan sigap memberikan bantuan, termasuk organisasi yang menerimanya dan Altan untuk menjadi relawan.

Banyak hal baru yang Sabiya lakukan disini, ia seperti hidup pada keterbatasan, dan sering kali memutar otak agar tetap bertahan. Tapi dengan keterbatasan itu, Sabiya justru jadi lebih bersyukur.

"Bersyukur, Tan."

Altan menoleh, penasaran dengan cerita apa yang akan ia dapatkan hari ini.

"Oh iya! Tadi ada anak kecil, dia ngga bisa makan telur. Padahal makanan di dapur umum cuma ada itu. Seharian dia nangis dong, Tan." Sabiya mulai bercerita.

"Terus?" Altan mulai tertarik.

"Terus, akhirnya kita bikinin nasi dicampur telur."

"Nasi goreng maksudnya?"

Sabiya menggelengkan kepala, "Nasi goreng kan versi bumbu komplit, ini cuma dioseng aja. Eh ternyata habis, karena dia bilang, rasa telurnya ngga seperti telur." Sabiya tertawa pelan, membuat Altan tersenyum. "Pas selesai, dia nanya 'Ini apa? Enak sekali.' Terus pas tau itu telur, gue kira dia akan nangis, ternyata malah ketawa. Terus sebelum tidur dia bilang makasih ke gue karena udah bikin dia bisa makan telur."

Altan tersenyum, selain bertugas mendata dan membagikan bantuan secara merata di logistik. Ia memiliki aktivitas baru, mendengarkan cerita Sabiya, perempuan itu ekspresif setiap kali bercerita, membuat siapapun yang mendengarnya akan terhibur.

"Hari ini seluruh keluarganya ditemukan sudah ngga bernyawa, Tan. Tapi dia masih bisa senyum. Dia bilang, keluarganya pasti senang bisa berkumpul di tempat yang baru, karena selama ini mereka hidup susah, makan susah, kadang harus puasa karena ayahnya pulang ngga bawa uang." Sabiya menghela nafas, ia jadi sedih mengingat percakapan itu. "Kadang, anak kecil bisa terlihat lebih dewasa ya, Tan."

"Sab, gimana kalau kita bikin sekolah darurat? Jadi walaupun di pengungsian, mereka tetep bisa belajar?" Ajak Altan, mengungkapkan apa yang tiba-tiba terlintas di pikirannya.

"Ide bagus, Tan! Setuju, nanti kita usulin mas Tama ya." Mata Sabiya terlihat berbinar dengan usulan Altan, ia tidak sabar dengan sekolah darurat yang akan dijalankan, pasti menyenangkan bisa mengajar sekaligus menghibur anak anak.

"Oh iya, Tan?" Tanya Sabiya teringat sesuatu. "Kuliah lo gimana selama lo disini?"

Altan yang semula sibuk menyuap nasi, tiba-tiba berhenti. "Eh, itu mas Tama!" Altan melambaikan tangan pada seorang lelaki dengan rambut yang cukup panjang untuk dikuncir, tubuhnya tinggi dan kulitnya sawo matang, sekarang ia berjalan mendekati keduanya.

"Gue gabung ya." Ujar mas Tama memilih duduk di tempat yang sama dengan Altan dan Sabiya. "Bi, di dapur umum masih ada makanan ngga? Gue belum makan dari tadi pagi."

Lakuna : Aku, Dia dan LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang