VR | 2

386 71 10
                                    

Gedung itu ramai, namun tak penuh. Padat tapi tidak menimbulkan sesak. Ribuan manusia berebut oksigen di tempat yang sama.

Tidak ada yang mau melewatkan masa pengenalan salah satu produk andalan perusahaan Fixi, yang kembali mengembangkan sebuah teknologi revolusioner bernama, ‘Bumi Kedua’ sebuah bentuk pengembangan dari teknologi virtual realitas. Di dunia yang kian karut-marut, Bumi Kedua bagai tempat pelarian paling sempurna. Kita bisa berada di tempat yang paling diinginkan, dengan kondisi fisik yang paling didambakan atau bahkan waktu yang paling diidam-idamkan. Sensasi yang dapat pengguna rasakan benar-benar nyata. Pukulan, cubitan, pelukan, kecupan, bahkan rangsangan seksual terasa sangat riil.

Sebagai salah seorang pengguna setia teknologi virtual realitas, tentunya aku tak mau ketinggalan konferensi yang akan mengumandangkan apa-apa saja perkembangan yang sudah diciptakan oleh perusahaan pengembang Bumi Kedua ini.

Sekitar beberapa tahun yang lalu, ada sekelompok minoritas yang menolak pengembangan teknologi ini—menentang Bumi Kedua. Dengan alasan bahwa teknologi ini dapat membuat individu menjadi asosial. Namun, sudah lama sekali semenjak terakhir kali kelompok itu menggembar-gemborkan aksinya, sekarang mereka tak lagi terdengar. Senyap ditelan waktu. Lagi pula, keberadaan Bumi Kedua sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara. Tak dapat dipungkiri, semenjak awal peluncuran teknologi VR ini, Jepang mengalami kenaikan jumlah pendapatan per kapita yang sangat drastis.

Acara konferensi pun selesai, aku sudah merasa sangat tidak sabar untuk mencoba sendiri Bumi Kedua ini. Kukenakan mantel pintar yang tadinya disampirkan di bangku, benda itu nampak seperti mantel pada umumnya. Namun, pada bagian kerah. Terdapat sebuah tombol berwarna putih yang akan membuat mantel tersebut segera menyesuaikan bentuknya dengan tubuh sang pemakai, mengatur temperatur bahkan warna keinginan.

Mantel itu berwarna oranye sekarang, aku baru saja meninggalkan barisan bangku-bangku ketika seseorang memanggil namaku, “Yuu-kun!”

Aku menoleh.

“[Name]-chan?”

“Astaga sudah lama sekali, ya.” Kamu menghampiriku dengan lengan direntangkan dan langsung memelukku. “Bagaimana kabarmu? Aku sangat merindukanmu,” Ujarmu dengan nada haru sambil mengusap-usap punggungku. Astaga, kamu jadi lebih tinggi sekarang.

Tapi, tidak lebih tinggi dariku.

“Kau bertambah tinggi, ya.”

Oh, tentu saja.

“Lama tidak bertemu,” Balasku seraya mengurai pelukan kita. Kuperhatikan penampilanmu dari atas ke bawah, “Yang benar saja [Name], kau bekerja di sini?” Kataku tidak percaya, kau tertawa dan aku tersipu.

Kamu mengenakan seragam perusahaan Fixi, nampak sangat pas dan rapi di tubuhmu yang sudah melewati masa pubertas. Oh, wow. You're so damn sexy. Astaga, aku tidak bisa mengontrol otakku sendiri.

“Kau pengguna?” Tanyamu.

Aku terkejut, “Ah, Name. Astaga! Aku bersih.”

Kamu nampak bingung sesaat, tergelak kemudian.

“Bukan, bukan itu. Maksudku … kau pengguna Bumi Kedua, juga?”

Aku merasa lega, kukira kamu sempat berpikir bahwa aku ‘pengguna’ obat-obatan. Yah, aku memang masih mengecat rambutku dengan warna pirang-kecoklatan, masih suka membolos kerja juga. Tapi, aku tidak akan menyentuh benda-benda terlarang itu.

“Kau bekerja pada bagian apa?” tanyaku penasaran. Gadis yang dulu kusukai saat masih di bangku sekolah menengah atas sekarang sudah mengenakan seragam perusahaan Fixi. Tempat yang mengelola teknologi paling mutakhir di era ini.

“Pemrograman. Untuk dunia Bumi Kedua,” Jawabmu.

Astaga, itu keren sekali. Tugasmu adalah menciptakan dimensi-dimensi Bumi Kedua. Menciptakannya! Mendengarnya saja membuatmu terlihat seperti manusia berkemampuan Tuhan.

“Keren sekali!” pujiku, tanpa menyembunyikan kekaguman, “Bisa kau buatkan aku dunia juga?”

“Dunia apa?” Kamu melipat tangan di depan dada. Seperti penantang, seolah menciptakan dunia yang kusebutkan tadi bukanlah hal yang susah.

Aku berpikir sebentar, pikiranku melayang-layang ke masa lalu saat kita masih sama-sama kecil dan tubuhmu tidak seindah sekarang. Masa itu yang kamu pikirkan bukanlah bagaimana menyenangkan ratusan ribu penggemar virtual realitas, kamu masihlah remaja lugu yang disibukkan dengan tugas-tugas sekolah dan kegiatan ekstrakulikuler. Terlibat dalam cinta pertama yang tidak begitu bagus dan terluka karenanya. Kemudian memghibur diri dengan saling lempar bola salju.

Andai saja kamu sadar. Kalau aku merasa lega sekaligus hangat di dada saat mengetahui bahwa kamu sudah menyerah atas mantan gebetanmu karena dia lebih memilih sahabatmu.

Kalau kamu sadar. Apa kamu masih bersedia bermain perang salju seperti waktu aku menghiburmu kala itu?

“Hei, kenapa melamun?” tanyamu dengan senyum lebar sambil melambai di depan hidungku, “Sudah tahu mau dibuatkan apa?”

“Ah, apakah … kamu bisa membuatkan dunia saat kita masih SMA dulu?”

Snowball Fight | Yuu Nishinoya » Virtual RealitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang