VR | 1

603 87 14
                                    

Asap mengepul dari depan bibir mungilmu akibat suhu di bawah rata-rata, namun hal tersebut tidak turut serta membekukan senyum indahmu. Tanganmu yang dibungkus kain wol menepuk-nepuk segenggam salju, memadatkannya hingga bentuknya berubah bulat. Kamu menyusunya hingga berderet-deret, membentuk replika pagar pembatas dengan aku di tengah-tengah.

Bola-bola salju itu melingkariku seperti benteng mungil, terlalu kecil sampai-sampai aku harus menekuk lutut. Kuperhatikan wajahmu yang fokus sekaligus antusias. Menjadi pemerhati yang baik sudah menjadi peranku semenjak awal kita bertukar nama.

“Yuu-kun,” panggilmu. “Kau akan di sana, sementara aku di sini.” tawamu mengudara, memecah udara dingin di sekitar. Jarakmu sejauh tujuh langkah, di tangan kirimu sebuah bola seukuran telapak tangan nampak siap dilemparkan.

“Oke!” balasku sambil mengacungkan jempol.

Kamu mundur beberapa langkah, kemudian melemparkan bola tersebut ke arahku. Orang-orang awam mungkin akan melihat ini sebagai kasus perundungan, seorang bocah laki-laki dilempari bola-bola salju karena tubuhnya yang kecil. Namun, bagi kita. Ini adalah permainan yang mengasyikan sekaligus mendebarkan.

Lemparan bolamu tidak meleset, mengenai salah satu bola-bola salju yang melingkariku. Benteng mungil itu kehilangan salah satu dindingnya akibat berbenturan dengan bola salju yang kamu lemparkan.

Kamu menjerit senang, khas seorang bocah yang baru saja mendapatkan hadiah natal. Kukatakan ini sedikit mendebarkan karena tidak ada yang tahu kapan bola yang dilemparkan akan mengenai tubuh, meninggalkan jejak-jejak salju di mantel seperti yang kamu lakukan pada lemparan kedua dan seterusnya.

Aku menggigil, wajahku mati rasa setelah lemparan kesembilan.

Namun, tak apalah. Aku senang melihatmu tertawa-tawa seperti itu. Kelak di masa depan akan ada istilah yang melabeli perasaan ini, budak cinta? Kurasa itu. Aku tidak peduli dengan apa kata orang, toh tidak merugikan. Dan, aku bahagia bisa merasakannya. Walau hanya aku yang saat ini merasakannya.

“Yuu-kun, aku akan pergi setelah upacara kelulusan,” ujarmu seraya duduk di sebelahku.

Aku menaikkan sebelah alis dan tersenyum, “Oh, ya? Kau jadi kuliah di sana rupanya?”

Kamu terkekeh, “Iya. Kita akan terpisah bermil-mil. Aku mungkin akan sibuk, kamu juga. Aku tidak yakin apakah kita masih bisa berhubungan seperti dulu. Aku ingin bermain perang bola salju lagi denganmu.”

Kamu sebut itu perang? Ini penjajahan. Kamu melempar dan aku tidak melawan. Tapi, aku diam saja. Ya sudahlah, di hari yang cukup menyedihkan untukmu ini aku ingin kamu senang.

“Kamu bisa kembali kapan saja, kan?”

“Iya. Aku akan pulang jika waktu libur telah tiba.”

“Itu bagus.” aku tersenyum, namun kamu tidak kunjung kembali seperti yang kamu katakan. Keluargamu juga tak lagi mendiami rumah di samping rumahku, dan kita tidak pernah bertukar kabar.

Tidak sedikit pun, tidak satu kali pun.

Snowball Fight | Yuu Nishinoya » Virtual RealitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang