VR | 3

285 53 5
                                    

Setelah pertemuan denganmu hari itu, aku mencoba untuk menghubungimu dari nomor ID yang kamu berikan. Nomor ini bekerja sama seperti kartu perdana, bedanya tidak akan ada masa habis pemakaian dan pembayaran hanya dilakukan satu kali untuk digunakan seterusnya sampai … bosan. Nomor ID juga dapat digunakan untuk mengakses internet. Sebuah bentuk revolusioner dari kartu perdana yang diwadahi oleh perusahaan yang sama dengan Bumi Kedua.

Katamu, dunia yang kupesan secara khusus tersebut dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan masa pengerjaan. Dan, sebelum hari itu tiba, tidak ada salahnya jika aku menghubungimu duluan, 'kan?

Pembicaraan kita mulanya hanya seputar Bumi Kedua, lalu lama-kelamaan kita terlibat dalam obrolan penuh nostalgia. Sepuluh tahun sudah berlalu, sebuah ketidaksengajaan mempertemukan kita kembali. Ada kehangatan familier yang tumbuh. Caramu berbicara sangatlah lembut, terkadang penuh dengan semangat, kamu menumpahkan semuanya. Perasaan haru saat diterima bekerja, perasaan kesal dengan rekan kerja, juga senang tak terkira saat berkesempatan untuk ikut berkontribusi dalam pengembangan Bumi Kedua.

***

Satu bulan berlalu, aku sudah memantapkan hati untuk mencoba dunia dari Bumi Kedua yang kamu ciptakan tersebut. Aku memasang cip seukuran kuku di belakang telingaku, yang nantinya akan tersambung dengan Bumi Kedua berkat bantuan sepasang lensa kontak. Ini adalah perangkat yang digunakan untuk mengakses Bumi Kedua dengan kendali pikiran.

Proses kalibrasi pun dimulai, tubuhku berubah bentuk menjadi partikel-partikel kecil bercahaya di tempat yang gelap gulita, perlahan-lahan tanganku mulai terbentuk. Diikuti oleh bentuk sepasang kaki serta tubuh. Dunia gelap itu kemudian mulai bercahaya, angin dingin berembus menerbangkan beberapa helai rambutku. Kemudian serpihan-serpihan kecil mulai berjatuhan dari atas.

Pemandangan yang sebelumnya kosong mulai nampak, dari kegelapan yang mencengkeram, dunia itu berubah warna menjadi putih—putih salju. Dan, semuanya langsung terbentuk secepat satu kedipan. Pohon-pohon bermahkotakan salju, jalanan yang ditutupi salju, beberapa buah mausia salju dan tentu saja sebuah gedung bertingkat, Karasuno. Sekolah kita dulu.

“Bagaimana?” sebuah suara lantas membuatku membalik tubuh, mendapatimu dengan pakaian hangat dari ujung rambut sampai kaki. Padahal, di masa kita saat ini sedang musim semi.

Aku tersenyum lebar dan menghampirimu, “Ini hebat. Sesuai dengan apa yang kubayangkan,” Kataku. Pakaian yang kukenakan sedikit berbeda denganmu, karena ini adalah seragam laki-laki berwarna hitam dan mafela berwarna oranye.

Kamu tersenyum lebar, “Terima kasih.”

“Di mana kita?” tanyaku sambil melihat sekitar. Di dunia ini, hanya ada kita berdua. Benar-benar berdua, bukan kata kiasan.

Kamu berjalan, meninggalkan jejak-jejak di atas putihnya salju. “Beberapa hari sebelum kepindahanku,” jawabmu mantap tanpa memandangku.

Ah, itu benar. Kamu menyerah dengan gebetanmu beberapa minggu sebelum hari kelulusan dan kepindahanmu. Otakmu yang cemerlang itu berhasil membawamu untuk melanjutkan pendidikan di universitas ternama di belahan dunia yang lain. Dan, kita tidak pernah bertukar sapa lagi semenjak saat itu. Kamu dengan kesibukanmu, dan aku dengan milikku.

Sebuah bola salju mengenai bahuku, di ujung pandanganku kamu sedang tertawa-tawa bahagia dan melemparkan lagi bola dingin itu. Yang satu ini bersarang di wajahku dengan telak.

“Kamu masih payah saja, Yuu!” Kamu berseru sambil menepuk-nepuk segenggam salju dan melemparnya lagi. Kali ini aku berhasil menghindar.

“Aku kan libero, tentu saja aku ahli menahan bo—uhuk!”

“Astaga, maaf! Aku tidak bermaksud.” kamu berlari ke arahku, kemudian membantuku membersihkan salju di sekitar mulut. Yap, bola tadi tertelan setengahnya.

Aku terbatuk-batuk dan kamu tertawa. Masih suka melihat penderitaan orang lain rupanya.

“Oh, ya. Kamu pernah pergi ke Mars?” tanyamu tiba-tiba. Random, seperti biasanya.

“Tidak,” Jawabku. “Memangnya kenapa? Apa … Fixi hendak melebarkan sayapnya sampai ke sana?”

Kamu menggedikkan bahu, “Rencananya sih begitu. Tapi, mereka yang tinggal di Mars menolak untuk hidup dengan dunia maya, menurutnya kehidupan di Mars sudah sangat menyenangkan.”

Aku bergumam panjang disertai anggukan, alasan beberapa orang pindah ke sana dan membangun pemerintahan sendiri juga karena merasa bahwa bumi sudah tidak seperti dulu lagi. Bumi Kedua adalah bentuk pengembangan yang merealisasikan kehidupan bumi di masa lalu. Saat manusia hanya bertempat tinggal di bumi ini.

“Hmm … ribet, ya. Kamu berurusan dengan hal-hal semacam itu? Kamu tidak bisa menyenangkan semua orang, lho,” Kataku.

Kamu mengembuskan napas panjang, “Iya sih.” jeda sesaat, sebelum kamu kembali melanjutkan, “Terima kasih ya. Untuk hari ini. Aku senang sekali.”

“Nostalgianya terasa, ya. Waktu itu kamu nyerah sama—”

“Aaaa— jangan diingatkan. Bodoh sekali, dulu aku pernah terjebak dalam cinta monyet yang seperti itu,” katamu. Aku tertawa.

Lalu kita kembali bercerita sambil sesekali saling lempar bola salju.

Snowball Fight | Yuu Nishinoya » Virtual RealitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang