VR | 6

245 51 18
                                    

Dan, di sinilah aku berada sekarang. Di depan bangunan yang sama sekali tidak familier. Aku selalu berharap-harap untuk dapat berkunjung kemari semenjak jumpa pertama kita pada acara pengenalan teknologi terbaru dari perusahaanmu. Tapi, tentu saja tidak dengan cara seperti ini.

Ibumu keras kepala tidak mengizinkanku untuk mengunjungimu. Jadi aku memutuskan untuk membuntutinya saja sampai ke sini. Mungkin, ia akan semakin memperlebar jarak di antara kita kalau sampai aku ketahuan. Tapi, aku tidak berniat melakukannya. Toh, kenapa kita harus berjarak jika sebelumnya sudah sangat dekat?

Wanita beruban itu berjalan. Memasuki pekarangan rumahnya, namun tidak menuju bangunan utama di sana. Justru, memutari rumah ke halaman belakang.

Aku melihatmu di sana, duduk membelakangiku. Menghadap air pancuran, sementara ibumu datang dan meletakkan tas kainnya di dekat kaki kursi.

“Ibu bertemu Yuu-san,” katanya memulai obrolan. Kamu nampak terkejut namun diam saja, aku bisa mendengar obrolan kalian dari jarak segini dekat. Padahal sudah dekat, namun aku tak bisa langsung memelukmu saja.

“Dia bersikeras ingin kemari.”

“Ah, sudah kuduga,” jawabmu dengan wajah sendu, kamu menunduk. Nampaknya sedih sekali. Apa sedang terjadi sesuatu? Kenapa bertemu denganku dapat membuatmu berekspresi semenyedihkan itu?

“Di mana dia sekarang?”

Kalau tidak ingin bertemu setidaknya jangan bertanya penasaran begitu, dong. Kamu memberikanku harapan.

“Aku di sini [Name]-chan. Jangan coba-coba sembunyikan wajah kagetmu itu. Kelihatan jelas sekali.”

Aku berjalan mendekat, kamu dan ibumu seolah dipaku di bumi. Kalian tidak bergerak sedikit pun, sebelum akhirnya kamu berteriak.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” hardikmu.

“Aku ingin bertemu,” jawabku pelan.

“Sudah kubilang, kita tidak bisa bertemu lagi!”

“Ini kita sedang bertemu.”

“Bu-bukan itu maksudnya!”

Aku membisu, masih berusaha memahami kondisimu saat ini. Ibumu membantumu berdiri, gerakanmu terpatah-patah tangannya yang menekan kursi nampak tak seimbang.

“Kejadiannya beberapa bulan yang lalu. Tidak lama setelah pertemuan kita,” Kamu mulai bercerita sambil berusaha menyeimbangkan tubuh.

“Aku bekerja lembur malam itu, berusaha menyelesaikan desain antariksa yang kuperlihatkan padamu waktu itu. Saat hendak pulang, tanpa sengaja sebuah flashdisk milik perusahaan terbawa. Isinya adalah rancangan antariksa tersebut, aku takut sekali dan sangat panik. Ketika mencoba kembai masuk ke dalam ruanganku dengan menggunakan kartu identitas, beberapa robot pengaman mengidentifikasi benda yang tidak seharusnya—” kamu mulai terisak. Bicaramu tersendat-sendat, aku menunggumu melanjutkan ceritanya tanpa bergerak selangkah pun.

“Salah satu robot menembakkan laser yang menembus lengan kananku.”

Dan, tangismu pun pecah. Tubuhmu ambruk ke tanah, cepat-cepat aku menghampirimu. Memeluk tubuhmu yang terasa ringkih dengan erat, dapat kurasakan apa yang disembunyikan oleh lengan mantel pintarmu. Sebuah tangan bionik yang dingin.

“Hei.” Aku mengusap rambutmu, “Kenapa harus serumit ini? Kita pernah begitu lugu tanpa harus meributkan atribut yang mengiringi, jatuh hati begitu saja. Semakin dewasa terlalu banyak asumsi dan prediksi di kepala kita. Padahal kita bisa jatuh cinta dengan sederhana.”

“Aku tidak ingin membuatmu repot, karena harus terjebak dengan wanita cacat sepertiku. Dulu kita bisa sama-sama saling menggengam tangan dan menguatkan, sekarang dengan apa aku bisa berpegangan?”

Ibumu mendekat, menyentuh belakang telingamu—meletakkan cip di sana— dan sekelebat kemudian kita berpindah dimensi. Gedung depan sekolah yang bersalju, jadi ini yang kamu pikirkan saat ini.

“Berikan aku tanganmu.”

Kamu menggeleng, aku memutuskan untuk langsung meraihnya saja tanpa perlu izin.

“Biarkan aku membantumu bangkit. Bukan karena iba, tapi karena sayang. Aku akan membantumu bangkit, bukan karena aku takut kau kenapa-kenapa. Tapi, karena aku takut kenapa-kenapa tanpamu.”

Pelukan kita semakin erat. Tangismu masih deras, kehangatan menyelimuti kita karena faktor internal.

“Aku menyayangimu. Setelah ini, ayo bangun dan hidup dengan perasaan yang sama nyatanya dan saling menggengam sama eratnya.”

“Aku ingin main perang salju.” Kamu bergumam.

“Astaga, itu penjajahan.”

Lalu, kita tertawa.

End.

.

Snowball Fight | Yuu Nishinoya » Virtual RealitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang