Tahap 18. Saran Changbin Lagi

759 112 1
                                    

"Baru dari mana kamu?"

Suara Papa Hwang menginterupsi Hyunjin ketika pemuda itu baru masuk rumah.

Sempat kaget karena mendengar suara papanya malam ini dan dia baru ingat jika papanya pulang ke rumah untuk makan malam bersama dengan keluarga besar.

"Mengantar Jisung, pa," Hyunjin membalas, masih dengan nada sopan.

"Oh, masih bersama anak lelaki itu?" Pertanyaan retoris diajukan Papa Hwang.

Hyunjin tak menjawab. Dia menunduk memainkan jempol kakinya dengan sendal rumah berwarna biru awan yang sedang ia pakai.

Tak kunjung ada pembicaraan lagi, Papa Hwang berjalan ke ruang santai dan duduk di sofa yang tersedia di sana.

Hyunjin mengikuti langkah papanya. Dia duduk di samping pria tampan di usianya yang sudah tidak lagi muda itu.

"Aku sudah selesai ujian, pa," Hyunjin mengalihkan pembicaraan. Berharap jika sang papa tidak membahas hal tadi lagi.

"Oh, benarkah? Bagaimana mengenai perguruan tinggi yang papa tawarkan ke kamu tempo hari?" Papa Hwang langsung semangat, matanya terpancar cerah.

Hyunjin lupa mengenai hal ini, sesuatu hal lain yang harus dia hindari pula. Rasanya mengalihkan pembicaraan tadi percuma.

"Hmm, bagaimana?" Ulang Papa Hwang karena Hyunjin masih diam.

Hyunjin tetap menunduk.

"Hyunjin putra papa?" Papa Hwang memegang bahu Hyunjin. Pemuda yang masih memakai jaket itu mendongak menatap sang papa pada akhirnya.

"Hyunjin masih memikirkannya, pa," dan kembali tertunduk.

"Putraku, apalagi yang kamu pikirkan, nak?" Papa Hwang mendekat, pria itu mengelus puncak kepala putra satu-satunya.

"Beri Hyunjin waktu sebentar lagi," akhirnya itu jawaban Hyunjin setelah lama diam.

Tak mendapat respons apapun dari sang papa, Hyunjin memilih pamit untuk kembali ke kamarnya.

"Hyunjin ke kamar dulu ya, pa," Hyunjin menjauh dari tubuh papanya dan berdiri.

"Papa melakukan ini juga demi kebaikanmu, Hyunjin paham kan?" Pertanyaan Papa Hwang setelah putranya beranjak dari sofa.

Hyunjin mengangguk dan berjalan ke kamarnya.

***

"Jadi berapa persen tahapmu menikung, Lee?"

Hari ini kelas tingkat akhir mendapat jatah libur, untuk refreshing kata pihak sekolah. Tapi menurut Minho ini bukan refreshing. Bagaimana bisa berdiam diri tanpa melihat Jisung dan malah bertemu dengan Changbin adalah sebuah refreshing?

Ini sama sekali bukan sebuah penyegaran bagi Minho.

"Hoi brotherrr~ bagaimana?" Changbin bertanya.

"Ya seperti itu, seperti tidak tahu aku saja. Mana bisa aku menikung dengan tajam," pasrah Minho lalu kembali berkutat dengan majalah pendidikan yang tadi dia baca sebelum Changbin merecokinya.

"Sabar pangeran Lee, pangeran Seo siap membantumu~ ayo ikut aku~ sudah mandi kan?" Changbin mendekat ke arah Minho dan menarik tubuh sahabatnya turun dari kasur.

"Ke mana?"

"Tempat yang selalu menjadi surgamu tapi tempat yang selalu menjadi nerakaku," Changbin menjawab enteng, masih berusaha menjauhkan tubuh Minho dari gravitasi kasur.

"Bodoh. Sekolah maksudku Lee Minho! Ayo cepat! Aku lelah menyeretmu," Changbin sok marah, dia terduduk di karpet karena kelelehan. Baru segitu lelah, Changbin?

"Ayo buru!!" Minho berganti menjadi berseragam. Walaupun dia tak ada jadwal pelajaran tapi tetap saja dia pergi ke sekolah yang memiliki aturan untuk berseragam di area sekolah.

"Kenapa ke sekolah?" Sembari mengacingkan seragamnya, Minho bertanya.

"Cari semut." Jawaban singkat Changbin, dia sedang berkutat dengan ponselnya entah menghubungi siapa.

Minho mengernyit heran dan berdampak dirinya yang saat ini menghentikan kegiatan mengancingnya.

"Terserah kamu nanti di sana mau melakukan apa Lee Minho. Cari buku, baca buku, makan buku juga bisa," jawab Changbin asal.

"Dasar!"

"Yang terpenting kamu bisa melihat Jisung hari ini," gumam Changbin pelan.

"Apa???" Samar, Minho mendengar Changbin bergumam.

"Tidak, aku bicara dengan semut. Mau kuajak ke sekolah," jawaban asal Changbin versi kedua.

Lalu bantal Minho melayang ke tubuh Changbin.

***

"Kak Minho ada apa kemari?" Meski sudah diperingati Hyunjin, Jisung masih berani menyapa Minho.

Bukan, Jisung bukan orang seperti di pikiran kalian itu. Dia hanya menjalankan tugasnya sebagai hoobae di sini.

"Hanya ingin mencari buku, Ji," jawab Minho.

Jisung mengangguk paham.

"Ke perpustakaan sendirian?" Tanya Minho menengok kanan kiri untuk mencari si pendamping Jisung ke perpustakaan.

Jisung menggeleng, "Bersama Jeongin tapi anak itu sedang ke toilet. Kelas kami sedang kosong kak jadi kami memutuskan ke sini."

"Sekarang tidak ingin ke kantin kan mumpung sudah istirahat?"

Jisung menggeleng, "Sudah kenyang, tadi makan dengan Jeongin."

Minho diam, bingung ingin memulai pembicaraan apa lagi.

"Kak, bisa rekomendasi buku fantasi lagi? Aku kehabisan bacaan hehe," tanya Jisung pada Minho yang sudah berkutat dengan bukunya.

"Hmm ada, ada beberapa buku bagus di perpustakaan sekolah kita. Mau aku antar ke sana? Raknya itu di pojok jadi jarang tersentuh siswa lain."

Jisung semangat, dia langsung menarik tangan Minho mendekati deretan rak.

Jisung tidak sadar jika dia menarik tangan Minho.

"Aduh hehe, seharusnya kakak yang menunjukkan jalannya," ucap Jisung menyadari kebodohannya sendiri.

Minho mengantarkan Jisung mencari buku yang dicarinya. Setelah berhasil menemukan mereka kembali ke tempat baca.

"Dari mana kamu Ji?"

Jeongin sudah duduk di kursi tempat Jisung tadi duduk.

Jisung menunjukkan buku fantasinya pada Jeongin tapi pemuda yang baru lepas behel itu malah terfokus pada Minho di samping temannya.

Jeongin bangkit dan langsung menarik Jisung menjauhi Minho sehingga Jisung bisa berdiri di sampingnya.

"Kak terima kasih ya telah mencarikan buku fantasi itu. Aku dan Jisung pergi ke kelas dulu, jam istirahatnya telah berakhir," Jeongin pamit.

Minho terpaksa mengangguk, mau menolak dan menyanggah jika bel saja belum berbunyi namun dia sadar...

Dia tak ada hak untuk mengajak Jisung tetap tinggal.

***




Tikungan Tajam | minsung ver✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang