BAGIAN 3

585 22 0
                                    

Saat matahari tepat berada di atas kepala, Rangga meninggalkan Padepokan Baja Hitam. Sedangkan Pandan Wangi baru meninggalkan padepokan itu bersama Eyang Balung Gading, setelah beberapa lama Rangga pergi. Mereka menunggang kuda menuju Kotaraja Karang Setra. Sementara itu, Rangga kini telah berada di udara bersama Rajawali Putih.
Mereka melayang-layang di atas bangunan istana tua di Lembah Neraka. Bangunan itu sendiri dijuluki Istana Neraka. Entah, sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti berada di udara bersama burung tunggangan raksasanya. Tapi, mereka tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Sekitar lembah itu tampak sunyi sekali. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.
"Kau lihat di sebelah timur sana, Rajawali...!" seru Rangga tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah Timur.
"Khragkh...!"
"Dekati, Rajawali!" perintah Rangga.
Rajawali Putih tidak membantah sama sekali. Burung raksasa itu langsung meluncur ke arah Timur, mendekati kepulan debu yang terlihat dari angkasa ini. Sebentar saja mereka sudah berada di atas kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa itu.
"Heh...?!" Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu melihat di balik kepulan debu itu. Di sana, tampak Pandan Wangi dari Eyang Balung Gading tengah bertarung melawan sekitar dua puluh orang berpakaian serba merah dan bersenjatakan tombak panjang berwarna merah.
"Turunkan aku di sini, Rajawali!" seru Rangga.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung meluruk turun cepat sekali. Sedangkan Rangga segera berdiri di punggung burung raksasa itu. Lalu....
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melompat turun dengan gerakan begitu manis, sebelum Rajawali Putih mencapai tanah. Sedangkan burung rajawali raksasa itu langsung melambung tinggi kembali ke angkasa. Sementara, Rangga berputaran beberapa kali di udara sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping. Gerakannya seperti seekor burung yang menukik tajam hendak menyambar mangsa. Pendekar Rajawali Sakti memang mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', untuk mengimbangi tubuhnya yang melayang deras di udara.
"Hiyaaa...!"
Wukkk!
Plakkk!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang dan menyayat tiba-tiba terdengar, mengalahkan pekikan-pekikan pertarungan serta dentingan senjata beradu. Itu terjadi ketika kaki Rangga yang bergerak begitu cepat, menghantam kepala salah seorang yang mengeroyok Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Laki-laki berbaju serba merah dan bertubuh tinggi besar itu langsung menggelepar di tanah, dengan kepala retak berlumuran darah.
"Hiyaaa...!"
Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu kakinya menjejak tanah, jurusnya langsung merubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Secara beruntun dan begitu cepat, segera dilepaskan pukulan-pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika langsung terdengar saling sambut. Hanya berapa gebrakan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berhasil merobohkan lima orang yang mengeroyok Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Kehadiran Rangga yang begitu tiba-tiba, dan langsung merobohkan lima orang dalam waktu singkat membuat orang-orang berbaju serba merah itu jadi kalang kabut. Sebaliknya, kehadiran Pendekar Rajawali Sakti justru membuat Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading jadi gembira.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar membelah angkasa. Tubuh-tubuh bergelimang darah terus berjatuhan tak bernyawa lagi. Hingga dalam waktu sebentar saja, sekitar dua puluh orang itu sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Rangga, Pandan Wangi, dan Eyang Balung Gading berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Bau anyir darah langsung saja mengusik lubang hidung mereka.
"Tidak ada seorang pun yang hidup lagi," desah Pandan Wangi yang memeriksa semua mayat itu.
Gadis itu segera menghampiri Rangga yang berdiri di samping Eyang Balung Gading. Beberapa saat mereka tidak ada yang bicara. Mereka merayapi lagi orang-orang berbaju serba merah yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Sedikit Rangga mendongak ke atas, melihat Rajawali Putih masih melayang-layang di angkasa. Begitu tinggi, sehingga sangat kecil kelihatannya.
"Bagaimana kalian bisa bentrok dengan mereka?" tanya Rangga setelah keadaan kembali tenang. Dan kini mereka sudah bisa mengatur napas kembali dengan sempurna.
"Kau kenal mereka, Rangga?" Eyang Balung Gading malah balik bertanya.
Laki-laki tua berjubah kuning gading yang pada dadanya terdapat gambar rantai hitam dan dua bilah pedang bersilang itu memang selalu memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan nama saja. Terutama, bila sedang berada di luar seperti ini. Dan tidak ada sikap tata krama seperti di dalam istana kerajaan. Dan memang, itulah yang selalu diinginkan Rangga. Dia tidak ingin ada orang yang memanggilnya Gusti Prabu bila tidak berada di dalam istana. Pendekar Rajawali Sakti lebih senang orang yang memanggilnya dengan nama, atau julukannya.
"Ya! Mereka memang orang-orangnya Ratu Lembah Neraka," sahut Rangga.
Eyang Balung Gading mengerutkan keningnya, sambil merayapi orang-orang yang bergelimpangan sudah tak bernyawa lagi itu. Laki-laki tua itu seperti tidak percaya atas jawaban Rangga barusaha. Dan sikapnya langsung cepat diketahui Rangga.
"Ada apa, Eyang...? Tampaknya kau tidak percaya kalau mereka orang-orangnya Ratu Lembah Neraka," tanya Rangga langsung mengemukakan perasaan hatinya.
"Setahuku, Dewi Anjungan tidak punya anak buah. Dia selalu hidup sendiri dan tidak ingin ditemani, kecuali oleh Cempaka. Itu sebabnya, kenapa dia selalu mencari kesempatan untuk membawa Cempaka pergi bersamanya," sanggah Eyang Balung Gading perlahan.
"Aku pernah bertemu beberapa orang dari mereka, Eyang. Pakaian dan senjata yang mereka kenakan sama persis," selak Rangga begitu yakin.
"Kau percaya kalau mereka orang-orang Ratu Lembah Neraka?" Eyang Balung Gading kembali melontarkan pertanyaan.
"Percaya...," sahut Rangga. Nadanya terdengar seperti ragu-ragu. "Malah aku juga bertemu dengannya di Istana Neraka, Eyang.
"Istana Neraka...?!" lagi-lagi Eyang Balung Gading terkejut dengan kening langsung makin berkerut.
"Kenapa Eyang terkejut mendengar Istana Neraka...?" selak Pandan Wangi, heran melihat perubahan pada wajah laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
"Aku..., aku..., aku memang terkejut," ujar Eyang Balung Gading jadi tergagap. "Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menemukan istananya kembali...?" Pertanyaan Eyang Balung Gading ini membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melempar pandang.
Mereka jadi heran mendengar kata-kata laki-laki Ketua Padepokan Baja Hitam itu. Dan tampaknya, Eyang Balung Gading benar-benar mengenal wanita cantik seperti Dewi Anjungan yang berjuluk Ratu Lembah Neraka. Eyang Balung Gading juga memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, dia bergegas melangkah cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sejenak Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang, kemudian bergegas menyusul laki-laki tua bejubah kuning gading yang sudah berjalan cukup jauh. Sementara Rangga sempat mendongakkan kepala ke atas. Rajawali Putih masih tampak berada di angkasa, memutari sekitar daerah ini.
"Ikuti terus, Rajawali," ujar Rangga menggunakan suara batin pada Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!"
Suara serak yang keras, sempat mengejutkan Pandan Wangi. Dan gadis itu mendongak ke atas sebentar, kemudian berpaling menatap Rangga yang berjalan cepat sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuh di sampingnya. Sedangkan Eyang Balung Gading berjalan sekitar enam batang tombak di depan mereka.
"Kau masih membiarkan Rajawali Putih di sana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Sampai keadaan terkuasai," sahut Rangga.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dia tahu, kalau Rangga sudah meminta Rajawali Putih untuk tidak pergi, artinya persoalan ini sudah dianggap gawat sekali. Pandan Wangi bisa mengerti kalau Rangga begitu mencemaskan Cempaka. Dan gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain tetap terus mendampinginya. Sementara mereka terus berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Jelas sekali kalau arah yang dituju adalah Lembah Neraka.
Tak ada lagi yang berbicara. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi sedikit pun. Eyang Balung Gading seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Mulutnya berdecak dan kepalanya menggeleng-geleng, memandangi bangunan tua berbentuk istana, yang berdiri di tengah-tengah sebuah lembah yang tampak angker dan menyeramkan ini. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi mengapitnya di kanan dan kiri laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
"Mustahil...," desis Eyang Balung Gading masih belum bisa mempercayai.
"Tidak mungkin dia bisa menemukannya kembali. Tidak mungkin...."
"Ada apa, Eyang? Kau jadi membingungkan sekali...," tanya Rangga.
"Bertahun-tahun istana ini sirna, dan tak akan mungkin bisa ditemukan kembali. Tapi...," Eyang Balung Gading menggeleng-gelengkan kepala, masih belum bisa mempercayai kenyataan yang terjadi di depan matanya. Sirna...?
"Apa maksudmu, Eyang?" selak Pandan Wangi juga jadi bingung.
"Ketika baru berusia sembilan tahun, Cempaka pernah juga diculiknya, dan dibawa ke dalam istana ini. Tidak sedikit sahabatku yang berkorban untuk merebut Cempaka kembali dari tangannya. Dan waktu itu, Dewi Anjungan menghilang entah kemana, setelah Cempaka berhasil kudapatkan kembali. Lalu, aku bersama enam orang sahabatku menghilangkan istana ini, sehingga tidak bisa terlihat lagi. Hanya satu orang yang bisa membuat istana ini muncul kembali," tutur Eyang Balung Gading mengisahkan.
"Siapa orang itu, Eyang?" tanya Rangga.
"Resi Wanapati," sahut Eyang Balung Gading.
"Resi Wanapati...? Bukankah dia sudah...?" Rangga tidak melanjutkan.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Rangga," selak Eyang Balung Gading.
Rangga jadi terdiam. Memang sukar sekali persoalan yang sedang dihadapinya. Dia tahu Resi Wanapati sudah meninggal. Dan orang tua itulah yang mengasuh Danupaksi di padepokannya. Kematian Resi Wanapati pun sudah begitu lama sekali. Sedangkan Eyang Balung Gading masih tetap membisu sambil memandangi bangunan istana tua di tengah Lembah Neraka itu.
"Eyang, jelaskan semuanya. Siapa Dewi Anjungan itu? Dan kenapa menculik Cempaka?" pinta Rangga bersungguh-sungguh.
"Dia adik kandung Kunti Sulistya, ibu kandung Dewi Cempaka. Sejak aku membawa Ibu Kunti Sulistya yang sedang mengandung ke Gunung Puting, Dewi Anjungan selalu mengikuti terus. Dan setelah Cempaka lahir, dia berusaha mengambil anak itu. Terlebih lagi setelah Ibu Kunti Sulistya meninggal, begitu habis melahirkan Cempaka. Dia merasa berhak atas diri Cempaka, dan menuduhku telah menculiknya," jelas Eyang Balung Gading singkat.
"Lalu, apakah Cempaka tahu tentang ini semua?" selak Pandan Wangi bertanya.
"Ya," sahut Eyang Balung Gading. "Dan dia tidak pernah mau mengakui kalau Dewi Anjungan adalah bibinya. Karena, tindakan dan sifat-sifatnya begitu kejam, dan selalu menuruti kata hati iblis."
"Eyang! Tadi kau katakan, istana itu telah dilenyapkan. Bagaimana itu bisa terjadi...?" Rangga ingin tahu.
"Dari gabungan beberapa ilmu kesaktian, Rangga. Tujuh orang, termasuk aku, berusaha siang malam melenyapkan istana itu. Dan pekerjaan itu baru berhasil setelah tujuh hari kami berusaha. Sedangkan seluruh kuncinya berada di tangan Resi Wanapati," Eyang Balung Gading menjelaskan.
"Berupa apa, Eyang?"
"Tenaga batin," sahut Eyang Balung Gading.
"Tenaga batin...?!"
"Benar. Kenapa, Rangga?"
"Aku sering mendengar tentang beberapa ilmu kesaktian yang menggunakan tenaga batin. Dan biasanya, kekuatannya akan hilang jika yang memegang kunci kekuatan itu meninggal, tanpa sempat memindahkan ke orang lain. Sedangkan Resi Wanapati meninggal tanpa sempat mengatakan atau melakukan sesuatu," kata Rangga lagi.
"Jadi...?"
"Kekuatan dari gabungan tujuh ilmu kesaktian yang digunakan untuk melenyapkan istana itu, secara langsung menghilang begitu pemegang kuncinya meninggal. Dan itu berarti Dewi Anjungan bisa memiliki istananya kembali, tanpa harus bersusah payah merebutnya lagi," Rangga terus menjelaskan.
"Ohhh..., Dewata Yang Agung.... Kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana...?" desah Eyang Balung Gading.
"Maaf, Eyang. Bukannya aku menggurui," ucap Rangga.
"Tidak, Rangga. Kau benar sekali. Istana itu memang akan muncul kembali kalau pemegang kuncinya sudah meninggal. Dan aku sama sekali tidak ingat kalau Resi Wanapati yang memegang kunci gabungan tujuh ilmu kesaktian itu sudah meninggal. Ah...! Dasar aku sudah tua...!" Eyang Balung Gading menepuk keningnya sendiri.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi jadi tersenyum-senyum. Kini sudah jelas persoalannya. Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka, sebenarnya adalah bibi dari Cempaka sendiri. Dan sebenarnya pula, dia berhak atas diri Cempaka. Tapi bagaimanapun juga, cara yang dilakukan menyusahkan orang banyak.
Dewi Anjungan memang termasuk tokoh persilatan golongan hitam. Jadi tidak heran kalau Cempaka sendiri tidak menyukainya. Bahkan sama sekali tidak menganggap wanita itu bibinya. Itu bisa dimaklumi, karena Cempaka sejak masih bayi mendapat bimbingan ilmu-ilmu putih dari Eyang Balung Gading, yang telah mengangkatnya sebagai anak.
"Lantas, apa yang akan kita lakukan sekarang...?" tanya Pandan Wangi memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.
"Itulah sulitnya, Pandan...," desah Eyang Balung Gading.
"Maksud, Eyang...?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Terlalu sulit untuk bisa masuk ke dalam istana itu. Kau pasti tidak akan mengerti. Terlalu banyak hal yang tidak bisa kau pahami di sana. Istana itu benar-benar tempat iblis. Terlalu banyak jebakan yang sulit dilalui, meskipun kau memiliki ilmu kesaktian yang tinggi sekalipun. Aku sendiri tidak akan mungkin bisa masuk ke sana hanya seorang diri saja," kata Eyang Balung Gading mencoba menjelaskan.
Pandan Wangi langsung melirik Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mencoba masuk ke dalam istana itu. Dan semalam, Rangga memang sudah menceritakan semua yang dialaminya di dalam Istana Neraka itu. Rangga sendiri baru bisa mencapai ruangan depannya saja. Dan itu pun sudah mendapat halangan yang tidak mudah dilalui begitu saja. Bisa-bisa akan mati di sana, jika terus bertindak nekat.
"Kalau tidak bisa masuk ke sana, lalu bagaimana bisa membebaskan Cempaka...?" Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.
Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Terlebih lagi Eyang Balung Gading, yang sudah pernah menghadapi Ratu Lembah Neraka di dalam Istana Neraka itu juga. Dan dia sendiri tidak tahu, dengan cara apa bisa masuk ke dalam sana. Meskipun, laki-laki tua itu tahu betul seluk beluknya.
Kembali mereka semua terdiam membisu. Benak mereka terus berputar, mencari cara agar bisa membebaskan Cempaka dari dalam Istana Neraka itu. Dan tampaknya, mereka benar-benar menemui jalan buntu. Rangga sendiri yang sudah mencoba masuk ke sana, terpaksa harus keluar lagi. Memang sulit sekali jika sudah berada di dalam bangunan istana tua di Lembah Neraka itu.

***

68. Pendekar Rajawali Sakti : Geger Putri IstanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang