BAGIAN 4

630 25 0
                                    

Malam sudah menyelimuti seluruh daerah Lembah Neraka ini. Langit tampak gelap, karena terselimut awan tebal yang menggumpal hitam. Sehingga, rembulan sepertinya tak sanggup membagi cahayanya ke atas permukaan bumi ini. Sementara itu, Rangga berdiri tegak di depan mulut gua yang tampak terang oleh nyala api unggun. Dari depan gua ini, Pendekar Rajawali Sakti bisa memandang jelas ke Lembah Neraka, tempat sebuah bangunan istana tua berdiri di sana.
Sementara, Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading duduk menghadapi api unggun di dalam gua yang tidak begitu besar ini. Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya menuju ke jalan setapak yang penuh ditebari batu kerikil. Dia terus melangkah dengan pandangan tertuju lurus ke depan bangunan istana tua itu. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Seluruh perhatiannya tertumpah pada bangunan Istana Neraka itu, sehingga tidak menyadari kalau kakinya melangkah menuju ke bangunan istana tua di Lembah Neraka itu.
"Hmmm...."
Rangga baru berhenti melangkah, setelah berada dekat di depan pintu bangunan istana tua itu. Tidak seperti pertama kali datang dulu, pintu itu kini tertutup rapat, dan tampaknya sangat kokoh. Beberapa saat lamanya, bangunan yang sangat besar dan terbuat dari batu yang sudah berlumut itu diamati. Sunyi sekali keadaan sekitarnya. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar Lembah Neraka ini.
"Untuk apa kau datang ke sini, Rangga...?"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang menggema, namun terasa begitu lembut di telinga. Rangga agak tersentak sedikit, dan sempat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Tapi suara itu demikian jelas terdengar. Dan Rangga sadar kalau tidak sedang bermimpi.
Sebagai seorang pendekar yang sudah malang melintang menjelajahi rimba persilatan, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau suara tadi dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga tidak bisa diketahui dari mana arah sumber suara itu datang.
"Siapa kau...?!" seru Rangga agak lantang suaranya.
"Kau tidak bisa melihatku, Rangga...? Aku ada di sini," terdengar sahutan lembut.
Pendekar Rajawali Sakti cepat mendongakkan kepala ke atas. Sungguh hatinya jadi terkejut, begitu melihat seorang wanita cantik tengah berdiri di bagian atas bangunan yang berbentuk beranda itu. Memang, tahu siapa wanita berwajah cantik dan dengan tubuh indah menggiurkan itulah wanita yang bernama Dewi Anjungan, dan dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka. Julukan itu diberikan, karena istananya ini berada di tengah-tengah Lembah Neraka.
"Aku tahu, kau pasti ingin masuk ke dalam istanaku ini. Naiklah ke sini, Rangga...," ujar Dewi Anjungan.
Suaranya masih tetap lembut, meskipun jelas sekali dikeluarkan menggunakan pengerahan tenaga dalam. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap diam membisu memandangnya. Memang tidak sulit mencapai beranda atas itu. Tapi dia berpikir kalau-kalau ini hanya sebuah jebakan saja. Rangga teringat akan kata-kata Eyang Balung Gading, kalau Istana Neraka ini penuh dengan berbagai bentuk jebakan yang sangat berbahaya dan mematikan. Dan hal itu sendiri sudah pernah dialaminya, meskipun baru sampai di bagian ruangan depan saja.
"Kenapa kau diam saja, Rangga? Ayo naiklah ke sini...!" seru Dewi Anjungan mengajak.
"Kenapa tidak kau saja yang turun ke sini...?" balas Rangga.
"Ha ha ha...! Kau ini aneh, Rangga. Kau datang ke sini, itu berarti tamuku. Untuk apa aku harus turun ke bawah menemuimu...? Seharusnya, kaulah yang naik ke sini menemuiku, Rangga."
Rangga terdiam beberapa saat. Kemudian....
"Hup!"
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Hanya sekali lompatan saja, sudah sampai di beranda atas itu, tepat di depan Dewi Anjungan. Wanita itu tersenyum manis sekali melihat cara Rangga yang melompat begitu indah dan ringan, ke atas beranda bangunan istana ini. Dan itu sudah menandakan kalau Rangga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hebat...! Tidak banyak orang yang bisa naik ke sini hanya satu kali lompatan saja," puji Dewi Anjungan diiringi senyum lebar.
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Kau ingin masuk ke dalam?" Dewi Anjungan menawarkan dengan sikap manis.
Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit. Sementara wanita cantik itu memutar tubuhnya berbalik, kemudian melangkah masuk ke dalam. Rangga mengikuti dari belakang. Pendekar Rajawali Sakti langsung berdecak kagum, begitu berada di dalam sebuah ruangan yang sangat besar dan indah. Bangunan ini benar-benar sebuah istana. Mereka terus berjalan melewati beberapa ruangan yang besar-besar dan indah, dan baru berhenti setelah sampai pada salah satu ruangan yang juga berukuran besar dan sangat indah juga Rangga tahu, ini merupakan sebuah ruangan untuk menjamu para tamu.
Mereka kemudian duduk menghadapi sebuah meja berukuran besar dan panjang, yang bagian atasnya berkilat penuh hidangan nikmat. Beberapa guci arak juga tersedia. Dan semua perabotan yang memenuhi ruangan ini terbuat dari perak yang sangat halus sekali buatannya. Tapi ada satu keanehan yang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti. Sejak tadi, dia tidak melihat ada seorang pun di sini. Tidak ada penjaga, atau para pelayan. Keadaannya begitu sunyi. Dan di dalam ruangan yang berukuran besar ini, hanya ada dia dan Dewi Anjungan saja.
"Kau tinggal di sini sendiri?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ya," sahut Dewi Anjungan singkat.
"Tidak ada yang menemanimu?"
Dewi Anjungan malah tertawa. Begitu renyah, dan merdu sekali suaranya terdengar di telinga. Rangga melihat kalau wanita ini tidaklah seperti yang digambarkan Eyang Balung Gading. Sama sekali tidak terlihat adanya kekejaman pada dirinya. Sorot matanya begitu indah dan wajahnya cantik sekali. Ditambah lagi bentuk tubuhnya begitu indah, membuat mata siapa saja pasti tidak akan berkedip memandangnya. Wanita ini benar-benar sempurna.
Dan tak terlihat sedikit pun kalau memiliki hati kejam, sekejam hati iblis. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, apa benar wanita secantik dan periang seperti ini bisa melakukan perbuatan sekeji iblis? Tapi ketika pertama kali bertemu di ruangan depan, sama sekali Rangga juga tidak melihat ada satu sorot kekejaman. Dan yang dilakukan Dewi Anjungan ketika itu memang sangat wajar bagi orang-orang yang hidup di dalam lingkungan rimba persilatan.
"Aku sengaja menunggu, dan menyediakan semua ini untukmu, Rangga," kata Dewi Anjungan lagi.
"Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya Rangga masih bersikap curiga, mengingat kata-kata Eyang Balung Gading mengenai wanita cantik ini.
"Aku suka melakukan sesuatu yang menyenangkan. Dan aku ingin menyenangkanmu, Rangga. Apakah berlebihan...?"
Lagi-lagi Rangga hanya mengangkat bahu saja. Sikap Dewi Anjungan memang sungguh membuatnya bingung. Wanita ini begitu cantik dan manis sikapnya, seperti wanita bangsawan saja. Dan Rangga jadi tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Sementara Dewi Anjungan sudah mengajaknya untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan. Rangga sendiri tidak bisa lagi menolak kebaikan hati wanita ini.
Malam itu, Dewi Anjungan menunjukkan seluruh bagian dari ruangan-ruangan yang ada di dalam istananya ini. Tak ada tanda-tanda sedikit pun kalau istana ini memiliki jebakan maut yang sangat berbahaya dan mematikan, seperti yang dikatakan Eyang Balung Gading. Meskipun dari luar kelihatan begitu angker dan sudah tua, tapi Rangga melihat kalau istana ini begitu indah dan menyenangkan. Tidak jauh berbeda dengan istana kerajaan lain, yang pernah dikunjunginya.
Bahkan Rangga merasa kalau keindahan dan kemegahan istana ini lebih daripada Istana Karang Setra. Kini mereka kembali ke teras depan di atas bangunan istana ini, seperti pertama kali Rangga datang tadi. Mereka duduk di sana menghadapi seguci arak, sambil memandang bulan yang tengah mengintip dari balik awan. Begitu indah sua-sana malam ini. Dan Rangga harus jujur mengakui, kalau keindahan ini justru Dewi Anjungan yang menciptakannya.
"Sekali lagi, aku minta maaf atas perlakuanku waktu itu, Rangga," ucap Dewi Anjungan, mengingatkan kejadian kemarin.
Rangga hanya tersenyum saja. "Kenapa kau kemarin begitu memusuhiku?" tanya Rangga ingin tahu sikap Dewi Anjungan yang sangat jauh perbedaannya saat ini.
"Terus terang, aku masih diliputi ketegangan, Rangga. Belum ada satu tahun aku bisa menghirup udara segar kembali, dan bisa lagi melihat indahnya bulan. Selama bertahun-tahun aku terkurung. Aku tak memiliki kepastian, apakah sudah mati atau hidup. Dan lagi..., belum juga hatiku merasa tenang, sudah muncul gangguan-gangguan tidak menyenangkan yang membuatku marah. Aku benar-benar merasa tegang waktu itu, Rangga. Sampai-sampai aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan, selain mengusir paksa siapa saja yang datang ke sini," jelas Dewi Anjungan.
"Lalu, apa sekarang kau sudah merasa tenang?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sedikit," sahut Dewi Anjungan langsung meneguk arak, hingga tandas tak bersisa lagi. Rangga menuangkan arak dari guci ke dalam gelas Dewi Anjungan yang sudah kosong. Dan dia sendiri, sejak tadi belum juga habis satu gelas. Sedangkan wanita itu, entah sudah berapa gelas arak yang masuk ke dalam perutnya.
"Bibi Dewi, kau tahu maksud kedatanganku ke sini...?" tanya Rangga lagi.
"Ya, aku tahu," sahut Dewi Anjungan perlahan. "Kau mencari Cempaka, dan menyangka aku yang menculiknya. Yaaa..., seperti yang lain. Mereka langsung datang dan menuduhku menculik Cempaka. Padahal, sama sekali aku tidak melakukan itu. Aku baru saja kembali, dan sekarang belum punya pikiran untuk melakukan apa-apa. Aku harus membenahi istanaku dulu, setelah cukup lama terpenjara dalam tirai batin yang begitu kuat."
Rangga diam memandangi wajah cantik yang duduk tidak jauh di depannya. Dia jadi teringat cerita Eyang Balung Gading tentang wanita ini dan Istananya. Langsung bisa dipahami kalau apa yang dikatakan Eyang Balung Gading memang benar. Dan memang belum ada satu tahun Resi Wanapati meninggal. Dan itu berarti memang benar kalau istana ini telah dilenyapkan selama puluhan tahun, dan baru muncul kembali setelah Resi Wanapati meninggal dunia. Tapi Rangga baru tahu kalau Dewi Anjungan ternyata juga ikut lenyap bersama istananya ini. Itu berarti, Dewi Anjungan berada di dalam istana ini ketika dilenyapkan oleh tujuh orang tokoh sakti rimba persilatan. Dengan menggabungkan tujuh macam ilmu kesaktian tingkat tinggi, dan menguncinya di dalam batin Resi Wanapati.
"Kau pasti sudah tahu, siapa aku ini sebenarnya, Rangga," kata Dewi Anjungan lagi.
"Ya," sahut Rangga singkat.
"Bagaimana pendapatmu, jika aku menginginkan untuk mengurus dan mengasuh keponakanku sendiri...?" tanya Dewi Anjungan.
"Kau memang punya hak," sahut Rangga.
"Ya! Aku memang punya hak untuk mengurus Cempaka. Tapi mereka selalu menghalangi, dan tidak mengizinkan aku merawatnya. Mereka selalu saja menyangka aku wanita...," Dewi Anjungan tidak melanjutkan.
Sedangkan Rangga hanya diam saja menatap dalam-dalam wanita berwajah cantik dan menggairahkan ini. Ditunggunya lanjutan kata-kata si Ratu Lembah Neraka itu. Tapi cukup lama juga Dewi Anjungan terdiam, dengan mata lurus menatap rembulan yang mengintip dari balik awan.
"Sejak Cempaka lahir, aku sudah ingin merawatnya. Tapi mereka tidak pernah mengizinkan. Berbagai macam cara sudah kutempuh. Sampai-sampai, aku bertindak kasar. Dan hal itu semakin menjauhkan aku dari Cempaka. Mereka lalu memenjarakan aku dan istana ini, dalam tirai batin yang tidak bisa kutembus. Puluhan tahun aku berada dalam ketidakpastian antara hidup dan mati. Tapi sekarang..., setelah aku kembali sendiri. Hhh..., dunia ini benar-benar tidak adil. Selalu saja penderitaan yang kudapati. Sedikit pun aku tidak pernah merasa ada kebahagiaan menghampiri," nada suara Dewi Anjungan terdengar mengeluh.
"Jadi, kau benar-benar tidak tahu di mana Cempaka berada sekarang ini?" tanya Rangga ingin memastikan.
"Kau sudah lihat sendiri, Rangga. Seluruh ruangan di istana ini sudah kau periksa. Tidak ada lagi yang kusembunyikan di sini," tegas Dewi Anjungan. "Bertahun-tahun aku tidak pernah lagi melihat Cempaka. Dan aku tidak tahu lagi, bagaimana rupanya sekarang ini. Pasti dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik sekali."
"Ya, dia memang cantik. Dan aku sangat menyayanginya," sambut Rangga.
"Kau pantas menyayanginya, Rangga. Karena, kau adalah kakaknya. Dan sudah sepantasnya kalau kau menjaga dan melindunginya."
"Aku sudah berusaha sebaik mungkin."
Kembali mereka terdiam beberapa saat lamanya.
"Bibi Dewi! Beberapa orang di istanaku melihat, kau yang membawa Cempaka...," kata Rangga bernada terputus suaranya.
"Hm...," Dewi Anjungan jadi tersenyum sinis.
Dan Rangga jadi terdiam.
"Aku sudah lenyap selama puluhan tahun bersama istanaku ini, Rangga. Kenapa kau begitu mudah percaya pada omongan kosong seperti itu...? Apa kau tidak pernah berpikir, seseorang yang telah menghilang puluhan tahun bisa dengan mudah dikenali begitu saja? Dan terakhir kali aku melihat Cempaka, saat dia berumur sekitar.... Ah, entahlah. Aku tidak ingat lagi. Dan aku juga sudah lupa, bagaimana rupanya sekarang ini."
"Kau sudah tahu keponakanmu hilang, tapi kenapa diam saja, Bibi Dewi?"
"Aku tidak ingin lagi larut dengan segala macam urusan dunia, Rangga. Tapi, aku juga ikut memikirkan keadaan Cempaka saat ini. Hanya saja, aku sekarang tidak bisa berbuat apa-apa dulu. Penjara batin yang kuderita beberapa tahun telah menguras hampir seluruh kekuatanku. Dan kekuatanku itu harus kupulihkan dulu, sebelum kembali ke dunia ramai. Aku sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa, sampai kekuatanku kembali pulih seperti semula," ujar Dewi Anjungan menjelaskan. "Tidak lama lagi, seluruh kekuatanku pulih kembali. Dan aku pasti akan mencari Cempaka. Tapi sekarang, aku tidak mau lagi memaksakan kehendakku. Aku akan menerima kalau Cempaka memang lebih senang tinggal di Karang Setra. Tapi, istana ini juga tidak tertutup baginya. Juga untukmu, Rangga."
Lagi-lagi Rangga hanya diam saja. Macam-macam pikiran langsung saja berkecamuk dalam kepalanya. Memang, apa yang dilihat dan didengarnya sekarang ini tidak bisa lagi dibantah. Setiap sudut istana ini sudah dilihatnya. Tidak ada satu ruangan pun yang terlewatkan, dan ternyata Cempaka memang tidak ada di dalamnya. Bahkan sikap Dewi Anjungan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang dikatakan Eyang Balung Gading. Rangga tidak bisa lagi menuduh, kalau wanita ini yang menculik Cempaka. Kini semua persoalan baginya jadi buntu.
Sekarang Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu lagi di mana Cempaka berada, dan siapa yang menculiknya. Kepala pendekar muda itu jadi terasa pening memikirkannya. Memang, belum bisa dikatakan begitu saja kalau orang-orang di Istana Karang Setra melihat Cempaka diculik. Namun Pendekar Rajawali Sakti juga tidak menuduh kalau hal itu adalah dusta. Tapi kalau dilihat lenyapnya Dewi Anjungan yang sudah puluhan tahun, dan belum lama baru muncul kembali, rasanya memang mustahil jika ada orang yang langsung mengenalinya begitu saja.
Dan memang, tidak mungkin kalau Dewi Anjungan masih bisa mengenali rupa Cempaka sekarang ini. Karena, terakhir kali melihat, Cempaka masih terlalu kecil. Dan sekarang, Cempaka sadah menjadi seorang gadis cantik. Bahkan merupakan sekuntum bunga yang mengharumkan Istana Karang Setra.

***

Lewat tengah malam, Rangga baru meninggalkan Istana Neraka itu. Memang aneh kalau bangunan itu dinamakan Istana Neraka. Karena, keadaannya begitu indah dan megah sekali. Sungguh berlawanan jika dipandang dari luar, yang tampak menyeramkan sekali. Dewi Anjungan sendiri yang mengantarkan Pendekar Rajawali Sakti sampai di pintu depan. Dan Rangga terus berjalan meninggalkan istana itu tanpa berpaling lagi ke belakang.
Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah tiba di jalan setapak yang menghubungkan lembah itu dengan dunia luar. Rangga baru memutar tubuhnya, dan memandang ke arah bangunan istana tua itu. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri mematung, memandangi bangunan Istana Neraka.
Kemudian, dia kembali melangkah menuju gua yang tidak seberapa jauh dari jalan setapak di sekitar Lembah Neraka ini. Di dalam gua itu, Rangga meninggalkan Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan udara di sekitar lembah ini terasa begitu dingin merasuk sampai ke tulang.
"Dari mana, Kakang...?"
"Oh...?!" Rangga agak tersentak, ketika mendengar teguran lembut. Kepalanya yang tertunduk langsung terangkat. Di depannya, tahu-tahu sudah berdiri Pandan Wangi. Sungguh sama sekali tidak disadarinya kalau sudah berada dekat dengan gua kecil itu. Api unggun di dalam gua masih kelihatan menyala. Tampak Eyang Balung Gading duduk bersila, bersikap semadi. Sementara Pandan Wangi sudah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri sekitar dua langkah lagi di depannya.
"Aku cari ke mana-mana, kau tidak ada. Ke mana saja sih...?" Pandan Wangi agak memberengut.
"Aku ke istana itu," sahut Rangga agak mendesah.
"Ke sana...?!" Pandan Wangi mendelik kaget.
"Iya," sahut Rangga lagi.
"Lalu...?" desak Pandan Wangi jadi ingin tahu.
Rangga hanya menghembuskan napas panjang seraya mengangkat bahu sedikit. Kemudian tubuhnya dihempaskan di atas sebatang akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Pandan Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya, dia masih menunggu jawaban Rangga.
"Kau temukan Cempaka di sana, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi tidak sabar.
"Tidak," sahut Rangga. "Cempaka tidak ada di sana."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."
"Ketika ke sana, aku disambut baik Dewi Anjungan. Bahkan diantar berkeliling, memeriksa seluruh istana itu. Tidak ada yang terlewat, dan Cempaka memang tidak ada di sana," jelas Rangga.
"Terus...?" desak Pandan Wangi.
"Ya.... Tampaknya Dewi Anjungan memang tidak menculik Cempaka, Pandan. Dan dia sama sekali jauh berbeda dari yang dikatakan Eyang Balung Gading. Dia begitu ramah dan baik sekali. Tidak ada tanda-tanda kalau dirinya seorang wanita kejam. Sama sekali tidak terlihat kejanggalan di sana. Semuanya dalam keadaan wajar, dan tidak ada satu jebakan pun kutemui. Bahkan Dewi Anjungan mengakui kalau dia dan istananya terkurung oleh tirai batin yang kuat," jelas Rangga panjang lebar.
"Tapi kata Eyang Balung Gading, dia wanita licik, Kakang. Dia itu ular berkepala dua," sergah Pandan Wangi, seakan-akan tidak percaya atas cerita Rangga mengenai si Ratu Lembah Neraka dan istananya itu.
"Sekarang ini, aku belum bisa menentukannya dengan pasti, Pandan."
Pandan Wangi jadi terdiam. Dan Rangga juga diam membisu. Entah, berapa lama mereka berdiam diri. Berbagai macam pikiran berkecamuk di dalam kepala masing-masing.
"Pandan, kau ingat siapa-siapa saja yang melihat Cempaka diculik waktu itu?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Hampir semua orang yang ada di istana, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Di istana, hanya Ki Lintuk saja yang tertua. Dan sama sekali Ki Lintuk tidak pernah berurusan dengan Dewi Anjungan. Sedangkan yang lain, tidak pernah melihat sebelumnya. Hmmm...," Rangga jadi bergumam, bicara pada diri sendiri.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...?" tanya Pandan Wangi semakin bertambah bingung.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh, Pandan," gumam Rangga, masih seperti untuk diri sendiri.
"Aneh...?"
"Ya," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung bangkit berdiri. Sedangkan Pandan Wangi hanya bisa memandangi dengan sinar mata masih diliputi ketidakmengertian.
"Aku akan ke Karang Setra dulu, Pandan. Kau tetap di sini bersama Eyang Balung Gading. Dan besok pagi-pagi sekali, aku sudah ada di sini lagi," kata Rangga buru-buru.
"Eh...?!" Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Rangga sudah melesat begitu cepat. Sehingga dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat lagi. Pandan Wangi jadi termangu sendiri, terus menduga-duga dalam hati. Apa sebenarnya yang sedang terjadi sekarang ini...?

***

68. Pendekar Rajawali Sakti : Geger Putri IstanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang