BAGIAN 8

625 30 0
                                    

Dewi Anjungan memang sudah tidak ada lagi di sana. Dan ini membuat Rangga jadi sedikit geram juga pada wanita yang dijuluki Ratu Lembah Neraka itu. Kamar yang berukuran tidak begitu besar itu dalam keadaan kosong. Tak ada seorang pun terlihat di sana. Benar-benar kosong. Sedangkan Pandan Wangi begitu yakin, kalau tadi meninggalkan Dewi Anjungan yang sedang bersemadi di dalam kamar ini.
"Sebaiknya kau keluar, Pandan. Tunggu aku di depan," kata Rangga
"Kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi.
"Aku akan memeriksa seluruh ruangan di sini," sahut Rangga.
"Kenapa tidak berpencar saja, Kakang?"
"Jangan.... Istana ini terlalu penuh jebakan. Maaf, bukannya aku merendahkanmu. Tapi kupikir, sebaiknya aku saja sendiri yang memeriksa seluruh bagian istana ini," kata Rangga memberi alasan.
"Baiklah, aku menunggumu sampai fajar," Pandan Wangi mengalah.
"Aku masuk ke sini. Kalau kau tidak keluar sampai fajar besok."
Rangga hanya mengangguk saja, kemudian melangkah meninggalkan Pandan Wangi yang juga terus berjalan keluar dari istana ini. Gadis itu melalui jalan yang sama, ketika masuk bersama Rangga tadi. Dan memang, tadi Pandan Wangi sempat dibuat repot oleh berbagai macam jebakan. Tapi untung saja Rangga berhasil menjinakkan semua jebakan yang terpasang pada setiap ruangan di dalam istana ini.
Sementara itu, Rangga terus mengayunkan kakinya memeriksa setiap ruangan yang ada di dalam istana ini. Entah, sudah berapa ruangan diperiksa. Namun, tak ada satu pun jebakan yang ditemuinya. Bahkan untuk menemukan jejak Dewi Anjungan saja, rasanya terlalu sulit di dalam istana yang besar ini, penuh ruangan besar-kecil dan lorong yang panjang berliku.
Sampai seluruh pelosok diperiksa, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda Dewi Anjungan. Dan Pendekar Rajawali Sakti kini berada di dalam sebuah beranda atas bangunan istana ini. Sebuah beranda yang cukup luas, dan bisa langsung melihat ke halaman depan Istana Neraka ini. Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangan ke halaman depan, mendadak saja....
"Heh...?!" Kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar, begitu melihat ke halaman depan bangunan istana di Lembah Neraka ini. Tampak jelas di dalam keremangan sinar bulan, terlihat dua orang sedang bertarung di halaman itu. Dan Rangga langsung mengenali, kalau mereka yang sedang bertarung adalah Pandan Wangi dan Dewi Anjungan. Sedangkan tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan, terlihat Eyang Balung Gading dan Cempaka terduduk di tanah dengan seluruh tubuh terikat rantai.
"Gila...! Apa-apaan ini...?!" desis Rangga.
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat berlari ke tepi beranda ini. Memang tinggi sekali, dan rasanya tidak akan mungkin ada orang yang bisa selamat kalau melompat dari ketinggian seperti ini. Rangga jadi berpikir juga, walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Tapi ketika melihat Pandan Wangi terus terdesak, Rangga jadi cemas juga. Sehingga....
"Hup! Yeaaah...!" Tanpa menghiraukan kalau tempat ini begitu tinggi, Rangga langsung saja melompat sambil mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Begitu ringan Pendekar Rajawali Sakti melayang di udara. Kedua tangannya dikembangkan seperti seekor burung rajawali yang sedang melayang di angkasa.
Pada saat itu, selembar daun kering melayang di dekatnya. Rangga cepat menangkap daun kering itu, kemudian melemparkannya ke bawah kaki. Dengan ujung jari kaki, ditotoknya daun kering tadi, untuk melenting dan berputaran beberapa kali. Lalu, manis sekali, kakinya menjejak tanah, tidak jauh dari pertarungan antara Pandan Wangi dan Dewi Anjungan.
"Kakang Rangga...," desah Cempaka yang langsung melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu gembiranya Cempaka melihat kedatangan Rangga. Kalau saja tidak terbelenggu rantai barang kali gadis itu sudah menghambur, memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Tapi rantai yang mengikat seluruh tubuhnya, membuatnya hanya bisa memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih itu dengan sinar mata berbinar. Dan Eyang Balung Gading hanya mendesah lega, melihat Rangga datang, tepat di saat Pandan Wangi benar-benar sudah kewalahan menghadapi Dewi Anjungan.
"Hiyaaa...!"
Desss!
"Akh...!" Pada saat itu, satu pukulan yang dilepaskan Dewi Anjungan tepat menghantam dada Pandan Wangi. Akibatnya si Kipas Maut itu jadi terhuyung-huyung kebelakang. Kalau saja Rangga tidak cepat menangkapnya, barangkali gadis itu sudah tersuruk jatuh. Pandan Wangi agak terkejut juga. Tapi begitu mengetahui orang yang menyangga tubuhnya, hatinya jadi gembira dan tersenyum lebar.
"Kakang...," desah Pandan Wangi gembira.
"Rangga..,?!" desis Dewi Anjungan terkejut melihat Rangga.
"Kau tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga.
"Tidak. Hanya, dadaku sesak sedikit," sahut Pandan Wangi.
"Menyingkirlah. Bebaskan Eyang Balung Gading dan Cempaka," kata Rangga.
"Hati-hati, Kakang. Dia tangguh sekali," Pandan Wangi memperingatkan.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melepaskan rangkulannya pada gadis itu. Sementara Pandan Wangi bergegas menyingkir menghampiri Eyang Balung Gading dan Cempaka yang masih terduduk di tanah, dengan seluruh tubuh terikat rantai baja yang sangat kuat.
"Tidak kusangka. Wajahmu yang cantik, tutur katamu yang lembut, ternyata menyimpan secawan racun...," ujar Rangga mendesis dingin.
"Rangga! Bukankah kau katakan kalau aku punya hak atas Cempaka...? Aku hanya menuntut hakku! Dia keponakanku, anak dari kakak kandungku. Apa aku salah kalau ingin menyayangi dan mewariskan semua yang kumiliki padanya...? Kau seorang raja, Rangga. Seorang pendekar.... Seharusnya kau bisa melihat yang ada di sekelilingmu. Ingat, Rangga... Kau juga masih terhitung keponakanku. Aku ingin tahu, di mana kau berdiri saat ini...?" lantang sekali suara Dewi Anjungan.
"Aku berada di jalan keadilan, Dewi Anjungan," sahut Rangga kalem.
"Keadilan.... Hhh! Apa ini namanya keadilan, heh..?"
"Aku tahu, kau memang berhak atas diri Cempaka, Dewi Anjungan. Dan aku juga tidak akan menghalangi. Tapi, jika kau melakukannya secara benar."
"Apa kau anggap aku ini salah? Aku merasa harus mengganti kedudukan ibunya. Dan seorang ibu akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali anaknya yang hilang. Walau nyawa sekalipun taruhannya. Hhh!..! Aku tahu, kau pasti sulit mengerti perasaan wanita, Rangga. Kau pasti sudah terpengaruh cerita Balung Gading. Kau pasti menganggap diriku sebagai wanita rendah, kotor, dan hina! Wanita berhati iblis...!" agak tertahan nada suara Dewi Anjungan.
Rangga jadi terdiam, dan benar-benar merasa serba salah sekarang ini. Dan di satu pihak, dia harus menjaga dan membela Cempaka. Tapi di pihak lain, dia tidak bisa mengingkari kalau wanita yang dihadapinya masih terhitung bibinya juga. Karena, Dewi Anjungan adalah adik kandung dari ibu Cempaka. Sedangkan Cempaka adalah adik tirinya.
Memang sulit bagi Rangga dalam menghadapi persoalan ini. Dan dia merasa sedang menghadapi satu tuntutan untuk bertindak adil dan bijaksana. Rangga menyadari, kalau menggunakan ilmu kedigdayaan dan kesaktian bukanlah jalan terbaik dalam penyelesaian persoalan ini. Bahkan bukan tidak mungkin malah akan menambah buruk keadaannya.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah berhasil memutuskan rantai yang membelenggu Cempaka dan Eyang Balung Gading mempergunakan Pedang Naga Geni. Mereka mendengar semua pembicaraan antara Rangga dengan Dewi Anjungan tadi. Pandan Wangi yang sudah mengerti seluruhnya, dan menyadari akan keadaannya, tidak mau jauh dari Cempaka. Bisa dirasakan, apa yang sedang dirasakan hati gadis ini.
Cempaka memang membenci Dewi Anjungan. Tapi, nalarnya harus menerima kalau wanita itu adalah bibinya. Adik kandung ibunya sendiri, walau yang sudah dilakukannya sungguh sangat menyakitkan hati.
"Rangga! Kupikir sudah saatnya menentukan, siapa yang berhak memiliki Cempaka. Kau, atau aku...," tegas Dewi Anjungan.
"Apa maksudmu, Dewi Anjungan?" tanya Rangga agak terkejut mendengar keputusan Ratu Lembah Neraka itu.
"Siapa yang lebih digdaya di antara kita, dialah yang berhak atas Cempaka," tegas Dewi Anjungan.
Rangga jadi terlongong tidak mengerti keinginan Ratu Lembah Neraka itu. Walaupun sudah diduga, tapi tetap saja terkejut mendengar kata-kata bernada tegas itu. Sekilas matanya melirik Cempaka yang berdiri diapit Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Tampak jelas raut wajah Cempaka memancarkan kecemasan. Kata-kata yang diucapkan Dewi Anjungan tadi, memang terdengar lantang dan jelas sekali. Sudah barang tentu, mereka semua tahu artinya. Rupanya Dewi Anjungan sudah melemparkan satu tantangan pada Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Bersiaplah, Rangga. Hadapilah aku...!" desis Dewi Anjungan dingin menggetarkan. "Hap...!" Ratu Lembah Neraka langsung saja membuka satu jurusnya.
Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, seperti tidak ingin melayani tantangan wanita cantik itu. Sedangkan Dewi Anjungan tampak tidak peduli atas sikap Rangga.
"Tahan seranganku, Rangga! Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras menggelegar, Ratu Lembah Neraka melompat begitu cepat bagai kilat sambil melontarkan satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak. Dan ini membuat Dewi Anjungan jadi terkejut.
"Cepat menyingkir...!" seru Dewi Anjungan tiba-tiba. Tapi memang sudah terlambat. Ternyata tadi Dewi Anjungan sudah melakukan serangan yang sudah tidak dapat ditarik kembali. Bahkan pukulannya sudah terlontar begitu cepat. Sehingga....
"Kakang...!" jerit Cempaka.
Glarrr...!
"Oh, tidaaak...!" jerit Pandan Wangi.
Memang sukar bisa dipercaya, kalau Rangga tetap diam menerima pukulan maut bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Dewi Anjungan. Bahkan Ratu Lembah Neraka itu sendiri jadi terkejut setengah mati, karena serangannya juga tidak bisa lagi dihentikan. Sehingga, telak sekali pukulan yang dilepaskan menghantam dada Rangga yang sama sekali tidak terlindungi.
Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat, ketika pukulan yang dilepaskan Dewi Anjungan menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, memercik bunga api disertai gumpalan asap tebal yang langsung menyelimuti seluruh tubuh Rangga. Sementara, Dewi Anjungan cepat-cepat melompat ke belakang beberapa langkah. Dan ketika asap yang menyelimuti seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti memudar....
"Kakang...!" jerit Cempaka.
"Tidaaak...!" Pandan Wangi juga memekik menyayat. Kedua gadis itu langsung menghambur, berlari ke arah Rangga yang tampak tergolek di tanah.
Sementara, Dewi Anjungan jadi tertegun memandangi tubuh Rangga yang terbujur tidak bergerak-gerak sedikit pun juga. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau Rangga akan berbuat seperti itu. Tubuhnya dibiarkan menjadi sasaran, tanpa melakukan perlawanan sedikit pun juga. Sementara, Pandan Wangi dan Cempaka sudah memeluk tubuh Rangga yang masih terbujur tidak bergerak sedikit pun juga.
Sedangkan Dewi Anjungan masih tetap berdiri terpaku, tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Sedangkan Eyang Balung Gading tampak berdiri tegak di belakang Cempaka. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung pada Dewi Anjungan yang berdiri mematung memandangi Rangga yang kini berada dalam pelukan amarahnya.
Tiba-tiba saja gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu bangkit berdiri. Langsung kedua senjata pusakanya dicabut. Pedang Naga Geni berada di tangan kanan, Kipas Maut Baja Putih terkembang di tangan kiri. Napasnya mendengus memburu. Sinar matanya begitu tajam menatap langsung Dewi Anjungan.
"Hiyaaat...!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Pandan Wangi melompat menyerang Ratu Lembah Neraka. Kedua senjata pusakanya berkelebat cepat sekali, membuat Dewi Anjungan jadi terperangah sesaat. Namun cepat-cepat tubuhnya meliuk, sambil menarik kakinya ke belakang menghindari serangan gencar yang dilancarkan si Kipas Maut itu.
Sementara, Cempaka juga sudah bangkit berdiri setelah meletakkan tubuh Rangga yang masih terbujur dengan mata terpejam. Gadis itu melangkah perlahan menghampiri Pandan Wangi yang sudah bertarung kembali melawan Dewi Anjungan. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju langsung pada pertarungan itu.
Sedangkan Eyang Balung Gading jadi merasa serba salah. Berganti-ganti ditatapnya Rangga yang terbaring di tanah, lalu beralih ke arah dua wanita yang bertarung. Juga, ke arah Cempaka yang terus melangkah mendekati pertarungan.
"Hentikan pertarungan itu, Eyang...."
"Heh...?!" Eyang Balung Gading jadi terkejut setengah mati. Cepat kepalanya menoleh ke arah Rangga. Tampak Pendekar Rajawali Sakti sedang duduk dengan bibir tersenyum. Dan ini membuat laki-laki tua itu jadi ternganga. Sungguh tadi disangkanya kalau Pendekar Rajawali Sakti mati, tapi kenyataannya masih kelihatan segar, tanpa kurang suatu apa pun juga. Bahkan dengan enak sekali Rangga bangkit berdiri.
"Kau.... Kau masih hidup, Rangga...?" agak tergagap suara Eyang Balung Gading.
"Ya! Aku tidak apa-apa," sahut Rangga tetap tersenyum.
"Tapi tadi...."
"Aku tahu, Eyang. Aku memang sengaja tidak menghindar. Seluruh jalan darah dan pernapasan kututup ketika Dewi Anjungan memukulku tadi. Dan lagi aku tahu, kalau kekuatan wanita itu tidak ada setengahnya lagi. Tapi kuakui, dia memang wanita luar biasa. Hampir saja aku tidak kuat menahannya," ujar Rangga menjelaskan.
"Kau..., kau tidak menggunakan ilmu apa-apa, Rangga?"
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja sambil melayangkan pandang ke arah pertarungan antara Pandan Wangi dan Dewi Anjungan. Tentu saja Rangga tidak akan mengatakan kalau tadi mengerahkan satu ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas. Sebuah ilmu yang sangat langka dan tidak pernah digunakan selama ini. Sementara itu, Cempaka hanya berdiri saja tidak jauh dari pertarungan itu. Sepertinya Cempaka jadi bimbang, harus berpihak pada siapa.
"Berhenti, kalian...!" seru Rangga tiba-tiba.
Suara Rangga yang begitu keras menggelegar, seketika membuat pertarungan berhenti. Dan mereka langsung berpaling. Betapa terkejutnya ketiga wanita itu, ketika melihat Rangga berdiri tegak, dan tampak segar. Mereka hampir tidak percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti masih hidup. Sedangkan tadi, sama sekali Rangga tidak bergerak sedikit pun juga. Bahkan detak jantungnya saja tidak terdengar sama sekali.
"Kakang, kau...," desis Pandan Wangi tertahan.
"Kakang...!" seru Cempaka gembira.
Kedua gadis itu langsung berlari menghampiri Rangga, dan melupakan Dewi Anjungan yang berdiri saja memandangi. Wanita itu masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Padahal, dia tadi begitu yakin kalau Rangga sudah tewas akibat pukulannya yang telak mengenai dada. Tapi sekarang..., Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tegar, tak kurang suatu apa pun juga.
Sementara Pandan Wangi dan Cempaka memeluk Pendekar Rajawali Sakti secara bersamaan, sehingga Rangga jadi kewalahan juga. Perlahan Rangga melepaskan kedua pelukan gadis itu, kemudian melangkah menghampiri Dewi Anjungan yang masih berdiri tegak memandanginya dengan sinar mata mengandung ketidakpercayaan.
"Kenapa kau berpura-pura, Rangga? Kau ingin mempermainkan aku, ya...?!" sentak Dewi Anjungan jadi geram.
"Tunggu dulu..., aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Aku hanya ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa harus ada pertumpahan darah di antara kita. Bagaimanapun juga, kita harus bersaudara," kata Rangga menenangkan.
"Apa maksudmu, Rangga?"
"Kau tentu menyayangi Cempaka, karena memang keponakanmu. Dan aku juga menyayanginya, karena memang adikku. Kita sama-sama menyayangi Cempaka, jadi tidak seharusnya ada pertengkaran di antara kita. Dan kurasa, biarlah Cempaka sendiri yang memutuskannya," kata Rangga memberi pilihan.
Dewi Anjungan terdiam. Sebentar dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Cempaka yang berdiri didampingi Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Beberapa saat lamanya Ratu Lembah Neraka itu terdiam. Tampak sekali kalau kata-kata yang diucapkan Rangga tadi tengah dipertimbangkannya.
Sementara itu Cempaka melangkah menghampiri. Dan kini gadis itu berdiri di tengah-tengah, antara Rangga dan Dewi Anjungan. Sedangkan Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading sudah berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Dengar! Aku ingin memutuskan masalah ini. Dan tak ada seorang pun yang bisa merubah keputusanku," tegas Cempaka.
Semua perhatian tertuju pada gadis itu, dan tak ada seorang pun yang membuka suara.
"Aku tetap tinggal di Istana Karang Setra. Dan aku berjanji, selama tiga hari setiap bulan purnama akan tinggal di sini bersamamu, Bibi Dewi. Tapi, kau harus berjanji untuk membuang segala perbuatan buruk yang merugikan orang banyak. Aku bersedia menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan, asal kau sudi berdiri di atas keadilan dan membela orang-orang yang lemah, serta memerangi kejahatan. Bagaimana...?"
Dewi Anjungan tersenyum lebar, kemudian menghampiri Cempaka. Langsung direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukan. Hal ini membuat Rangga, Pandan Wangi, dan Eyang Balung Gading tersenyum lega. Kini tak ada lagi pertentangan di antara mereka semua.
"Di dalam keterasingan bertahun-tahun, aku sudah banyak merenung. Dan aku memang berjanji untuk meninggalkan semua kebiasaan burukku selama ini. Dan aku akan belajar pada kakakmu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Dewi Anjungan.
"Oh, Bibi...." Cempaka membalas pelukan wanita cantik yang selama ini dijuluki Ratu Lembah Neraka.
Agak lama juga mereka berpelukan, kemudian Dewi Anjungan melepaskan pelukannya. Ditatapnya Rangga, Pandan Wangi, dan Eyang Balung Gading bergantian.
"Bagaimana kalau kalian kuundang ke istanaku...?" ujar Dewi Anjungan.
"Dengan satu syarat, jangan ada jebakan di dalam istanamu," sambut Eyang Balung Gading.
Dewi Anjungan tertawa terbahak-bahak. dan mereka semua jadi tertawa mendengar kelakar Eyang Balung Gading.
Sementara itu, matahari sudah mulai menyemburatkan cahayanya di ufuk Timur. Begitu cerah, secerah wajah-wajah yang berjalan menuju Istana Neraka. Di mata mereka, bangunan tua itu tidak lagi terlihat angker. Bahkan lembah ini juga terlihat begitu indah. Seindah hati Rangga yang telah berhasil menyatukan Cempaka dengan bibinya.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 68. Pendekar Rajawali Sakti : Geger Putri Istana 🎉
68. Pendekar Rajawali Sakti : Geger Putri IstanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang