BAGIAN 6

556 22 0
                                    

Eyang Balung Gading jadi gembira melihat Cempaka mulai merintih lirih dan menggerak-gerakkan kepalanya. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu mengerjap terbuka. Sementara Eyang Balung Gading sudah menghampirinya, dan kini berdiri di samping pembaringan. Cempaka masih merintih lirih, namun matanya kembali terpejam. Kepalanya terus bergerak perlahan. Beberapa saat kemudian, gadis itu membuka kelopak matanya kembali. Sebentar dikerjapkannya, lalu....
"Oh, Ayah...," desisnya tampak terkejut.
Bergegas Cempaka bangkit dari pembaringan, begitu melihat Eyang Balung Gading berada di dalam ruangan ini. Cempaka langsung berlutut dan memeluk kaki laki-laki tua berjubah kuning gading itu. Kedua bola mata Eyang Balung Gading jadi berkaca-kaca gembira mendapatkan kembali anak angkatnya yang dalam keadaan selamat. Meskipun tampaknya gadis itu masih kelihatan lelah sekali, setelah seluruh totokan yang menyumbat semua jalan darahnya terbebaskan.
"Bangunlah, Anakku," ujar Eyang Balung Gading sambil membangunkan Cempaka.
Perlahan gadis itu bangkit berdiri. Sementara Eyang Balung Gading melangkah mendekati sebuah kursi yang berada tidak jauh dari sebuah jendela kecil yang tertutup rapat. Letaknya cukup tinggi, jauh dari jangkauannya. Sedangkan Cempaka sudah duduk di pinggir pembaringan. Eyang Balung Gading mengedarkan pandangan berkeliling. Kini baru sempat diperhatikannya keadaan kamar ini. Tidak terlalu buruk, tapi tidak memungkinkan cahaya matahari bisa masuk ke dalam. Karena, satu-satunya jendela kecil dalam keadaan tertutup. Dan lagi, belum tentu seluruh dinding dan atap serta lantainya berhubungan langsung dengan luar. Eyang Balung Gading kemudian menatap Cempaka yang juga masih tetap diam memandangnya.
"Kau tahu, apa yang terjadi pada dirimu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading.
"Aku.... Aku tidak tahu, Ayah," sahut Cempaka yang masih juga memanggil Eyang Balung Gading dengan panggilan ayah.
"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi.
Cempaka terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut, mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Perlahan-lahan kepalanya yang tadi tertunduk diangkat kembali, dan langsung pandangannya bertemu tatapan mata ayah angkatnya ini. Beberapa saat Cempaka masih terdiam, tidak menjawab pertanyaan Eyang Balung Gading.
"Bibi Anjungan, Ayah...," desis Cempaka tiba-tiba, "Oh..." Cempaka langsung menghambur, dan berlutut di dekat kaki Eyang Balung Gading.
Gadis itu langsung merebahkan kepalanya di pangkuan laki-laki tua berjubah kuning gading ini. Entah kenapa, tahu-tahu bahu gadis itu berguncang. Seketika terdengar isak tangisnya yang begitu perlahan. Jelas, Cempaka berusaha keras agar tidak menangis di depan laki-laki tua yang selama ini selalu dianggap ayahnya. Meskipun, dia tahu kalau Eyang Balung Gading bukanlah ayah kandungnya sendiri.
Agak lama juga Cempaka terisak. Sementara Eyang Balung Gading membiarkan saja gadis itu menangis di atas pangkuannya, meskipun Cempaka sendiri berusaha keras agar isak tangisnya tidak terdengar. Dengan ujung lengan baju, disekanya air mata yang membasahi pipinya. Kemudian perlahan kepalanya diangkat, langsung menatap wajah Eyang Balung Gading. Senyuman tipis terlihat tersungging di bibir laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
"Bibi Anjungan membawaku dari istana, Ayah. Dia datang begitu tiba-tiba. Aku langsung dilumpuhkan, sebelum bisa berbuat sesuatu, Ayah...," agak tersentak suara Cempaka.
"Hmmm.... Jadi, benar-benar dia yang menculikmu, Cempaka...," gumam Eyang Balung Gading pelan sekali suaranya. Hampir tak terdengar di telinga Cempaka.
"Dia memaksa agar aku mengikutinya, Ayah. Aku tidak mau, lalu dia marah. Kemudian aku dilumpuhkannya, sehingga seperti mati saja rasanya," sambung Cempaka lagi.
"Apa yang dikehendakinya darimu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading.
"Dia ingin mewariskan ilmu-ilmu setannya padaku. Bahkan diharuskan menikah dengan laki-laki pilihannya. Aku tidak menyukainya, Ayah. Dia begitu kasar dan mengerikan. Dia tidak lebih dari iblis...!" agak mendesis nada suara Cempaka.
"Siapa laki-laki itu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi.
"Naga Ireng," sahut Cempaka.
"Naga Ireng...," desis Eyang Balung Gading agak menggeram suaranya.
"Ayah mengenalnya?"
Eyang Balung Gading tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Perlahan kakinya melangkah mendekati pintu dari besi baja yang tertutup rapat. Tangannya terulur, mencoba membuka pintu itu. Tapi pintu sudah terkunci, dan tidak bisa dibuka lagi. Perlahan Eyang Balung Gading memutar tubuhnya, memandang Cempaka yang sudah berdiri memandanginya juga. Eyang Balung Gading kembali melangkah, sambil mengamati setiap sudut dari dinding ruangan ini. Pada saat itu, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"
"Oh...?!"
Suara tawa yang begitu keras menggema dan tiba-tiba, membuat Eyang Balung Gading dan Cempaka jadi terkejut. Cepat-cepat Cempaka melompat menghampiri ayah angkatnya ini. Pada saat itu pintu besi baja terbuka lebar, menimbulkan suara bergerit yang menggiris hati. Dan dari balik pintu, muncul seorang wanita berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna merah muda yang begitu tipis, sehingga membayangkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah dan menggairahkan.
"Dewi Anjungan...," desis Eyang Balung Gading langsung mengenali.
"Sungguh pertemuan yang sangat mengharukan sekali," ucap Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka. "Selamat datang kembali di istanaku ini, Balung Gading."
"Kenapa kau tidak pernah jera mengganggu ketenteraman kami, Dewi Anjungan?" dengus Eyang Balung Gading ketus.
"Aku tidak akan merasa jera sedikit pun untuk menuntut hakku, Balung Gading," sahut Dewi Anjungan kalem.
"Kau tidak punya hak sama sekali!" sentak Eyang Balung Gading semakin ketus.
"Oh, begitukah...? Lalu, apa kau yang lebih berhak untuk mengurus Cempaka? Kau bukan apa-apa, Balung Gading. Bahkan tidak ada setetes darahmu yang mengalir di tubuhnya. Sedangkan aku... Aku adalah bibinya, yang paling berhak untuk mengurus Cempaka!" tegas Dewi Anjungan.
"Kalau saja kau melakukannya dengan cara baik, dan tidak memaksakan kehendakmu pada Cempaka untuk maksud-maksud busukmu, tentu aku tidak akan keberatan. Tapi apa yang kau lakukan pada Cempaka, memaksaku untuk tidak memberikannya padamu!" balas Eyang Balung Gading semakin dingin.
"Lagakmu seperti manusia yang paling suci di jagad ini saja, Balung Gading. Aku rasa, kau tidak lebih kotor dariku!" dengus Dewi Anjungan ketus.
"Semua manusia memang tidak luput dari dosa, Dewi Anjungan. Tapi, aku berusaha untuk memperkecil dosa. Dan Cempaka tetap tidak akan kuserahkan padamu, jika kau masih tetap mempunyai maksud busuk padanya!"
"Ha ha ha...! Seharusnya kau sadar berada di mana sekarang ini, Balung Gading...?" lantang sekali suara Dewi Anjungan.
Eyang Balung Gading jadi terdiam. Disadari kalau sekarang ini berada di dalam Istana Neraka, tempat tinggal Dewi Anjungan. Sebuah istana yang penuh berbagai macam jebakan maut dan sangat mematikan. Dan berada di dalam istana ini, itu berarti sebagian besar nyawanya hampir melayang. Jadi hanya tinggal menunggu saat kematian saja.
"Ha ha ha...!" Sambil tertawa terbahak-bahak, Dewi Anjungan memutar tubuhnya berbalik.
Dan dengan tenang sekali wanita itu melangkah keluar dari ruangan itu. Pintu yang terbuat dari besi baja kokoh itu langsung tertutup saat Dewi Anjungan melewatinya. Suara tawa Ratu Lembah Neraka itu masih terdengar beberapa saat, kemudian suasana kembali jadi sunyi sekali.
"Ayah! Apa kita bisa keluar dari sini?" tanya Cempaka seperti anak kecil.
"Apa pun yang terjadi, kita harus berusaha keluar dari sini, Cempaka," sahut Eyang Balung Gading mantap.

68. Pendekar Rajawali Sakti : Geger Putri IstanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang