004

1.9K 336 34
                                    

"Kak Batara kenal Arkasa?" Gema mengkerutkan dahinya bingung melihat Arkasa membuang muka begitu melihat orang lain datang diantara mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kak Batara kenal Arkasa?" Gema mengkerutkan dahinya bingung melihat Arkasa membuang muka begitu melihat orang lain datang diantara mereka.

Menggulung lengan kemejanya—yang dipanggil Batara membentuk senyum tipis diwajahnya. Dia melirik pada Arkasa yang saat ini tengah membuang muka, jelas sekali pemuda berambut hitam legam itu sangat tidak ingin melihat wajahnya.

"Kenal."

"Gak kenal." Sahut Arkasa cepat, ekspresi wajahnya jelas tidak santai, dia melirik pada Batara dengan pandangan penuh kebencian, dia akan melenggang pergi begitu saja sebelum Batara membuka suara kembali.

"Gue gak tau apa yang lo rencanain sampai lo nekat masuk UGM, Arkasa."

Arkasa tidak menoleh kebelakang, dia tahu maksud kata-kata itu, tapi dia tidak menduga jika Batara akan begitu blak-blakkan tentang semuanya. Satu-satunya hal yang dia benci selain Abimanyu adalah Batara yang merupakan akar dari semua masalah yang menimpanya selama ini.

Tanpa mengatakan apapun, Arkasa membuka pintu kamarnya dan membantingnya dengan keras.

'lo gak tau apa-apa, Batara'

.

[...]

.

Halim terkekeh pelan begitu melihat Pramana tersedak bakso yang ditelannya bulat-bulat. Mahasiswa dari fakultas Ilmu Budaya itu hampir menangis disudut matanya sebelum Halim menepuk-nepuk belakang punggungnya dengan keras— hingga membuat bakso bulat yang tadi berada di ujung tenggorokannya menggelinding jatuh ke lantai kantin fakultas Hukum.

Orang lain yang sejak tadi duduk dekat dengan keduanya memandang jijik pada pemandangan itu. "Pramana, mending lo gak usah makan bakso lagi." Abimanyu menggeram begitu menyadari jika rokoknya ketinggalan di asrama.

"Tapi gue cinta bakso, cinta mati." Pramana kembali menyendok bulatan bundar di mangkuk bakso miliknya, rambut nyentrik menyerupai warna batu bata itu membuat Halim mengusak rambut Pramana main-main, membuat empunya memandangnya, tapi sedetik kemudian Pramana kembali sibuk dengan baksonya.

"Jadi, kita nungguin siapa disini?" Tanya Pramana begitu menyadari jika Abimanyu benar-benar membuat Halim dan dirinya menunggu di kantin fakultas Hukum sejak satu jam yang lalu, dibuktikan dengan empat mangkok bakso yang sudah Pramana habiskan.

"Orang gak penting." jawab Abimanyu, dia melirik jam tangan rolex yang baru dibelinya seminggu lalu, mendengus janji temu bisa menjadi sengaret ini.

"Sorry, gue kelamaan ngobrol sama dosen tadi."

Seorang pemuda dengan senyuman tipis menghampiri meja mereka, Abimanyu kembali mendengus, sedangkan Halim dan Pramana menganga dengan mulut terbuka lebar. "Lo bukannya juara Kimia di USA tahun kemaren?"

"Bogum Batara Putra, kan?" Itu Pramana yang sudah mengabaikan mangkuk baksonya—membuang cintanya begitu saja.

Yang ditanya mengangguk, "Panggil Batara aja."

afeksi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang