Tiga hari sudah berlalu. Kini tidak ada lagi orang yang membicarakan kematian Rawani yang begitu menyedihkan. Bahkan sudah banyak orang yang melupakannya. Sehingga, dugaan-dugaan kalau Rawani diperkosa sebelum gantung diri pun sudah tidak lagi terdengar. Rasa takut dan kecemasan yang semula menghinggapi gadis-gadis dan orang-orang tua, kini sudah mulai berangsur hilang.
Sementara itu, malam kembali menyelimuti seluruh Desa Haruling. Seperti pada malam-malam sebelumnya, desa itu selalu sepi. Tak terlihat seorang pun berada di luar rumahnya. Begitu sunyinya, sehingga percakapan dari sebuah rumah begitu jelas sekali terdengar sampai ke luar. Padahal suara-suara itu sudah demikian perlahan.
Suara pembicaraan itu datang dari rumah Ki Manik, yang tengah berbincang-bincang bersama istri dan anak gadisnya yang berusia sekitar delapan belas tahun. Mereka malam ini tidak bisa memejamkan mata, dan terus berbincang-bincang di ruangan depan. Yang dibicarakan adalah tentang lamaran untuk anak gadis mereka yang akan berlangsung besok pagi.
"Kenapa begitu mendadak kau tetapkan waktu melamarnya, Ki...?" terdengar suara Nyai Manik.
"Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Rawani terjadi pada Warni, anak kita," sahut Ki Manik.
"Ah! Ayah masih saja mengingat itu," selak Warni jadi tersipu, dan pipinya langsung memerah.
"Aku hanya menjaga-jaga saja, Warni. Aku juga akan menetapkan hari pernikahannya tidak terlalu lama," kata Ki Manik lagi. "Lagi pula, kau sudah cukup umur untuk berumah tangga. Gadis seumurmu malah udah ada yang punya anak dua."
"Terserah Ayah sajalah...," desah Warni, semakin memerah wajahnya.
"Sudah malam. Sebaiknya, kau tidur saja. Besok kesiangan," selak Nyi Manik.
"Aku ingin ke belakang dulu," pamit Warni.
"Mau apa ke belakang...?" tanya Nyi Manik.
"Aku tadi lupa mengambil air. Masih di periuk," lalu Warni seraya bergegas melangkah pergi ke belakang meninggalkan kedua orang tuanya yang masih berada di ruangan depan.
Gadis itu bergegas membuka pintu belakang, dan terus saja melangkah menuju ke perigi yang tidak seberapa jauh dari rumahnya. Tapi ayunan langkah kaki gadis itu mendadak saja terhenti, saat melihat seseorang berdiri di dalam kegelapan, tidak jauh dari periuk.
"Siapa itu...?" tanya Waml sambil menyipitkan kelopak matanya, mencoba melihat lebih jelas lagi.
"Aku...," sahut orang itu.
Suaranya terdengar lembut sekali, dan mengandung suatu getaran nada aneh! Sementara Warni terus mencoba melihat lebih jelas lagi. Tapi, mendadak saja gadis itu tersentak kaget begitu melihat sepasang bulatan merah memancar seperti bola api. Dan belum juga keterkejutannya hilang, tiba-tiba saja sepasang bola merah itu meluncur deras ke arah Warni sebelum bisa melakukan sesuatu.
"Ah...!" Warni jadi terpekik tertahan.
Tepat ketika sepasang bola berwarna merah sebesar mata kucing itu menghantam mata gadis itu, maka seketika itu juga Warni berdiri terpaku seperti patung. Saat itu juga, sinar matanya jadi hilang. Pandangannya pun begitu kosong seperti tidak memiliki cahaya kehidupan lagi.
"Kemarilah, Manis.... Kau pasti sudah tidak sabar lagi menungguku, " terdengar bisikan lembut di telinga Warni.
Perlahan-lahan gadis itu melangkah menghampiri sosok tubuh tinggi tegap yang berdiri tegak di bawah pohon, tidak jauh dari perigi. Namun belum juga Warni melangkah jauh, tiba-tiba saja dari balik pintu belakang rumah muncul Ki Manik bersama istrinya.
"Warni...!" panggil Ki Manik.
Warni langsung berhenti melangkah, namun tidak berbalik sedikit pun juga. Sementara, Ki Manik sudah bergegas menghampiri anak gadisnya ini. Laki-laki tua itu jadi terpaku, begitu melihat ada orang yang berdiri tegak di bawah pohon dekat perigi.
"Siapa kau...?!" tegur Ki Manik.
"Aku Si Kumbang Bukit Lontar," sahut orang yang tidak kelihatan wajahnya itu, karena terlindungi kegelapan di bawah pohon yang berdaun rimbun.
"Mau apa kau di situ?" tanya Ki Manik lagi.
"Hhh...! Aku paling tidak suka ada orang usil yang mau tahu urusan orang!" dengus orang yang mengaku berjuluk si Kumbang Bukit Lontar itu. "Kau patut menerima hadiah atas keusilanmu, Orang Tua. Hih...!"
Bet!
Wusss... !
"Heh... ?!"
Ki Manik hanya mampu terbeliak saja, ketika tiba-tiba saja si Kumbang Bukit Lontar mengebutkan tangannya begitu cepat. Dari balik lipatan lengan bajunya, seketika meluncur sebuah benda kecil seperti batang ranting kering berwarna kuning keemasan.
Benda kecil berwarna kuning keemasan itu meluncur deras. Ki Manik hanya terbeliak, dan tak dapat menghindarinya. Maka benda itu langsung menghantam dada Ki Manik yang hanya bisa terlongong kaget, tak mampu berbuat sesuatu. Apalagi menghindar.
Crab!
"Aaakh...!" Ki Manik menjerit keras melengking.
"Ki...!" teriak Nyi Manik, begitu melihat suaminya ambruk. Langsung ditubruknya Ki Manik, disertai lolongannya yang menyayat.
"Mari kita cari tempat yang nyaman, manis...," ujar Kumbang Bukit Lontar.
Orang yang masih belum juga kelihatan wajahnya itu, tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat menyambar pinggang Warni. Begitu cepat gerakannya sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap membawa gadis berusia delapan belas tahun itu.
Sementara Nyi Manik langsung pingsan begitu melihat anak gadisnya dibawa kabur di depan matanya. Sedangkan suaminya sudah menggelepar di tanah dengan sebuah benda berbentuk paku bernama kuning keemasan menancap di dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
70. Pendekar Rajawali Sakti : Kumbang Bukit Lontar
ActionSerial ke 70. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.