"Amati setiap jejak yang kau lihat, Dewa Bayu," pinta Rangga pada kudanya.
Kuda hitam bernama Dewa Bayu hanya mendengus saja sambil mengangguk-anggukkan kepala. Seakan-akan binatang itu mengerti semua yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa diperintah lagi, larinya diperlambat.
Sementara Rangga juga mengerahkan aji 'Tatar Netra' agar penglihatannya lebih jelas lagi. Meskipun keadaan sekelilingnya begitu gelap, tapi bukan suatu masalah berat bagi Pendekar Rajawali Sakti. Dengan mempergunakan aji 'Tatar Netra', dia bisa melihat lebih jelas daripada siang hari yang terik.
Entah sudah berapa lama Rangga menunggang kuda Dewa Bayu untuk mengikuti jejak-jejak yang tertera begitu halus di atas rerumputan yang sudah dibasahi titik-titik embun. Namun kuda hitam itu masih terus bergerak agak perlahan. Kepalanya sering kali terangguk-angguk. Ayunan kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak menapak tanah berumput tebal ini.
"Berhenti dulu, Dewa Bayu," pinta Rangga.
Kuda hitam Dewa Bayu segera berhenti melangkah. Dan Rangga langsung melompat turun. Beberapa langkah Pendekar Rajawali Sakti berjalan ke depan, kemudian berjongkok dan meneliti rerumputan yang ada di depannya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti kembali berdiri, dan pandangannya langsung tertuju lurus ke depan seperti ingin menembus pekatnya malam.
"Jejak ini seperti menuju ke perbatasan timur Desa Haruling," gumam Rangga perlahan, berbicara pada diri sendiri.
Sebentar Rangga berpaling menatap kuda Dewa Bayu yang berada di belakangnya, kemudian kembali memandang lurus ke depan. Seakan-akan dia tidak yakin dengan arah jejak yang dilihatnya. Beberapa saat Rangga masih tetap berdiri memandang lurus ke depan. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip.
Kemudian, perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti mulai melangkah. Diikutinya jejak-jejak kaki yang tampaknya masih baru, walaupun tidak bisa dilihat dengan pandangan mata biasa. Memang, jejak-jejak itu demikian halus, dan menandakan kalau orang yang berjalan itu mempergunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Rangga sendiri harus mengamatinya dengan menggunakan aji 'Tatar Netra', agar bisa melihat lebih jelas lagi. Sementara, kuda Dewa Bayu terus mengikuti dari belakang.
"Sukar dipercaya. Mereka benar-benar kembali ke Desa Haruling..., " desis Rangga begitu perlahan sekali.
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti kembali terhenti setelah sampai di perbatasan sebelah timur Desa Haruling. Tak seberapa jauh lagi, tampak rumah-rumah penduduk yang terang benderang oleh nyala api obor dan pelita. Suasana di desa itu masih kelihatan terang seperti mengadakan pesta saja. Tapi, keadaannya tetap sunyi bagai tak berpenghuni.
"Jejak langkah ini semakin jelas sekali terlihat. Hm.... Dia sudah mulai melangkah biasa," gumam Rangga lagi, sambil terus mengamati jejak-jejak kaki yang semakin jelas saja.
Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi perlu menggunakan aji 'Tatar Netra', karena jejak-jejak langkah kaki itu sudah bisa terlihat jelas setelah melewati perbatasan timur Desa Haruling ini. Rangga terus mengayunkan kakinya mengikuti jejak-jejak yang begitu jelas tergambar di tanah. Langkahnya terhenti sebentar begitu melihat tiga orang laki-laki yang mendapat giliran meronda malam ini tengah berjalan ke arahnya dari depan. Tiga orang peronda yang usianya masih muda-muda itu juga menghentikan langkahnya begitu sampai di dekat pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kalian tidak melihat ada orang lewat di sini?" tanya Rangga langsung.
"Tidak," sahut ketiga pemuda peronda itu hampir bersamaan.
"Tidak bertemu siapa-siapa?" tanya Rangga lagi.
"Hanya Paman Walung. Dia hanya melihat-lihat kami saja, dan terus pulang," sahut salah seorag.
"Paman Walung sendiri?" tanya Rangga lagi.
"Berdua. "
"Dengan siapa?"
"Keponakannya."
Kening Rangga jadi berkerut mendengar jawaban para peronda yang begitu polos. Selama Pendekar Rajawali Sakti berada di Desa Haruling ini sama sekali tidak pernah mendengar kalau Paman Wulung punya keponakan. Dan Paman Walung sendiri tidak pernah memperkenalkannya. Bahkan tak ada seorang pun yang mengatakannya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri sedang mengejar dua orang yang telah membuat desa ini bagai berada di atas api neraka.
"Kalian lanjutkan saja meronda. Aku akan ke rumah Ki Arung dulu," ujar Rangga.
Ketiga anak muda peronda itu hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga sudah kembali melangkah sambil menuntun kudanya yang mengikuti dari belakang. Kening Pendekar Rajawali Sakti masih berkerut mencerna kembali jawaban ketiga peronda itu tadi.
"Hm..., aku tidak boleh terlalu jauh menduga dulu. Masih terlalu banyak yang harus kuselidiki di sini. Hh..., mudah-mudahan saja dugaanku tidak benar. Tapi kalaupun benar, pasti ada alasannya sehingga dia sampai berbuat seperti itu," gumam Rangga perlahan, berbicara pada diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Sesekali masih sempat diamatinya jejak kaki yang tertera begitu jelas di tanah. Tapi sekarang ini, tidak hanya dua jejak yang terlihat. Pendekar Rajawali Sakti sudah melihat jejak yang cukup banyak. Dan bisa dipastikan kalau jejak kaki yang terlihat itu dari lima orang, namun kelihatannya saling berlawanan arah.
"Sebaiknya aku temui Ki Rampik. Mudah-mudahan saja dia belum tidur," ujar Rangga kemh menggumam pelan. "Tapi.... Ah, tidak...! Sebaiknya aku ikuti terus jejak-jejak kaki ini. Aku harus tahu, siapa mereka sebenarnya."
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung kudanya. Begitu indah dan ringan gerakannya karena ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Kuda hitam Dewa Bayu langsung berlari begitu Rangga menghentakkan tali kekangnya. Tapi, kecepatan lari kuda itu hanya sedang saja, karena Rangga tidak ingin mengejutkan penduduk yang pasti sedang tertidur pulas.
Jejak-jejak kaki yang semakin banyak terlihat itu memang sangat jelas, meskipun malam ini hanya diterangi cahaya api obor dan pelita di depan rumah-rumah penduduk di Desa Haruling ini. Namun Rangga masih bisa membedakan antara jejak kaki yang satu dengan yang lainnya. Dan terus diikutinya. jejak-jejak kaki dari orang yang sudah membuat desa ini menjadi neraka.
"Jangan terlalu keras suaranya, Dewa Bayu. Nanti semua orang bangun," bisik Rangga memperingatkan.
Rangga baru menghentikan langkah kaki kudanya setelah sampai di depan sebuah rumah besar dengan halaman cukup luas. Pendekar Rajawali Sakti tahu, rumah siapa ini. Dan hampir tidak dipercayainya kalau jejak kaki yang diikuti berhenti di depan rumah ini.
Dengan gerakan yang begitu ringan dan manis, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya. Begitu ringannya, sehingga tak ada sedikit pun suara yang ditimbulkan saat kakinya menjejak tanah.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti meneliti jejak-jejak kaki yang tertera sangat jelas di tanah. Dia begitu yakin, jejak inilah yang dibuntutinya sejak dari hutan tadi. Namun masih belum dimengerti, kenapa jejak kaki ini berhenti di depan rumah Paman Walung!
Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar rumah ini. Keadaannya begitu sunyi.
"Hm..., mungkin dugaanku benar. Sebaiknya aku periksa dulu keadaan rumah ini." gumam Rangga dalam hati.
Setelah yakin kalau tidak ada seorang pun yang melihatnya, Pendekar Rajawali Sakti kemudian melompat tinggi ke udara. Begitu ringan, sehingga tubuhnya bagai segumpal kapas yang tertiup angin saja. Rangga meluncur cepat menuju ke atas atap rumah berukuran cukup besar itu. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di atas atap rumah Paman Walung.
"Hap!" Sebentar Rangga terdiam sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-lahan sambil merendahkan tubuhnya. Pendengarannya dipasang tajam-tajam, sambil mempergunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
"Hm..."
Rangga kembali berhenti, begitu telinganya mendengar suara halus dari dalam rumah, tepat tempatnya sekarang berdiri. Suara itu datang dari bawah atap ini. Perlahan-lahan tubuhnya dirapatkan sejajar dengan atap. Lalu telinganya ditempelkan agar bisa mendengar lebih jelas.
"Ada lubang. Mungkin aku bisa mengintip ke dalam," desis Rangga dalam hati.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti mendekati lubang kecil itu. Tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkannya. Dari lubang yang berukuran sangat kecil di atap ini, Rangga mengintip ke dalam. Tampak di bawah atap ini terdapat sebuah ruangan yang berukuran cukup luas. Dan di dalamnya terlihat dua orang laki-laki. Yang seorang duduk di kursi menghadap meja, sedangkan seorang lagi berdiri membelakangi jendela yang tertutup rapat.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam perlahan.
Rangga tidak lagi terkejut, karena memang sudah menduga sejak semula. Dua orang laki-laki yang dilihatnya itu adalah Paman Walung, dan seorang pemuda yang mengenakan baju biru cukup ketat.
Pemuda itulah yang selama ini dikenal sebagai si Kumbang Bukit Lontar. Paman Walung mengenakan baju hitam yang ketat. Di sampingnya, tergantung sebuah jubah hitam dan sebatang tongkat hitam yang ujungnya berbentuk bulat berwarna kuning keemasan. Rangga segera mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', untuk mendengarkan suara pembicaraan dari kedua orang itu.
"Untuk sementara, sebaiknya kau tinggalkan dulu desa ini, Sentanu. Sampai keadaan menjadi tenang, dan Pendekar Rajawali Sakti pergi dari sini," ujar Paman Walung. Suaranya terdengar begitu jelas oleh Rangga yang berada tepat di atas atap ruangan itu.
"Kenapa harus begitu, Eyang?" tanya si Kumbang Bukit Lontar yang dipanggil Sentanu. Dan memang, dia sebenarnya bernama Sentanu.
"Rangga sudah mulai mencurigaiku. Dan aku tidak ingin semua rencana ku berantakan karenanya. Kau harus bisa mengerti keadaan ini, Sentanu. Kaulah satu-satunya muridku. Dan hanya kaulah yang bisa kuandalkan membantuku di sini. Kembalilah ke Bukit Lontar. Aku akan menyusulmu nanti," kata Paman Walung yang ternyata si Iblis Pencabut Nyawa dari Bukit Lontar.
Si Kumbang Bukit Lontar hanya diam saja, meskipun masih belum bisa mengerti atas keputusan gurunya ini. Tapi, dia tidak bisa membantah lagi. Memang keinginan gurunya ini harus dituruti.
"Sudah beberapa kali kau gagal dan bentrok dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kalau kau sempat tertangkap, semua rencanaku akan hancur. Masih untung kalau kau langsung tewas. Sedangkan aku tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mungkin langsung membunuh lawannya," kata Paman Walung.
"Kapan aku boleh kembali lagi ke sini lagi..?" tanya Sentanu.
"Kenapa...?" Paman Walung malah balik bertanya.
"Gadis di sini cantik-cantik, Eyang...."
"Kau jangan keterlaluan, Sentanu!" sentak Paman Walung. "Aji 'Pemikat Dara' hanya boleh digunakan jika kusuruh. Kau tidak boleh menggunakannya tanpa sepengetahuanku. Jelas...?!"
"Maafkan aku, Eyang. Aku begitu menyukai tugas ini," ujar Sentanu seraya tersenyum.
"Huh! Seharusnya kau hanya menodainya saja, tidak perlu membunuh mereka, karena bisa kita perlukan nantinya. Mereka tidak akan bisa berbuat macam-macam lagi kalau sudah ternoda. Kau mengerti maksudku, Sentanu...?"
"Aku mengerti, Eyang. Tapi..., bukankah Eyang akhirnya juga menyuruhku agar membunuh mereka?"
"Huh...!" Paman Walung hanya mendengus saja.
"Sudah terlalu lama kita di sini, Eyang. Kenapa tidak langsung saja pada sasarannya...?" tanya Sentanu memberi saran.
"Belum saatnya, Sentanu. Aku ingin dia merasakan penderitaan yang pahit. Bertahun-tahun aku hidup menderita, karena perbuatannya. Bahkan bukan cuma dia saja yang harus merasakan penderitaan, Sentanu. Tapi, semua penduduk desa ini harus bisa merasakan semua penderitaanku. Untuk itu, aku memberimu bekal aji 'Pemikat Dara' agar mereka tahu, bagaimana rasanya kalau anak gadisnya ternoda. Huh... Aku belum puas kalau gadis di sini belum semuanya ternoda. Terutama sekali Ki Rampik! Dia harus merasakan pembalasanku...!" agak menggeram nada suara Paman Walung.
"Aku akan menodai semua gadis di sini, Eyang. Biar Ki Rampik semakin tertekan, dan dibenci rakyatnya. Pasti si tua keparat itu akan dilecehkan penduduknya, karena tidak bisa menjaga keamanan. Dengan demikian, akan mudahlah bagi kita untuk melumpuhkannya," janji si Kumbang Bukit Lontar.
"Tapi untuk sekarang ini, harus dihentikan dulu, Sentanu. Tunggu sampai keadaan membaik, dan tidak ada lagi si pengacau itu," ujar Paman Walung.
"Kenapa dia tidak dibunuh saja, Eyang?"
"Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku sendiri tidak yakin, apakah bisa menandinginya atau tidak," terdengar agak mengeluh nada suara Paman Walung.
"Lalu, apa yang akan Eyang lakukan?"
"Tidak ada," sahut Paman Walung.
"Tidak ada...?!"
"Dia akan pergi dengan sendirinya kalau keadaan di sini benar-benar tenang. Dan ketenangan tentu bisa terjadi jika kau untuk sementara kembali dulu ke Bukit Lontar. Kalau dia sudah pergi, baru aku akan memanggilmu lagi ke sini," jelas Paman Walung tentang rencananya yang ada di kepala.
"Aku mengerti, Eyang."
"Nah! Kuminta, kau pergi besok pagi. Dan jangan sampai ada seorang pun yang tahu kepergianmu."
"Baik, Eyang."
Sementara Rangga yang mendengarkan semua pembicaraan itu dari atas atap, jadi mendesis geram. Sekarang dia tahu semua, kalau kekacauan yang terjadi di Desa Haruling ini akibat perbuatan. Paman Walung dan muridnya. Tapi, Rangga tidak bisa bertindak sekarang. Dan yang penting, dia sudah mendengar semua yang dibicarakan Paman Walung dan muridnya si Kumbang Bukit Lontar itu.
"Sebaiknya kutunggu dia sampai besok pagi. Hm..., dia pakai siasat. Dan aku juga akan menggunakan siasat," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan sekelilingnya beberapa saat. Lalu dengan gerakan ringan dan indah sekali, tubuhnya melesat dari atap rumah Paman Walung ini. Begitu ringannya, bagai segumpal kapas yang melayang tertiup angin di udara.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejak tanah, tepat di samping kudanya yang masih menunggu di depan halaman rumah Paman Walung. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti naik ke punggung kudanya. Perlahan-lahan kuda hitam Dewa Bayu itu bergerak meninggalkan rumah berhalaman luas ini. Karena kuda itu bukan kuda sembarangan, jadi tidak heran kalau langkahnya tak terdengar penghuni rumah besar itu. Meskipun, penghuni rumah itu berilmu tinggi.
"Ke rumah Ki Rampik dulu, Dewa Bayu," ujar Rangga meminta.
Kuda Dewa Bayu mendengus kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. Binatang itu tetap melangkah perlahan-lahan tanpa suara sedikit pun sehingga tidak akan membangunkan penduduk desa yang sekarang ini pasti sedang tertidur pulas.
Rangga menghentikan langkah kaki kudanya saat berada di depan rumah Ki Arung yang juga dijadikan kedai dan penginapan. Di depan rumah itu tampak Pandan Wangi berdiri tepat di depan pintu yang tertutup rapat. Gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu bergegas menghampiri Rangga yang masih duduk di punggung kudanya.
"Sudah kau antarkan gadis itu pada orang tuanya Pandan?" tanya Rangga langsung.
"Sudah," sahut Pandan Wangi.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala sebentar "Kau ikut aku, Pandan," kata Rangga
"Ke mana?" tanya Pandan Wan gi
"Ke rumah Ki Rampik."
"Malam-malam begini?"
"Ada hal penting yang harus kubicarakan dengannya."
Pandan Wangi tidak bertanya lagi, dan lantas cepat mengambil kudanya yang tertambat di samping rumah penginapan Ki Arung ini. Tak berapa lama kemudian, kedua pendekar muda itu sudah berkuda menuju ke rumah Ki Rampik, Kepala Desa Haruling ini. Dan selama dalam perjalanan, Rangga menjelaskan semua yang diketahui pada Pandan Wangi. Dan itu membuat si Kipas Maut jadi terkejut mendengarnya. Sungguh tidak disangka kalau di balik semua peristiwa ini ada Paman Walung. Bahkan menjadi dalangnya sekaligus!***
Ki Rampik jadi terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau di tengah malam buta begini Rangga dan Pandan Wangi datang ke rumahnya. Namun begitu, kedatangan mereka tetap disambut ramah. Kedua pendekar muda itu dipersilakan untuk masuk ke dalam. Tapi, Rangga memilih untuk berada di beranda saja Mereka bertiga kemudian duduk melingkari sebuah meja bundar di beranda depan rumah kepala desa itu. Sebuah lampu yang apinya menyala cukup besar, menerangi seluruh beranda depan rumah ini.
"Ada yang penting, sehingga kau datang tengah malam begini, Rangga?" tanya Ki Rampik masih diliputi keheranannya.
"Ya," sahut Rangga seraya melirik sedikit pada Pandan Wangi.
Sedangkan yang dilirik, hanya diam saja. Pandan Wangi tahu kalau Rangga memintanya untuk diam, dan tidak mencampuri pembicaraannya nanti. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti tadi sudah berpesan pada gadis itu di perjalanan. Pandan Wangi pun sudah berjanji tidak akan menyelak, kecuali jika ditanya, atau diminta pendapatnya.
"Tentang apa?" tanya Ki Rampik lagi.
"Terus terang, aku ingin tahu. Sejauh mana kau kenal Paman Walung," ujar Rangga langsung.
"Maksudmu...? Aku tidak mengerti, Rangga," ujar Ki Rampik semakin keheranan.
"Kudengar, dia belum lama berada di desa ini. Dan kau langsung mengangkatnya menjadi orang kepercayaanmu. Benar begitu, Ki?"
"Ya! Dia memang baru beberapa bulan di sini. Tapi, aku sudah mengenalnya sejak kecil. Aku tahu betul, siapa dia dan orang tuanya," sahut Ki Rampik masih diliputi keheranan oleh arah pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sejak kapan dia meninggalkan Desa Haruling ini?" tanya Rangga Iagi.
"Ketika berumur tujuh belas tahun, sepekan setelah kematian kedua orang tuanya," sahut Ki Rampik."Hm.... itu berarti dia pergi lebih dari tiga puluh tahun. Dan selama itu, kau tahu apa yang dilakunya selama itu?"
"Aku tidak tahu," sahut Ki Rampik. "Tapi kedatangannya ke sini dengan membawa ilmu-ilmu kedigdayaan tinggi. Itu sebabnya, aku menjadikan wakilku sebagai kepala desa di sini. Karena, antara aku dengannya memang sudah saling mengenal sejak kecil. Walaupun, usia kami terpaut cukup jauh."
"Apakah dia punya saudara di sini?"
"Tidak. Dia sebatang kara. Dan kedatangannya ke sini juga hanya sendiri saja."
"Ki... Tadi beberapa orang peronda melihatnya berjalan bersama seseorang. Dan Paman Walung mengakui kalau orang itu sebagai keponakannya. Apa kau tidak tahu kalau dia punya keponakan, Ki?"
"Keponakan...? Dia hanya punya seorang pembantu yang usianya sebaya dengan anakku. Tapi memang pembantunya itu tidak pernah keluar. Jadi, tidak ada seorang pun di sini yang mengenalnya."
"Hm...."
"Rangga, sebenarnya ada apa ini? Kau seperti mencurigai Paman Walung," desak Ki Rampik mulai menaruh kecurigaan atas pertanyaan-pertanyaan Rangga yang begitu langsung, tanpa basa-basi lagi.
"Maaf, Ki. Mungkin ini akan mengejutkanmu. Tapi aku tahu, siapa orang yang berada di balik Julukan si Kumbang Bukit Lontar itu. Dan aku juga tahu, siapa iu si Kumbang Bukit Lontar," kata Rangga, sungguh-sungguh sekali nada suaranya.
Ki Rampik tampak kebingungan mendengar kata-kata Rangga. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Berbagai macam dugaan langsung berkecamuk dalam benaknya. Terlebih lagi, pertanyaan-pertanyaan Rangga tadi jelas menjurus kecurigaan pada Paman Walung.
"Jangan katakan kalau Paman Walung yang melakukan semua itu, Rangga," agak bergetar suara Ki Rampik.
"Besok pagi, si Kumbang Bukit Lontar akan keluar. Dan dia hendak meninggalkan desa ini selama aku berada di sini. Namun, manusia bejat itu akan kembali lagi kalau aku sudah pergi, Ki. Jadi sebaiknya, besok pagi kau dan aku mencegatnya di perbatasan sebelah Timur," kata Rangga, agak datar nada suaranya.
Rangga jadi tidak sampai hati untuk mengatakan yang sebenarnya. Maka dia ingin mengajak saja Ki Rampik untuk menyaksikan sendiri, siapa sebenarnya Si Kumbang Bukit Lontar itu. Dan Rangga juga meminta beberapa gadis yang dapat digagalkan menjadi korban nafsu si Kumbang Bukit Lontar, untuk bisa mengenalnya. Ki Rampik hanya bisa terangguk-angguk, dan menyetujui saja semua yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti. Memang Kepala Desa Haruling itu sudah begitu percaya pada pemuda berbaju rompi putih ini.
"Tapi ingat, Ki. Kau, Pandan Wangi, dan gadis-gadis itu jangan menampakkan diri. Dan aku ingin kalian semua berada agak jauh. Dia terlalu berbahaya. Biar aku yang akan menghadapinya sendiri nanti," saran Rangga.
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan, Rangga," sahut Ki Rampik menuruti.
"Sekarang, aku akan ke Perbatasan Timur, Ki. Aku tidak ingin dia lolos," kata Rangga lagi, seraya bangkit berdiri.
"Lalu, bagaimana denganku, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Kau bersama Ki Rampik dan gadis-gadis itu," ujar Rangga seraya mengerdipkan matanya.
Pandan Wangi langsung terdiam. Bisa dimengerti isyarat yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Memang, dia harus bersama-sama Ki Rampik dan beberapa gadis yang akan mengenali si Kumbang Bukit Lontar. Tentu saja untuk menjaga kalau-kalau Paman Walung muncul di sana nanti.
Pandan Wangi memang sudah tahu semuanya dari Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, Rangga sudah menceritakan semuanya pada si Kipas Maut itu ketika sama-sama di perjalanan ke rumah kepala desa ini tadi. Sehingga, Pandan Wangi tidak bisa lagi banyak bicara. Dia sudah mengerti semua rencana Pendekar Rajawali Sakti untuk membekuk si Kumbang Bukit Lontar.***
KAMU SEDANG MEMBACA
70. Pendekar Rajawali Sakti : Kumbang Bukit Lontar
ActionSerial ke 70. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.