Siang itu matahari bersinar begitu terik. Udara terasa begitu panas membakar, seakan ingin menghanguskan seluruh makhluk di atas permukaan bumi ini. Namun teriknya sang mentari, rupanya tidak menghalangi seorang gadis manis bertubuh kecil mungil, berdiri tegak di tepi jalan. Daun pohon beringin yang tampak rindang, sedikit melindungi gadis itu dari sengatan terik sang mentari.
Dia berdiri tegak sambil menatap lurus tak berkedip, ke arah sebuah desa yang terletak tidak seberapa jauh lagi dari jalan-tanah berdebu ini. Sedangkan tidak jauh dari jalan itu, terlihat sebuah sungai berair jernih. Tak ada seorang pun terlihat. Baik di desa, maupun di sungai. Begitu sunyi sekali, sehingga membuat deru angin terdengar ribut mengusik gendang telinga.
"Hm... Mengapa begitu sepi? Apa mungkin ini suatu jebakan...?" gumam gadis itu perlahan, bicara pada diri sendiri.
Sedikit pun gadis itu tidak berkedip, dan berpaling dari desa yang tampak sunyi seperti tidak berpenghuni. Dan memang, sudah sejak pagi tadi sampai matahari sekarang berada di atas kepala, tak seorang pun yang terlihatnya di sana. Apalagi terlihat melintas jalan tanah berdebu ini. Sungguh suatu pemandangan yang tidak menyenangkan, dan mengundang berbagai macam pertanyaan.
"Baik..., boleh jadi ini jebakan. Dan aku ingin tahu, sampai di mana kemampuan mereka menghadapiku...," kembali mulutnya bergumam pelan, bicara pada diri sendiri.
Kemudian kakinya mulai terayun mendekati desa yang masih tetap kelihatan sunyi. Tatapan matanya masih terlihat begitu tajam, tanpa sedikit pun berkedip. Dirayapinya keadaan sekitarnya yang begitu sunyi dan lengang. Bahkan tak satu pun suara yang terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik telinga. Perlahan-lahan namun pasti, gadis itu terus melangkah semakin mendekati desa yang masih sepi itu.
Gadis itu baru berhenti melangkah setelah sampai di tengah-tengah desa yang sepi itu. Seluruh pintu dan jendela rumah yang ada, semuanya dalam keadaan tertutup rapat. Benar-benar sunyi. Bahkan seekor binatang pun tak terlihat berkeliaran di jalan ini. Kembali kakinya diayunkan perlahan. Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja...
Wusss!
"Uts...?!"
Cepat sekali gadis berbaju putih agak ketat itu menarik tubuhnya, hingga miring ke samping, ketika tiba-tiba saja meluncur sebatang tombak ke arahnya. Dan belum lagi tombak itu lewat, datang lagi dua batang tombak sekaligus dari arah yang berlawanan.
Tak ada pilihan lain lagi bagi gadis itu. Cepat-cepat dia menjatuhkan diri ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Tombak-tombak itu menancap di tanah, tidak jauh darinya. Cepat-cepat tubuhnya melenting bangkit berdiri. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, dari atas rumah-rumah yang tampak begitu sunyi, tiba-tiba saja bermunculan orang-orang yang langsung menghujani anak panah ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Sret!
Bet!
Cepat sekali gadis itu memutar tubuhnya, sambil mencabut pedang yang menggantung di pinggang sejak tadi. Dan, secepat itu pula, pedangnya berkelebat menyampok setiap batang anak panah yang mengincar tubuhnya. Gerakannya begitu cepat, sehingga bentuk tubuhnya seperti lenyap. Dan yang terlihat kini hanya bayangan putih berkelebat, bercampur kilatan cahaya keperakan dari pedang yang berkelebat menyambar anak-anak panah yang menghujaninya.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja gadis itu melentingkan tubuh ke udara. Kemudian, dia langsung meluruk deras ke arah salah satu rumah, yang di atapnya terdapat tiga orang laki-laki yang tengah sibuk dengan busur panahnya. Begitu cepatnya gerakan gadis berbaju putih itu, sehingga ketiga orang itu tidak sempat menyadari lagi.
Sementara, pedang di tangan gadis itu bergerak cepat bagai kilat. Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling susul. Belum lagi jeritan menyayat itu lenyap dari pendengaran, tampak tiga orang yang berada di atas atap rumah itu jatuh terguling dengan dada terbelah mengucurkan darah segar.
Saat itu juga menghentikan hujan panahnya. Mereka tampak terkejut setengah mati, begitu melihat tiga orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Dan tampak diatas atap rumah berdiri seorang gadis cantik berbaju putih, dengan pedang tersilang di depan dada.
"Hup!"
Dengan satu gerakan manis sekali, gadis itu melompat turun dari atap. Begitu ringan gerakannya, sehingga, sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah kembali. Dia kini berdiri tidak jauh dari tiga sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah, tak bernyawa lagi. Kini tidak ada satu batang anak panah pun yang menghujaninya lagi. Semua orang yang berada di atas atap, seperti terpana. Mereka bengong, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan lantang menggelegar. Kemudian, disusul berlompatannya orang-orang diatas atap. Mereka langsung meluruk ke arah gadis cantik berbaju putih itu dengan senjata terhunus yang bentuknya bermacam-macam di tangan. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar bagai hendak memecahkan desa ini.
Sementara, gadis berbaju putih itu masih tetap berdiri tegak di tengah-tengah jalan desa ini. Pedangnya masih tetap bersilang di depan dada. Sedangkan orang-orang yang baru berlompatan turun di atas atap terus meluruk ke arahnya, sambil berteriak-teriak dan mengangkat senjata masing-masing ke atas kepala.
Memang, dari pakaian dan senjata yang digenggam tampaknya mereka bukan penduduk desa biasa. Terlebih lagi, dari cara menggunakan panah tadi, serta dari cara menggenggam senjata sekarang ini, sudah dapat dilihat kalau mereka paling tidak memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan.
Tapi, tiba-tiba saja gerakan mereka berhenti. Dan mereka hanya berdiri mengepung rapat gadis itu. Teriakan-teriakan keras pun seketika itu juga tidak terdengar lagi. Suasana mendadak saja jadi begitu hening. Sementara, gadis berbaju putih itu perlahan-lahan memutar tubuhnya, memandangi orang-orang yang mengepungnya begitu rapat, sehingga sedikit pun tak ada celah untuk dapat keluar dari kepungan ini begitu saja.
"Siapa kalian...?!" tanya gadis itu dengan suara yang lantang.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Gadis berbaju putih itu langsung mengarahkan tatapan mata pada seorang laki-laki berusia setengah baya, yang tengah melangkah ke depan. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan kebencian yang amat sangat. Sementara, laki-laki setengah baya itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar sepuluh langkah lagi dari gadis berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya, Nisanak! Untuk apa kau datang ke Desa Jalakan ini?" terasa begitu dingin nada suara laki-laki setengah baya itu.
"Hhh! Kedatanganku untuk menuntut hakku atas desa ini! Aku harus menyelamatkan desa ini dari keserakahan. Aku tahu, kalian pasti bukan penduduk desa ini," sinis sekali jawaban gadis itu.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Nisanak!" bentak laki-laki setengah baya itu.
Sebilah golok berukuran cukup besar tergenggam di tangan kanan laki-laki berbaju warna biru ini. Goloknya berkilatan tertimpa cahaya matahari yang siang ini bersinar begitu terik. Kakinya kemudian melangkah tiga tindak ke depan. Bahkan sorot matanya semakin tajam saja. Sementara, gadis berbaju putih itu kembali mengedarkan pandangan pada orang-orang mengepungnya.
"Hm..., tidak mungkin mereka semua kuhadapi. Baiklah. Nanti saja siasat ku akan kujalankan. Lebih baik, aku mencari jalan agar bisa keluar dari kepungan ini dulu," gumam gadis itu berbicara sendiri dalam hati.
"Baiklah. Tadi kau mengatakan tujuanmu datang ke desa ini, adalah untuk meminta hakmu atas desa ini. Pikirlah dulu, Nisanak. Jangan sampai mereka semua membuatmu jadi daging cincang!" desis laki-laki setengah baya itu mengancam.
Laki setengah baya itu kemudian mengebutkan tangan kirinya sedikit, maka orang-orang yang berada di belakang gadis itu segera menyingkir. Mereka membuka jalan bagi gadis itu pergi dari desa yang aneh ini.
Sekilas, gadis berbaju putih itu melirik ke arah jalan yang sudah tersedia untuknya. Kemudian, ditatapnya sebentar pada laki-laki setengah baya di depannya. Rupanya, laki-laki setengah baya itu masih memberi kesempatan pada gadis itu untuk mengurungkan niatnya. Dia memang sudah bisa menebak, siapa gadis itu. Diakui, gadis itu memang sudah banyak memakan korban dari murid-muridnya. Tapi, dia tidak mau bertindak gegabah. Ada satu hal yang perlu dipikirkannya. Dan hanya dirinya sendiri yang tahu.
"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum pikiranku berubah, Nisanak!" sentak laki-laki setengah baya itu lantang.
Sedangkan gadis berbaju putih itu masih tetap diam. Perlahan pedangnya dimasukkan kembali ke dalam warangka di pinggang. Perlahan tubuhnya berputar, lalu mulai melangkah diiringi puluhan pasang mata yang memandang penuh kebencian padanya.
Gadis berbaju serba putih itu terus melangkah melewati orang-orang yang berada di kiri dan kanan jalan tanah berdebu ini. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua terdiam, dengan sorot mata yang tajam, mengiringi ayunan langkah kaki gadis ini. Namun begitu berada di luar kepungan, tiba-tiba saja...
"Berhenti kau!"
Gadis itu menghentikan langkahnya seketika, tapi tidak memutar tubuhnya sedikit pun juga. Pada saat itu, melompat seorang pemuda yang menggenggam golok di tangan kanan.
"Kau tidak boleh pergi begitu saja, Perempuan Iblis! Hiyaaat...!"
"Walika, jangan...!" sentak laki-laki setengah baya itu.
Laki-laki setengah baya itu begitu terkejut atas tindakan pemuda yang dipanggil Walika itu. Tapi teriakan mencegah itu sudah terlambat, karena Walika sudah melompat sambil menebaskan cepat sekali goloknya kearah kepala gadis berbaju putih itu.
Wuk!
"Uts...!"
Hanya sedikit saja gadis cantik itu merunduk, maka tebasan golok Walika hanya lewat sedikit di atas kepala. Dan pada saat itu, cepat sekali tubuhnya berputar, sambil menghentakkan tangan kanan. Langsung diberinya sodokan yang begitu cepat ke arah perut. Begitu cepatnya sodokan tangan kanan itu, sehingga Walika tidak sempat lagi menghindari. Dan tahu-tahu saja tangan kanan gadis itu bersarang telak diperut Walika.
Des!
"Hegkh...!" Walika melenguh pendek.
Tubuh pemuda itu terbungkuk, akibat tersodok tangan kanan yang cukup keras pada perutnya. Di saat tubuh pemuda itu terbungkuk, cepat sekali gadis berbaju putih itu melepaskan satu pukulan keras ke arah wajah. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Walika yang sedang merasakan sakit pada perutnya tidak dapat menghindari lagi.
Diegkh!
"Aaakh...!" Walika terpekik keras sekali.
Kepala pemuda itu langsung terdongak ke atas, dan tubuhnya terhuyung-huyung. Dia lalu terjerembab tergeletak menelentang di tanah. Dua orang pemuda lainnya segera melompat, begitu melihat Walika tergeletak dengan bibir pecah mengeluarkan darah, akibat terkena pukulan keras tadi.
"Tahan...!" sentak laki-laki setengah baya berbaju biru, sambil melompat cepat menghadang dua orang pemuda yang sudah ingin menyerang gadis berbaju putih itu.
Dua orang pemuda itu menghentikan langkahnya. Ditatapnya laki-laki setengah baya ini tajam-tajam. Kemudian tatapannya beralih pada gadis cantik berbaju serba putih yang masih berdiri tegak dengan tegar sekali. Sementara, Walika sudah bisa bangkit berdiri. Disekanya darah yang memenuhi mulutnya dengan punggung tangan.
"Seharusnya kau cepat pergi dari sini, Nisanak. Dan jangan kembali lagi," kata laki-laki setengah baya itu, agak ditekan perlahan nada suaranya.
Tanpa berbicara apa pun juga, gadis cantik berbaju putih itu memutar tubuhnya. Lalu, dia melangkah pergi dengan ayunan kaki yang mantap.
Sementara, Walika menghampiri laki-laki setengah baya ini, diikuti dua orang pemuda yang tadi hampir ikut menyerang. Sedangkan orang-orang yang memadati jalan itu, sedikit demi sedikit menghampiri mereka.
Sementara, gadis berbaju serba putih itu sudah terlihat cukup jauh. Dia terus berjalan tanpa berpaling lagi ke arah Selatan. Padahal, tadi kedatangannya dari arah utara. Itu berarti dia tidak kembali lagi ke tempat tadi.
"Seharusnya kau tidak membiarkan perempuan iblis itu pergi, Ki," ujar Walika tampak tidak puas atas sikap laki-laki setengah baya itu.
"Benar, Ki Langgu. Dia pasti kembali lagi ke sini," sambung pemuda lain.
"Dia sudah terlalu banyak mengambil nyawa teman-teman kami," sambung pemuda satunya lagi.
"Sudah.... Kalian kembali saja ke tempat masing-masing," ujar laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Langgu itu.
Memang terlihat jelas, kalau mereka semua merasa tidak puas. Tapi, tak seorang pun yang berani menentang keputusan laki-laki setengah baya itu. Mereka semua terdiam. Bahkan tetap diam, saat laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Langgu melangkah pergi. Sikapnya seperti tidak mempedulikan ketidakpuasan mereka, dengan membiarkan gadis berbaju putih itu pergi. Padahal, mereka semua tadi sudah siap menyabung nyawa, asalkan gadis itu tewas.
Satu hal yang tak terpikirkan mereka, dan tentu saja ini menjadi pikiran Ki Langgu. Membunuh gadis tadi, sama saja menciptakan perang terbuka dengan musuh bebuyutnya. Ini yang harus dihindari. Ki Langgu tidak ingin usahanya yang telah susah payah dibangun, hancur berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
71. Pendekar Rajawali Sakti : Ladang Pembantaian
ActionSerial ke 71. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.