BAGIAN 4

553 25 0
                                    

Siapa sebenarnya yang menolong Gadis Baju Putih itu? Dan ke mana perginya...?
Saat itu, malam masih cukup larut menyelimut mayapada ini. Kesunyian masih terasa begitu mencekam. Sementara agak jauh dari Desa Jalakan, tepatnya ditengah sebuah hutan yang cukup lebat, tampak seorang pemuda berwajah tampan melangkah agak tergesa-gesa sambil memondong sesosok tubuh ramping yang kelihatan kecil mungil.
Pemuda itu mengenakan baju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Sementara yang dipondong adalah sosok tubuh mungil yang juga mengenakan baju warna putih ketat. Pemuda itu baru menghentikan ayunan kakinya, setelah sampai di depan sebuah gua yang berlumut cukup besar. Tanpa menoleh ke kanan dan kiri lagi, bergegas kakinya melangkah masuk ke dalam gua itu.
Dan dia terus berjalan tanpa memperlambat ayunan kakinya sedikit pun, walau keadaan di dalam lorong gua itu cukup gelap sekali. Sehingga, yang terlihat hanya baju-baju putih mereka saja. Sedangkan seluruhnya tampak hitam kelam, bagai berada di dalam tanah.
"Akan kau bawa ke mana aku?" tanya gadis berbaju putih yang berada dalam pondongan pemuda tampan ini.
"Ke tempat pengasingan ayahmu. Aku tahu, kau putri Ki Jambak Gora," sahut pemuda itu kalem.
"Siapa kau?" tanya gadis itu lagi.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu tidak menjawab pertanyaan itu. Kalau saja keadaan di dalam lorong gua ini terang, barang kali senyuman tersungging menghiasi bibirnya bisa terlihat. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus melangkah cepat menyusuri lorong gua yang cukup panjang dan banyak liku-likunya ini.
Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu gua yang memiliki pintu dari belahan papan kayu jati. Dengan ujung jari kaki kanan, pemuda itu mendorong pintu hingga terbuka. Kemudian terus dilewatinya pintu yang langsung bergerak menutup kembali. Kakinya terus terayunkan melintasi sebuah padang rumput yang tidak begitu besar.
Sinar rembulan yang memancar dari langit, cukup membuat keadaan di padang rumput ini jadi terang, sehingga gadis berbaju putih itu dapat melihat wajah tampan pemuda penolongnya. Pemuda itu baru berhenti, setelah melewati padang rumput yang tidak terlalu luas ini. Di depannya, tampak berdiri sebuah pagar tinggi yang terbuat dari balokan kayu besar, yang bagian atasnya meruncing seperti sebuah benteng.
Sebuah pintu yang terbuat dari belahan kayu berukuran tebal, bergerak membuka perlahan-lahan. Pemuda itu terus mengayunkan kakinya kembali, memasuki pagar tinggi seperti benteng ini. Perlahan gadis ini diturunkan dari pondongannya. Tampak di dalam benteng itu terlihat puluhan orang yang berdiri berjajar seperti tengah menanti kedatangan mereka, dengan sinar mata dan raut wajah memancarkan kecemasan.
Mereka terdiri dari laki-laki, wanita, tua, muda, dan anak-anak. Dari pakaian yang dikenakan, mereka seperti orang-orang desa yang sedang mengungsi mencari perlindungan. Tampak berdiri paling depan, dua orang laki-laki dan seorang wanita muda yang cantik berbaju warna biru muda agak ketat. Di punggungnya terlihat sebuah pedang bergagang kepala naga berwarna hitam. Sedangkan di pinggangnya terselip sebuah kipas berwarna keperakan.
Mereka melangkah menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang terus mendampingi gadis cantik berbaju putih, yang sekarang sudah tidak berada dalam pondongannya. Di sebelah kanan gadis itu, berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Janggutnya panjang, dan semua berwarna putih. Dia juga mengenakan ikat kepala berwarna putih, dengan sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanannya.
Dan di sebelah kiri gadis cantik itu, berdiri seorang laki-laki muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajah tampan, dan ditunjang bentuk tubuh tegap dan berotot yang terbungkus baju warna merah muda cukup ketat, sehingga tampak gagah. Sebilah pedang tampak tergantung dipinggangnya.
"Ayah...," desis gadis berbaju putih yang berdiri disamping pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sutiningsih, Anakku...," desah laki-laki tua berjubah putih itu.
Saat itu juga, mereka saling melangkah cepat. Gadis berbaju putih itu langsung berlutut di depan kaki laki-laki tua berjubah putih ini. Sementara, gadis yang berbaju biru muda menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang sejak tadi berdiri saja memandangi suatu pertemuan yang begitu mengharukan.
Begitu banyak orang berada didalam benteng ini. Tapi, tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua terdiam, menyaksikan lelaki tua berjubah putih itu membangunkan anak gadisnya, lalu memeluknya penuh kasih sayang. Benar-benar mengharukan!
Entah berapa lama mereka semua diselimuti keheningan yang begitu mengharukan. Perlahan, laki-laki tua berjubah putih itu melepaskan pelukannya pada gadis cantik bertubuh kecil mungil ini. Mereka sama-sama memandang pemuda berbaju rompi putih yang kini sudah berdiri didampingi seorang gadis cantik berbaju biru muda yang menyandang pedang bergagang kepala naga hitam di punggungnya. Mereka menghampiri pemuda tampan berbaju putih itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu yang telah mengembalikan putriku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap laki-laki tua berjubah putih itu, sambil menyodorkan tangannya.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, menyambut hangat uluran tangan itu. Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda yang berada di sampingnya, tak lain adalah Pandan Wangi. Dan dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut. Tapi terkadang juga, gadis ini di panggil sebagai Pendekar Naga Geni, karena membawa Pedang Naga Geni, dan menguasai seluruh ilmu-ilmu yang ada di dalam Kitab Naga Geni.
Sutiningsih memang tahu kalau orang yang menolongnya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Memang sudah lima hari Sutiningsih pergi ke Gunung Rinjani, untuk minta restu pada eyang gurunya di padepokan Naga Ireng, lalu pergi ke Desa Jalakan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi baru dua hari berada di sini untuk suatu keperluan.
"Waktu berkeliling dekat Desa Jalakan, aku kebetulan saja melihat Sutiningsih tengah dikeroyok, Ki Jambak Gora. Tapi...,"
Rangga menghentikan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti menatap gadis cantik berbaju putih yang dibawanya tadi ke tempat yang menyerupai benteng ini. Tampak jelas kalau wajah gadis yang bernama Sutiningsih itu kelihatan agak memucat. Perlahan Rangga menghampiri, dan mengulurkan jari tangannya. Lalu, digenggamnya pergelangan tangan gadis itu.
"Kau terluka, Nisanak," kata Rangga pelan.
"Aku.... Hoek...!"
Sutiningsih tidak dapat lagi menyembunyikan luka dalam yang dideritanya. Dari mulut, langsung menyembur segumpal darah kecil berwarna agak kehitaman. Ki Jambak Gora jadi terkejut melihat putrinya langsung jatuh terduduk, dan memuntahkan darah kental dari mulutnya.
Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, Rangga sudah begitu cepat memberi beberapa totokan di tubuh gadis itu, lalu cepat memondongnya kembali. Tampak Sutiningsih begitu lemas, lunglai tak berdaya di dalam pondongan Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang terjadi terhadap anakku, Rangga...?" tanya Ki Jambak Gora cemas.
"Nanti ku jelaskan, Ki," sahut Rangga. "Di mana kamarnya...?"
"Di sana! Ayo kuantarkan," sahut pemuda tampan berbaju merah muda yang sejak tadi diam saja memperhatikan.
Rangga bergegas melangkah mengikuti pemuda yang juga anak Ki Jambak Gora ini. Namanya Jaka Umbaran. Dia seorang pemuda tampan dan gagah, seperti seorang pangeran saja kegagahannya. Sementara itu, gumaman-gumaman mendengung mulai terdengar keluar dari orang-orang yang berkerumun, memadati halaman depan bangunan besar di dalam pagar kayu berbentuk benteng.

71. Pendekar Rajawali Sakti : Ladang PembantaianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang