BAGIAN 5

529 22 0
                                    

Sementara itu di sebuah rumah berukuran cukup besar yang terletak di tengah-tengah Desa Jalakan, tampak Ki Langgu dan empat orang tamu undangannya sedang duduk-duduk di beranda depan rumah itu. Mereka tampaknya tengah menikmati cerahnya matahari yang bersinar siang ini. Tak terlihat seorang pun di sekitar rumah berukuran besar dan memiliki halaman yang luas bagai alun-alun ini. Dan memang, tidak seorang pun murid si Golok Setan itu yang kelihatan. Bahkan keponakannya yang bernama Walika tidak kelihatan batang hidungnya.
"Ke mana murid-muridmu, Langgu? Sejak pagi tadi aku tidak melihat seorang pun," tanya Dewa Pedang Emas, sambil merayapi sekitarnya.
"Mereka harus bekerja," sahut Ki Langgu tidak begitu jelas artinya.
"Bekerja...? Bekerja apa, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam meminta penjelasan.
Ki Langgu tidak langsung menjawab. Dipandanginya empat wajah yang duduk bersila di depannya. Beberapa kali ditariknya napas panjang, lalu dihembuskannya kuat sekali. Sementara, mereka semua terus menunggu jawaban Ki Langgu atas pertanyaan Dewi Bulan Hitam.
Dan memang, sejak pagi tadi mereka merasakan ada sesuatu yang aneh di desa ini. Bukan karena desa ini sekarang tidak lagi berpenghuni karena memang ditinggalkan penduduk, tapi keadaan yang begitu sunyi ini membuat empat orang undangan Ki Langgu jadi bertanya-tanya dalam hati.
"Langgu, terus terang saja. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini. Sesuatu yang kau sembunyikan dari kami semua," desak Dewi Bulan Hitam, memecah kesunyian yang terjadi.
"Benar. Langgu. Aku juga merasa kau menyembunyikan sesuatu. Sejak kami datang ke sini, sikapmu terasa begitu aneh. Apa yang kau sembunyikan, Langgu...?" sambung Setan Tongkat Putih.
"Hhh...!" Ki Langgu hanya menghembuskan napas panjang saja.
Terasa begitu sulit bagi laki-laki tua berjubah biru itu untuk menjawab semua pertanyaan para sahabatnya tadi. Dan sikap itu membuat mereka semua jadi semakin dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab sendiri. Perlahan Ki Langgu melangkah ke tepi beranda depan rumahnya, dengan pandangan lurus tak berkedip kedepan.
Sementara empat tokoh rimba persilatan undangan si Golok Setan itu masih tetap duduk memandangi, dengan sinar mata dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang belum bisa terjawab semua. Namun baru saja Ki Langgu membalikkan tubuhnya, mendadak saja terdengar desir angin yang begitu halus sekali dari arah belakangnya. Cepat-cepat laki-laki setengah baya itu memiringkan tubuhnya kesamping.
Pada saat yang bersamaan, terlihat sebatang anak panah melesat begitu cepat bagai kilat di samping tubuhnya. Anak panah itu terus menembus ke dalam beranda, dan menuju lurus ke arah Dewi Bulan Hitam.
"Hap!"
Tap!
Manis sekali Dewi Bulan Hitam mengebutkan tangan kanannya, tanpa sedikit pun mengangkat tubuhnya dari tempat duduknya. Tahu-tahu, anak panah itu sudah berada di dalam genggaman tangan kanannya. Tiga orang lainnya yang duduk di dekat wanita yang masih kelihatan cantik itu jadi terkejut melihat sebatang anak panah itu.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Ki Langgu langsung melesat keluar dari dalam beranda rumah besar itu. Dewi Bulan Hitam dan yang lain juga bergegas berlompatan mengikuti keluar dari beranda depan berukuran besar ini. Sekejapan mata saja mereka semua sudah berada di halaman depan yang berukuran besar itu. Tapi tak terlihat seorang pun berada di sekitar halaman yang sangat luas ini.
Mereka sama-sama mengedarkan pandangan berkeliling, dan memasang telinga tajam-tajam. Tapi, ternyata tak terlihat apa-apa. Juga tidak terdengar apa pun, selain desir angin yang berhembus agak kencang siang ini. Mereka tidak lagi peduli dengan sengatan matahari yang sudah terasa begitu terik.
"Kau kenali panah ini, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam, seraya menyodorkan anak panah yang berhasil ditangkapnya tadi.
Anak panah itu berwarna hitam pekat yang bagian matanya berwarna kuning keemasan. Pada bagian tengah batangnya, tergambar guratan berbentuk seekor naga yang mengeluarkan api dari mulut. Ki Langgu agak berkerut juga keningnya saat melihat guratan gambar pada bagian tengah batang anak panah itu. Kelopak matanya juga jadi menyipit.
Sementara, empat orang tokoh persilatan undangannya jadi memandang laki-laki tua berjubah biru ini. Mereka juga melihat guratan gambar berbentuk naga pada batang anak panah yang masih berada di tangan Dewi Bulan Hitam.
"Kau kenali panah ini, Langgu?" Dewi Bulan Hitam melontarkan pertanyaan kembali.
"Ya...," sahut Ki Langgu, terdengar pelan suaranya.
"Siapa pemiliknya?" tanya Dewi Pedang Emas.
"Ki Jambak Gora," sahut Ki Langgu pelan.
Begitu pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar ditelinga empat orang tokoh persilatan undangan si Golok Setan itu. Sementara, mereka tampak terkejut mendengar nama yang baru saja disebutkan Ki Langgu. Bahkan sampai melempar pandangan, satu sama lain. Sementara, wajah Ki Langgu seperti terselimut kabut tebal. Beberapa saat lamanya, mereka semua terdiam.
"Kau tidak main-main, Langgu...?" ujar si Kipas Naga sambil menatap begitu dalam, ke bola mata si Golok Setan itu.
"Kalian pasti masih ingat, lambang yang selalu digunakan Ki Jambak Gora...," tegas Ki Langgu. "Dialah Kepala Desa Jalakan ini yang telah kusingkirkan setahun yang lalu. Dan kini, anaknya menuntut haknya."
Dewa Pedang Emas, si Kipas Naga, Dewi Bulan Hitam, dan Setan Tongkat Putih hanya menganggukkan kepala saja. Tentu saja mereka ingat. Tidak ada orang lain lagi didunia ini yang selalu menggunakan gambar naga sebagai lambang kekuatan dirinya, selain Ki Jambak Gora. Dan mereka jadi ingat. Gambar naga yang tergores pada batang anak panas berwarna hitam itu memang lambang kebanggaan dan kekuatan tokoh kosen yang sudah cukup lama menghilang dari rimba persilatan.
"Sudah lebih dari tiga puluh tahun aku tidak pernah lagi mendengar namanya. Dan kupikir juga, dia sudah menghilang dan tidak kembali lagi," kata Setan Tongkat Putih.
Suaranya setengah menggumam dan hampir tidak terdengar, seakan-akan bicara dengan diri sendiri.
"Hm.... Jadi dia muncul lagi, dan ada hubungannya dengan semua ini...?" sambung Dewa Pedang Emas.
Sedangkan Ki Langgu hanya diam saja. Perlahan kemudian, kakinya terayun menuju beranda rumah berukuran besar itu. Dia terus melangkah, sementara empat orang sahabatnya masih tetap berdiri dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang tidak mudah cepat dijawab.
Ki Langgu terus melangkah masuk ke dalam rumah. Kakinya terus terayun melintasi ruangan depan yang berukuran cukup luas. Laki-laki setengah baya itu tidak berhenti melangkah, begitu sampai di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Kakinya terus terayun, lalu tangan kanannya mendorong pintu itu. Ki Langgu baru berhenti setelah berada di dalam sebuah ruangan berukuran cukup besar.
Di dalam ruangan itu terdapat sebuah pembaringan besar, dan sebuah lemari kayu jati berukir yang terletak di dekat jendela. Juga, ada dua buah kursi rotan mengapit sebuah meja kecil berbentuk bulat. Laki-laki berjubah biru itu berdiri tegak di depan jendela yang terbuka lebar. Pandangannya tertuju lurus ke depan, tanpa berkedip sedikit pun juga. Tapi, mendadak saja dia memutar tubuhnya.
"Heh...?!"
Kedua bola mata si Golok Setan jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba saja di depannya kini ada seorang laki-laki tua yang berbaju putih panjang. Seluruh rambut dan janggutnya yang panjang juga sudah berwarna putih. Ki Langgu begitu terkejut, karena tadi sama sekali tidak tahu. Dan juga dia belum bisa melupakan wajah tua yang bersinar bening di hadapannya ini.
"Ki Jambak Gora...," desis Ki Langgu pelan sekali, sehingga hampir tak terdengar di telinga.
Dia terus memandangi laki-laki tua berjubah putih yang berdiri tegak di depannya ini dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Seakan-akan, Ki Langgu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Tapi cepat disadari kalau orang tua berjubah putih itu memang benar-benar ada, dan sekarang ini berdiri tidak jauh di depannya.
"Kau terkejut melihat kedatanganku, Langgu...?" terdengar tenang dan lembut sekali nada suara laki-laki tua berjubah putih yang dikenali Ki Langgu bernama Ki Jambak Gora itu.
"Untuk apa lagi kau datang ke sini, Ki Jambak Gora?" dengus Ki Langgu bertanya.
"Ingat janjimu!" Jelas sekali kalau nada suaranya terdengar tidak menyukai kehadiran Ki Jambak Gora di Desa Jalakan ini.
Sedangkan Ki Jambak Gora terlihat menyunggingkan senyuman tipis. Kakinya melangkah tiga tindak kedepan, namun sorot matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata si Golok Setan yang sekarang ini berada sekitar lima langkah lagi di depannya.
"Kau benar-benar sudah keterlaluan, Langgu. Kau rampas desa ini, lalu sekarang mencoba membunuh pewaris sah desa ini pula. Kau benar-benar manusia serakah...!" desis Ki Jambak Gora, begitu dingin nada suaranya.
"Kau sudah tidak lagi mentaati janjimu sendiri."
"Jangan menuduhku sembarangan, Ki Jambak Gora!" sentak Ki Langgu geram.
"Aku tidak akan datang lagi ke sini, kalau kau tidak menganiaya Sutiningsih."
"Bicara apa kau ini, heh...?!"
"Jangan pura-pura tidak tahu, Langgu...! Sekarang juga kuminta, tinggalkan desa ini. Aku sudah muak melihat tingkahmu. Kau benar-benar sudah tak memandang kalau Sutiningsih masih terhitung keponakanmu!"
"Edan...! Berani benar kau berkata begitu Ki Jambak Gora. Biar aku tokoh sesat, tapi aku tidak sudi melukai keponakanku sendiri!"
"Tapi pada kenyataannya? Ah, sudahlah. Sekarang kuminta kau tinggalkan desa ini. Biarkan mereka mendapat kembali rumah-rumahnya, dan semua ladang kehidupan yang kau rampas. Kau sudah tidak berhak tinggal di sini, Golok Setan!"
"Phuih!" Ki Langgu menyemburkan ludahnya, sengit sekali. Sorot mata Ki Langgu begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua berjubah putih yang berdiri tegak di depannya.
Sementara itu, Ki Jambak Gora tampak sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Dia tahu, orang yang dihadapinya ini memiliki kepandaian yang tinggi, dan tak bisa dipandang sebelah mata saja. Terlebih lagi, sekarang ini Ki Langgu didampingi empat orang sahabatnya yang juga memiliki kepandaian tidak rendah.
Untuk beberapa saat, mereka terdiam dan hanya saling pandang dengan sorot mata masing-masing terlihat begitu tajam. Ketegangan tersirat dari sorot mata mereka satu sama lain. Perlahan Ki Langgu menggeser kakinya ke kanan. Sementara Ki Jambak Gora masih tetap berdiri tegak memperhatikan setiap gerak kaki si Golok Setan itu. Dan tiba-tiba saja...
"Hih!"
"Uts...!"
Cepat sekali tangan Ki Langgu bergerak mengibas ke depan. Dan begitu terlihat secercah cahaya berkilat meluncur deras bagai kilat, manis sekali Ki Jambak Gora menarik tubuhnya ke samping. Sehingga, cahaya berkilat yang melesat keluar dari telapak tangan si Golok Setan itu lewat di samping tubuh Ki Jambak Gora.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Ki Langgu tiba-tiba saja melompat menerjang laki-laki tua berjubah putih itu sambil melontarkan satu pukulan keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun dengan satu gerakan manis dan cepat sekali, Ki Jambak Gora meliukkan tubuhnya. Sehingga serangan yang dilepaskan si Golok Setan itu berhasil dielakkan.
"Hiyaaa...!"
Tapi, Ki Langgu rupanya tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilontarkannya serangan dengan pukulan-pukulan beruntun dan sangat cepat ke arah beberapa bagian yang mematikan pada tubuh Ki Jambak Gora. Dan serangan ini membuat Ki Jambak Gora terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Di dalam ruangan yang tidak begitu besar itu, pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Suara-suara ribut dari pertarungan itu rupanya terdengar empat orang sahabat si Golok Setan. Dan mereka langsung menerobos masuk dengan menjebol pintu ruangan itu. Keempat orang itu begitu terkejut melihat Ki Langgu tengah menggempur seorang laki-laki tua berjubah putih, dengan pukulan-pukulan keras menggeledek dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Pada saat itu, keadaan ruangan ini sudah demikian berantakan. Bahkan beberapa dinding terlihat sudah hancur terkena pukulan Ki Langgu yang teramat keras.
"Hup! Yeaaah...!"
Melihat empat orang sahabat Ki Langgu berdatangan, tanpa membuang-buang waktu lagi Ki Jambak Gora segera melesat cepat keluar dari ruangan itu dengan menjebol atap. Cepat sekali gerakannya, hingga membuat Ki Langgu dan empat orang yang baru saja datang jadi terperangah sesaat. Namun mereka segera berlompatan ke atas, mengikuti Ki Jambak Gora yang sudah menjebol atap ruangan ini.
"Setan keparat...!" desis Ki Langgu begitu kakinya menjejak atap.
Ternyata sama sekali tidak lagi terlihat Ki Jambak Gora berada di atas atap bangunan yang berukuran besar ini. Bahkan bayangannya pun sama sekali tidak terlihat. Sungguh cepat sekali Ki Jambak Gora menghilang, setelah berhasil keluar dari pertarungannya dengan menjebol atap rumah ini. Sama sekali tidak terlihat ke mana arah perginya. Dan ini membuat Ki Langgu jadi geram setengah mati. Bahkan empat orang sahabat si Golok Setan itu juga jadi mengedarkan pandangannya berkeliling. Di saat itu tiba-tiba saja mereka dikejutkan desingan suara yang membuat bola mata jadi terbeliak lebar.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Lima orang yang berada di atas atap itu langsung berjumpalitan di udara, begitu tiba-tiba saja telah dihujani puluhan batang anak panah berwarna hitam pekat. Bahkan Dewa Pedang Emas dan Setan Tongkat Putih langsung meluruk turun dari atap. Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga pun segera mengikutinya.
Dengan gerakan manis dan ringan sekali, mereka menjejakkan kaki di bagian samping bangunan rumah ini. Sementara Ki Langgu masih berjumpalitan di udara, menghindari hujan panah yang datang bagai dari segala penjuru itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Sret!
Bet! Wuk...!
Cepat sekali Ki Langgu melenting tinggi tinggi keudara, sambil mencabut goloknya yang berukuran besar. Secepat itu pula goloknya dikebutkan, untuk menyampok setiap batang anak panah yang meluruk deras menghujani dirinya. Sambil berjumpalitan di udara, Ki Langgu berusaha keluar dari sebuah anak panah berwarna hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil cepat memutar goloknya, Ki Langgu meluruk turun dan langsung bergulingan beberapa kali di atas tanah. Dan begitu bisa bangkit berdiri, hujan anak panah itu tidak lagi terlihat menyerang dirinya. Ki Langgu berdiri tegak dengan goloknya berukuran besar tersilang di depan dada. Pandangannya sangat tajam, beredar berkeliling untuk mencari arah datangnya panah-panah hitam yang tadi menghujani tubuhnya.
"Jambak Gora, keluar kau...!" sentak Ki Langgu keras menggelegar suaranya.
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi itu sampai menggema ke sekeliling. Bahkan membuat daun-daun berguguran dan tanah yang dipijak jadi bergetar, bagai terlanda gempa. Belum lagi bentakan Ki Langgu menghilang dari pendengaran, tahu-tahu berkelebat sebuah bayangan putih dari atas pohon beringin yang sangat besar.
Cepat sekali bayangan putih itu berkelebat, tahu-tahu sekitar dua batang tombak dari Ki Langgu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih yang dikenal bernama Ki Jambak Gora. Di tangan kanannya kini juga sudah tergenggam sebatang tombak yang berwarna hitam pekat, yang ujungnya berbentuk segitiga berwarna kuning keemasan.
Pada saat itu, dari atap rumah-rumah yang berdekatan dengan rumah besar berhalaman cukup luas ini, bermunculan pemuda-pemuda membawa anak panah terpasang di busur. Bahkan dari atas pohon dan gerumbul semak belukar pun bermunculan orang-orang yang masih berusia muda. Sekeliling halaman samping rumah itu kini sudah terkepung puluhan orang pemuda yang sudah siap dengan senjata panah serta tombak terhunus. Dan mereka semua mengenakan baju putih bersih, bagai sudah siap menghadapi pertempuran suci yang pasti tidak sedikit akan mengorbankan nyawa.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah siap dengan murid-murid tololmu, Jambak Gora!" lantang sekali suara Ki Langgu.
Sedikit pun tidak ada rasa gentar di hati Ki Langgu melihat sekelilingnya sudah begitu rapat. Bahkan kelihatan semakin bertambah pongah saja. Dia terus tertawa terbahak-bahak dengan suara keras menggelegar. Bahkan terasa mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan itu mengakibatkan pemuda-pemuda berbaju serba putih yang mengepung tempat ini jadi merasakan akibatnya.
Telinga mereka mendengung sakit, membuat mereka jadi seperti cacing yang kepanasan karena berusaha menahan gempuran suara yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Beberapa orang pemuda yang berada di atas pohon mulai terlihat berjatuhan, tak sanggup menahan gempuran tenaga dalam yang dikeluarkan lewat suara tawa itu. Namun tiba-tiba saja....
"Grhaaa...!"
Sambil mengangkat tombak tinggi-tinggi ke atas kepala, Ki Jambak Gora meraung keras bagai seekor harimau. Raungannya yang juga mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat Ki Langgu terpaksa menghentikan tawanya yang juga mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Dan pada saat tidak lagi terdengar suara-suara keras bertenaga dalam tinggi, seketika itu juga....
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan guntur di siang bolong, teriakan-teriakan keras terdengar menggetarkan seluruh alam ini. Begitu tiba-tiba pemuda pemuda berbaju serba putih murid Ki Jambak Gora ini berhamburan meluruk deras menyerang Ki Langgu dan empat orang sahabatnya. Bahkan puluhan anak panah pun langsung berhamburan mendahului, membuat lawan terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Tepat di saat anak-anak panah berwarna hitam itu berhenti, puluhan orang anak-anak muda sudah berhamburan menyerang dari segala arah. Dan kini teriakan-teriakan keras dan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, langsung berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi tubuh yang ambruk bergelimpangan bermandikan darah. Jeritan-jeritan kematian terus terdengar di sekitarnya.
Tentu saja membuat Ki Langgu, Dewi Bulan Hitam, Setan Tongkat Putih, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga jadi kelabakan juga menghadapinya. Tapi mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang berjuluk Lima Iblis dari Utara. Maka, tentu saja sudah berpengalaman menghadapi segala macam bentuk pertarungan.
Sehingga, sebentar saja mereka sudah bisa menghadapi penyerangan yang datang begitu cepat dari segala penjuru. Teriakan-teriakan keras dan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, langsung berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi tubuh yang ambruk bergelimpangan bermandikan darah.
Jeritan-jeritan panjang berhawa kematian, semakin sering terdengar memenuhi udara sekitarnya. Sementara bau anyir darah semakin keras tercium menyengat hidung. Tubuh-tubuh berlumur darah terus berjatuhan, diiringi jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan teriakan-teriakan pertempuran, serta denting senjata beradu.
Sementara itu Ki Langgu dan empat orang sahabatnya terus berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing. Gerakan-gerakan mereka begitu cepat, sehingga terlalu sulit bagi murid-murid Ki Jambak Gora untuk mendekatinya. Dan lagi, tingkat kepandaian Lima Iblis dari Utara memang jauh lebih tinggi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari setengah yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Munduuur...!"
Pada saat semua murid-murid Ki Jambak Gora sudah benar-benar tidak mampu lagi berbuat lebih banyak lagi, terdengar teriakan keras menggelegar yang mengalahkan suara-suara pertarungan dan jeritan panjang melengking. Dan pada saat itu, terlihat mereka yang masih bisa bertahan hidup segera berlompatan keluar dari kancah pertempuran. Mereka semua langsung menghilang kebalik rumah-rumah, pepohonan serta gerumbul semak belukar yang banyak terdapat di sekitar Desa Jalakan ini. Sebentar saja, keadaan menjadi sunyi senyap.
Sementara Ki Langgu dan empat orang sahabatnya tetap berdiri tegak, menjaga segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Tak ada seorang pun yang melihat Ki Jambak Gora di sini. Laki-laki tua berjubah putih itu benar-benar sudah lenyap, bersama perginya pemuda-pemuda berbaju putih yang menyerang lima orang tokoh rimba persilatan yang berjuluk Lima Iblis dari Utara.
Sudah cukup lama kesunyian menyelimuti mereka berlima. Tapi, tidak ada serangan yang muncul. Dewi Bulan Hitam melangkah menghampiri Ki Langgu yang masih berdiri tegak dengan golok tersilang di depan dada. Dewa Pedang Emas, Setan Tongkat Putih, dan si Kipas Naga pun menghampiri si Golok Setan. Mereka masih tetap diam, dengan sorot mata tajam beredar berkeliling.
Namun, hanya kesunyian mencekam yang dihadapi. Tak terdengar satu suara apa pun. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga, membawa bau anyir darah dari tubuh-tubuh bergelimpangan yang hampir memenuhi halaman samping rumah ini. Di saat kesunyian menyelimuti sekitarnya, tiba-tiba saja...
"Langgu, kau akan menyesal kalau tidak segera angkat kaki dari desa ini...!"
"Hm...," Ki Langgu menggumam kecil, begitu tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Jelas sekali kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sulit mencari arah sumber suara itu, karena terdengar menggema. Seakan-akan datangnya dari segala penjuru mata angin. Dan suara bernada ancaman itu tidak lagi terdengar. Kesunyian kembali menyelimuti seluruh Desa Jalakan ini. Sementara, Ki Langgu dan empat orang sahabat masih tetap diam, berdiri tegak di antara mayat mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.

***

71. Pendekar Rajawali Sakti : Ladang PembantaianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang