BAGIAN 7

489 23 0
                                    

Cepat sekali Setan Tongkat Putih melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat itu pula kakinya menghentak deras, memberi satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi yang mengarah ke kepala Rangga. Namun tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kedua tangannya yang menjepit tongkat itu. Dan....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga menghentakkan tangannya begitu cepat. Dan tak pelak lagi, tubuh Setan Tongkat Putih malah terangkat tinggi ke udara. Lalu begitu Rangga melepaskan jepitan tangannya, seketika itu juga tubuh Setan Tongkat Putih melayang deras ke udara. Dan dengan keras sekali, tubuhnya jatuh menghantam atap.
Kejadian yang sangat cepat dan tak terduga, tentu saja membuat semua orang yang mengepung tempat itu jadi terlongong bengong. Seakan-akan mereka semua tidak percaya kalau seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu mampu mengangkat Setan Tongkat Putih, saat tengah melakukan serangan. Bahkan Setan Tongkat Putih sampai terbanting keras menjebol atap sebuah rumah hingga hancur berantakan.
Braakk...!
Semua pandangan mata langsung tertuju kearah rumah yang tadi tertimpa tubuh Setan Tongkat Putih. Tampak dinding rumah itu hancur berkeping-keping, bersamaan munculnya Setan Tongkat Putih. Tampak jelas sekali kalau wajahnya menyemburkan rona merah, yang menandakan kalau hatinya begitu berang atas tindakan Rangga padanya tadi. Dan memang, dia merasa malu karena berhasil dijatuhkan dengan mudahnya.
"Setan keparat! Kubunuh kau...!" geram Setan Tongkat Putih.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Wuk!
Cepat sekali pemuda berbaju serba putih itu melompat, sambil mengebutkan tongkatnya beberapa kali ke bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan. Namun dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti berhasil mementahkan semua serangan yang dilakukan Setan Tongkat Putih.
Beberapa kali Setan Tongkat Putih mengebutkan tongkatnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun, tak satu pun serangannya berhasil mendarat ditubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan hal itu membuat Setan Tongkat Putih semakin bertambah berang.
"Hiyaaa...!"
Tanpa ada rasa sungkan sedikit pun juga, Setan Tongkat Putih langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tingginya yang sangat dahsyat. Bahkan bentuk tongkatnya sudah tidak dapat dilihat lagi. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja yang menggulung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu pun sudah tidak terlihat lagi bentuk tubuhnya. Yang terlihat hanya bayangan putih berkelebatan di antara kebutan-kebutan bayangan tongkat Setan Tongkat Putih yang sangat cepat luar biasa. Sungguh suatu pertarungan tingkat tinggi yang sukar diikuti pandangan mata biasa.
Sementara agak jauh dari pertarungan itu, tampak Pandan Wangi terus memperhatikan sekelilingnya. Dan tampaknya, semua orang begitu terpusat perhatiannya pada pertarungan yang sudah menegangkan itu. Sehingga tak ada seorang pun yang memperhatikan Pandan Wangi. Mereka seperti lupa kalau di situ ada seorang gadis cantik berbaju biru yang datang ke desa ini bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar. Dan tahu-tahu, terlihat Rangga melentingkan ke udara. Lalu dengan kecepatan sangat cepat, Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah kepala Setan Tongkat Putih. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, bagai membuat lingkaran. Saat itu, Rangga sudah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang sangat dahsyat dan sangat sukar dicari tandingannya.
"Hait...!"
Wuk!
Namun Setan Tongkat Putih cepat mengebutkan tongkat ke atas kepala, begitu kaki Rangga hampir menghantam kepalanya. Dan tepat pada saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya hingga kedua kakinya berada di atas. Pada saat kepalanya menjuntai ke bawah, tanpa diduga sama sekali dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga Setan Tongkat Putih tidak mungkin bisa menghindarinya lagi. Sementara tangan Rangga yang sudah berwarna merah bagai terbakar itu langsung menghantam dada Setan Tongkat Putih yang sudah tidak terlindung lagi.
Begkh!
"Aaakh...!"
Sambil menjerit melengking tinggi, Setan Tongkat Putih terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Tampak dadanya melesak masuk ke dalam, berwarna merah menyala bagai terbakar. Dari mulut dan hidung mengeluarkan darah kental agak kehitaman. Hanya sebentar saja pemuda berbaju putih itu masih mampu menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara Rangga sudah berdiri tegak sambil memandangi Setan Tongkat Putih. Sedikit pun tak ada gerakan pada tubuh Setan Tongkat Putih. Dan itu sudah menandakan kalau pemuda berbaju putih yang tongkat mautnya sudah terkenal itu sudah tidak bernyawa lagi, akibat dadanya terkena pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Beberapa saat semua orang yang ada di sekitar tempat itu jadi terlongong bengong, seakan-akan tidak percaya kalau Setan Tongkat Putih sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja Ki Langgu berteriak keras menggelegar, memerintahkan semua murid-muridnya menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Kemarahannya langsung meluap, begitu menyadari kalau salah seorang sahabatnya sudah tewas di tangan pemuda berbaju rompi putih itu. Dan belum lagi teriakannya menghilang, tahu-tahu Rangga dan Pandan Wangi sudah sibuk menghindari hujan panah yang menghambur deras dari atas atap rumah-rumah di sekelilingnya.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan panah yang menghujani. Berpuluh-puluh anak panah berdesingan di sekitar tubuh sepasang pendekar muda itu. Namun sebatang pun tak ada yang berhasil mengenai tubuhnya. Gerakan-gerakan yang dilakukan mereka memang sungguh cepat luar biasa. Dan mereka memang bukan orang-orang sembarangan, yang dengan mudah bisa dihalau oleh puluhan batang anak panah.
Bahkan puluhan batang anak panah yang menghujani mereka, tak satu pun yang sampai pada sasaran. Dan tidak sedikit pula yang berhasil dihalau, hanya dengan kibasan tangan saja. Melihat ketangguhan kedua pendekar muda itu, Ki Langgu jadi berkerut juga keningnya. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah berhasil menewaskan Setan Tongkat Putih, salah seorang tokoh persilatan sahabatnya.
"Seraaang...!" seru Ki Langgu tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar.
Dan seketika itu juga, puluhan orang muridnya yang memang sudah sejak tadi menunggu perintah itu, langsung berteriak-teriak sambil menghambur menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu, mereka yang menghujani kedua pendekar muda itu langsung menghentikan panahnya. Tapi hal itu tidak membuat Rangga dan Pandan Wangi bisa menarik napas lega. Karena bersamaan dengan berhentinya hujan panah, puluhan orang bersenjata golok dan tombak sudah meluruk deras menyerang.
"Pandan, cepat pergi dari sini!" seru Rangga.
Namun Pandan Wangi sudah tidak bisa lagi memperhatikan seruan Pendekar Rajawali Sakti. Kipas Maut itu sudah sibuk menghadapi keroyokan puluhan orang yang semuanya bersenjata golok. Sedangkan Rangga sendiri terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang dari segala arah. Puluhan golok yang berkilat, berkelebat di sekitar tubuhnya yang meliuk-liuk menghindari setiap kebutan golok-golok itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rangga melenting keudara. Namun pada saat yang bersamaan, secercah cahaya kuning keemasan berkelebat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan ini membuat Rangga jadi terperangah juga. Namun dengan gerakan yang sangat manis, Pendekar Rajawali Sakti merundukkan kepala, menghindari sinar kuning keemasan yang datang dari sebuah pedang berwarna kuning emas.
"Hap! Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat melesat ke arah Pandan Wangi yang masih disibukkan oleh serangan-serangan puluhan orang yang semuanya menggunakan senjata golok. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan keras beruntun, yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Saat itu juga, terdengar jeritan-jeritan keras melengking tinggi yang kemudian disusul bertumbangannya beberapa orang yang mengeroyok gadis berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
"Cepat kau pergi, Pandan...!" seru Rangga begitu berhasil mendekati Pandan Wangi.
"Kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi sambil berkelit, meliukkan tubuhnya untuk menghindari satu tebasan golok yang mengarah ke pinggang.
"Aku nanti menyusul. Cepaaat...!" sahut Rangga agak keras suaranya.
Pandan Wangi tidak bisa menjawab lagi. Dengan cepat sekali senjatanya, yang berupa sebuah kipas dari baja putih dicabut. Secepat itu pula, kipasnya dikebutkan kearah sebuah golok yang berkelebat mengarah ke dada.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Tring!
Cras!
"Aaa...!"
Sekali kebut saja, Pandan Wangi sudah berhasil melemparkan sebuah golok yang kemudian disusul robeknya dada salah seorang penyerangnya. Darah seketika muncrat keluar dari dada yang terobek ujung kipas Pandan Wangi yang berbentuk runcing seperti anak panah. Dan pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi segera melenting tinggi-tinggi ke udara, sambil mengebutkan kipas baja putihnya beberapa kali.
Namun tanpa diduga sama sekali, puluhan golok langsung beterbangan mengejar gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Maka Pandan Wangi terpaksa berjumpalitan di udara, sambil mengebutkan kipasnya cepat beberapa kali untuk menyampok setiap golok yang meluruk deras ke arahnya. Beberapa kali kipas baja putih itu menghantam golok-golok yang beterbangan ke arah si Kipas Maut itu. Percikan bunga api memijar, setiap kali kipas putih keperakan itu menghantam golok-golok yang berhamburan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras beberapa kali, Pandan Wangi cepat-cepat meluruk sambil mengebutkan kipasnya beberapa kali kearah orang-orang yang masih tetap memburu dan rapat mengepungnya. Gadis berjuluk si Kipas Maut itu juga melontarkan beberapa pukulan tangan kiri, sambil mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bahkan sudah hampir mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, tak seorang pun yang berhasil menahan gempuran si Kipas Maut itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Setelah berhasil menumbangkan beberapa orang pengeroyoknya, Pandan Wangi langsung melenting, sambil mengebutkan kipas mautnya beberapa kali. Dan begitu berhasil keluar dari kepungan orang-orang bersenjata golok itu, secepat kilat melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat hampir sempurna. Cepat sekali gerakannya. Sehingga belum sampai ada yang menyadari, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi bagaikan ditelan bumi.
Sementara itu, Rangga masih sibuk menghadapi keroyokan murid-murid Ki Langgu yang semuanya menggenggam senjata berupa golok. Entah sudah berapa orang yang berhasil ditumbangkan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi mereka tetap saja merangsek maju, seakan-akan tidak memiliki rasa gentar sedikit pun.
Padahal, tidak sedikit dari mereka yang sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi, terkena pukulan maupun tendangan menggeledek yang dilepaskannya. Dan memang, setiap pukulan maupun tendangan Rangga selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Sehingga, tak ada seorang pun yang bisa menahan lagi.
"Hm..., Pandan Wangi sudah pergi dari sini," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti masih juga sempat memperhatikan Pandan Wangi yang sudah berhasil meloloskan diri dari kancah pertarungan. Dan pada saat itu, Rangga segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke samping. Tetapi ketika tubuhnya melenting ke udara, langsung kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Pada saat kakinya kembali menjejak tanah, secepat kilat tangannya direntangkan kembali hingga terpentang lebar seperti sayap seekor burung yang sedang mengembang.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!"
Bersamaan terdengarnya teriakan Rangga yang amat keras menggelegar, dan bersamaan dengan merentangkan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti, seketika itu juga bertiup angin badai yang sangat dahsyat luar biasa. Bahkan awan yang sejak tadi tenang berarak, jadi bergulung-gulung terhempas badai topan yang diciptakan Rangga lewat aji 'Bayu Bajra'nya. Sebuah aji kesaktian yang kerap kali digunakan Rangga jika menghadapi keroyokan begitu banyak seperti ini.
Deru angin berhembus kencang, menggetarkan bumi yang dipijak. Hempasan angin yang teramat kuat ini tidak dapat lagi ditahan. Seketika itu juga, mereka yang mengepung Rangga jadi berhamburan bagai daun-daun kering yang tertiup angin. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, seakan-akan ingin mengalahkan deru angin topan yang terjadi tiba-tiba.
Tak ada lagi yang bisa bertahan, menghadapi gempuran aji 'Bayu Bajra'. Bahkan pohon-pohon pun bertumbangan, dan rumah-rumah roboh terkena terjangan badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti. Awan semakin banyak bergulung-gulung, membuat langit yang semula cerah kini berubah menghitam pekat. Sehingga, sang mentari tak sanggup lagi memancarkan sinarnya ke atas permukaan bumi ini. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi masih terus terdengar menyayat, bercampur baur deru angin badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Dan begitu Rangga merapatkan kedua telapak tangan kembali di depan dada, seketika itu juga badai topan yang terjadi melanda Desa Jalakan ini langsung berhenti mendadak. Bahkan sedikit pun tidak ada lagi hembusan angin. Dan pada saat yang bersamaan, awan hitam yang tadi bergulung-gulung di angkasa, langsung memudar lenyap. Dan kini sang mentari kembali memancarkan sinarnya yang terik membakar kulit. Sementara, Rangga berdiri tegak sambil merayapi sekitarnya yang sudah porak-poranda akibat gempuran dari aji 'Bayu Bajra' yang dikeluarkannya tadi.
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Sebentar pandangannya beredar berkeliling, merayapi sekitarnya yang sudah hancur porak-poranda. Ada, terbersit kesenduan pada sinar matanya, melihat akibat aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkan tadi. Ajian itu memang bukan hanya berakibat parah pada lawan-lawannya saja, tapi juga terhadap lingkungan sekeliling. Dan itu membuat Rangga selalu enggan menggunakannya, jika tidak dalam keadaan sangat terpaksa.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, melangkah meninggalkan Desa Jalakan yang kini sudah hancur porak-poranda akibat serangan badai topan dari aji 'Bayu Bajra' tadi. Tak ada satu rumah pun yang masih kelihatan berdiri tegak. Bahkan tidak terlihat seorang pun yang ada. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih di mana-mana. Bau anyir darah langsung merasuk ke dalam hidung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Begitu menggenjot tubuhnya, seketika itu juga Rangga melesat cepat bagai kilat. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti menghilang bagaikan tertelan bumi.
Dan pada saat itu, terlihat Ki Langgu, Dewi Bulan Hitam, Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga keluar dari balik sebatang pohon besar, yang sudah tumbang akibat gempuran aji 'Bayu Bajra' tadi. Mereka memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tak ada seorang pun yang berbicara. Seakan-akan mereka masih tercekam oleh peristiwa yang begitu dahsyat dan sangat mengerikan tadi di depan mata mereka.
"Siapa anak muda itu, Langgu?" tanya Dewi Bulan Hitam.
Pandangan Dewi Bulan Hitam terus tertuju ke arah lenyapnya Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Langgu masih tetap diam, dengan pandangan lurus kedepan.
Sementara Dewa Pedang Emas, dan si Kipas Naga mengedarkan pandangannya, merayapi sekelilingnya yang sudah porak-poranda akibat terkena gempuran aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Memang sungguh dahsyat aji 'Bayu Bajra' dari Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu saja keperkasaan pemuda berbaju rompi putih itu membuat hati mereka jadi agak bergetar juga.
"Sungguh dahsyat ilmu kesaktiannya. Seumur hidupku, baru kali ini melihat aji kesaktian yang begitu dahsyat luar biasa," desah si Kipas Naga menggumam, seakan bicara untuk diri sendiri.
"Aku seperti pernah melihat pemuda itu...," Dewa Pedang Emas juga menggumam perlahan. "Hm..., dia seperti.... Pendekar Rajawali Sakti...." Terdengar ragu-ragu nada suara Dewa Pedang Emas dalam gumamnya.
Sedangkan pandangannya tertuju lurus tanpa berkedip pada Ki Langgu yang masih tetap diam membisu, menatap lurus kedepan. Sementara Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga mengalihkan pandangan pada Dewa Pedang Emas. Mereka tampak agak terkejut mendengar gumam yang menyebutkan nama Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku juga pernah mendengar ada seorang pendekar muda yang ciri-cirinya sama dengan anak muda itu. Apa mungkin dia Pendekar Rajawali Sakti...?" sambung Dewi Bulan Hitam juga bernada menggumam. Sepertinya, dia tidak yakin atas ucapannya sendiri.
"Dia memang Pendekar Rajawali Sakti," ujar Ki Langgu pelan.
Begitu perlahannya, sehingga hampir tidak terdengar mereka semua. Tapi gumaman yang sangat perlahan itu sempat mengejutkan tiga tokoh persilatan yang berdiri di samping si Golok Setan. Mereka benar-benar terkejut, karena sama sekali tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih yang tadi sempat membuat hati tercengang, adalah benar-benar Pendekar Rajawali Sakti. Seorang pendekar muda yang sangat digdaya, dan saat ini sangat sulit dicari tandingannya.
Belum ada seorang pun yang mampu menandingi tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti. Kata-kata menggumam yang keluar dari mulut Ki Langgu tadi, tentu saja sangat mengejutkan. Sehingga mereka semua langsung terdiam membisu. Tak terdengar lagi pembicaraan sepatah kata pun juga. Langsung disadari kalau mereka sedang berhadapan dengan seorang pendekar muda yang berkepandaian sangat tinggi. Bahkan sampai saat ini belum ada tandingannya.
Dan yang barusan mereka lihat tadi, hanya salah satu dari aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung merasa yakin, kalau masih banyak aji kesaktian yang dimilikinya. Dan tentunya, aji-aji kesaktian itu lebih dahsyat lagi daripada yang barusan disaksikan.
Malam sudah datang menyelimuti seluruh wilayah Desa Jalakan. Kesunyian begitu terasa di desa yang sudah hancur porak-poranda itu. Tak ada satu rumah pun yang masih tetap berdiri utuh. Bahkan rumah yang biasanya ditempati Ki Langgu pun sudah porak-poranda diterjang badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti siang tadi.
Di dalam ruangan depan yang berantakan, tampak Ki Langgu berdiri mematung memandang bulan dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Kejadian siang tadi membuat laki-laki tua itu tampak kelihatan gundah sekali. Ilmu kesaktian yang diperlihatkan Rangga tadi membuatnya harus berpikir banyak untuk menghadapi pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tiga orang tokoh persilatan undangannya pun tidak lagi banyak bicara.
Mereka sama-sama merasakan kegundahan hati si Golok Setan itu dalam menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, yang sudah nyata sekali berpihak pada Ki Jambak Gora, bekas Kepala Desa Jalakan ini. Namun, Ki Jambak Gora sekarang entah berada di mana bersama para pembantunya. Tak ada seorang pun yang tahu.
"Sebaiknya kita tinggalkan saja desa ini, Langgu. Tidak ada gunanya tetap bertahan disini, kalau harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu bukan tandingan kita semua," ujar Dewa Pedang Emas, memecah kesunyian yang terjadi malam itu di antara mereka berempat.
Dan memang, tinggal mereka berempat saja yang masih tetap hidup, setelah Rangga mengerahkan aji 'Bayu Bajra' yang begitu dahsyat. Semua murid si Golok Setan itu sudah tewas, tidak mampu membendung gempuran dari aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak akan meninggalkan desa ini sebelum ladang emas itu berhasil kutemukan," ujar Ki Langgu tegas.
"Tapi tidak mungkin kau bisa menemukannya, Langgu. Sedangkan, kau tidak punya lagi kekuatan. Semua muridmu sudah tewas. Tidak ada lagi yang tersisa," kata Dewa Pedang Emas mengingatkan.
"Aku rasa, ladang emas itu tidak ada, Langgu. Aku tidak melihat tanda-tanda adanya sebuah ladang di desa ini, seperti yang kau katakan," sambung si Kipas Naga.
Ki Langgu memutar tubuhnya, menghadapi tiga orang sahabatnya. Perlahan saku jubahnya yang panjang dirogoh. Dan dari saku jubah itu dikeluarkan sebuah bungkusan kain hitam. Dari bungkusan itu, tampak sebongkah batu berwarna kuning yang memancarkan cahaya kemilau. Bukan hanya Dewa Pedang Emas saja yang terbeliak setengah tidak percaya. Tapi. Dewi Bulan Hitam dan si Kipas Naga jadi terbeliak lebar, melihat bongkahan emas sebesar kepalan tangan di atas telapak tangan Langgu. Mereka jadi tidak berkedip memandangi bongkahan emas yang berkilauan memancarkan cahaya menakjubkan itu.
"Di mana kau temukan itu, Langgu?" tanya Dewa Pedang Emas, yang memang sangat menyukai benda bernama emas itu.
"Aku tidak akan sampai menjarah ke sini, kalau tidak karena benda berharga ini. Kalian tahu, aku menemukannya di Desa Jalakan ini. Dan aku yakin, desa ini memiliki ladang emas yang tidak ternilai," tegas Ki Langgu bersemangat.
"Kau yakin itu, Langgu?" tanya Dewa Pedang Emas semakin berbinar bola matanya.
"Ya, aku yakin!" sahut Ki Langgu mantap.
"Tapi, apa kau sudah menemukan ladangnya?" tanya Dewi Bulan Hitam, langsung tertarik akan bongkahan emas yang diperlihatkan Ki Langgu.
Ki Langgu hanya menggelengkan kepala saja. Kembali disimpannya bongkahan emas itu ke dalam saku jubahnya yang panjang dan berwarna biru. Kembali tubuhnya diputar, memandang keluar melalui jendela yang terbuka lebar. Sementara, Dewa Pedang Emas, Dewi Bulan Hitam, dan si Kipas Naga terus memandangi dengan sinar wajah memancarkan satu harapan setelah melihat bongkahan emas sebesar kepalan tangan itu tadi.
"Sampai saat itu, aku belum berhasil menemukan ladang emas itu. Padahal sudah setiap jengkal daerah Desa Jalakan ini kuperiksa. Tapi aku belum juga bisa menemukan ladang emas itu," kata Ki Langgu agak perlahan nada suaranya. "Tapi aku yakin, pasti berhasil kutemukan...!"
"Kau tidak akan mendapatkannya, Langgu...!"
"Heh...?!"
Ki Langgu jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar suara keras menggema. Bahkan tiga orang tokoh persilatan undangannya pun jadi terlonjak kaget. Seperti ada yang memberi perintah saja, mereka langsung berlompatan keluar melalui jendela juga begitu Ki Langgu cepat melompat keluar melalui jendela itu. Sebentar saja, mereka sudah berada diluar rumah besar yang sudah kelihatan porak-poranda itu.
Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba saja mereka kembali dikejutkan munculnya Ki Jambak Gora dari balik kegelapan malam. Laki-laki tua berjubah putih itu berdiri tegak sekitar dua batang tombak di depan Ki Langgu dan tiga orang tokoh persilatan undangannya. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis cantik berbaju biru muda. Mereka langsung mengenali, kalau gadis itulah yang bersama-sama Pendekar Rajawali Sakti tadi.
Dan memang, gadis cantik berbaju biru itu adalah Pandan Wangi yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Pandan Wangi menempatkan diri, begitu dekat disamping kanan Ki Jambak Gora. Pandangannya lurus tak berkedip, pada Ki Langgu yang selalu didampingi tiga orang tokoh persilatan sahabatnya. Mereka sama-sama menyadari akan tingkat kepandaian masing-masing. Hingga, mereka harus bertindak hati-hati. Kesalahan sedikit saja, bisa berakibat parah bagi diri sendiri.
"Masih ada waktu untuk angkat kaki dari desa ini, Golok Setan," terdengar begitu dingin nada suara Ki Jambak Gora.
"Phuih! Kau tidak bisa menggertak ku, Jambak Gora. Menyesal aku tidak langsung membunuhmu, dan semua penduduk desa ini!" dengus Ki Langgu, sengit.
"Kedatanganmu ke sini hanya sia-sia saja, Langgu. Tidak ada yang bisa kau dapatkan di sini. Sebaiknya segeralah angkat kaki, sebelum menyesal nantinya," tegas Ki Jambak Gora lagi.
"Hm, kita memang satu darah walaupun lain ibu. Tapi, itu tidak membuatku harus mundur dari sini. Kau tahu, desa ini sebenarnya mempunyai ladang emas. Tapi karena kebodohanmu, penduduk desa ini tidak bisa menikmatinya. Jadi, apa salahnya. kalau desa ini kurebut?" kata Ki Langgu, enteng.
"Matamu memang sudah tertutup harta, hingga bertahun-tahun ayah mendidikmu untuk menjadi kesatria pembela kebenaran, ternyata kau sudah menjadi pencipta keangkaramurkaan. Aku malu pada penduduk desa ini, sehingga aku terpaksa mengalah dengan terusir dari sini. Kurelakan desa ini kau kuasai, tapi nyatanya kau tetap mengingkari janji," kata Ki Jambak Gora.
"Dia yang mengganggu kehidupanku!" sergah Ki Langgu.
"Dia tidak akan mengganggu bila kau mau mengembalikan surat wasiat miliknya yang diberikan ayah kita!" sentak Ki Jambak Gora.
"Itu sama saja mengembalikan seluruh tanah desa ini kepadamu, Jambak!"
"Dan itu berarti kita memang harus berperang!"

***

71. Pendekar Rajawali Sakti : Ladang PembantaianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang