BAGIAN 8

514 22 0
                                    

Baru jelas sekarang, mengapa Ki Langgu tidak menginginkan kematian Sutiningsih lebih awal. Hal ini karena, Sutiningsih masih keponakannya juga. Biar bagaimanapun, dia harus bisa menghindari agar Sutiningsih tidak sampai terbunuh. Apalagi untuk mengganggunya.
Tapi kenyataannya menjadi lain. Sebagai pewaris Desa Jalakan, yang merupakan wasiat orang tua Ki Langgu dan Ki Jambak Gora, Sutiningsih memang berhak atas tanah desa itu. Apalagi, Ki Jambak Gora telah memerintah semuanya pada anak perempuan itu. Jadi, betapa menyesalnya Ki Langgu, karena tidak menangkap dan membunuh gadis itu. Tapi semuanya sudah terlambat. Sutiningsih telah tahu semuanya. Maka, kemarahan Ki Langgu makin berkobar saja.
"Setan...! Hiyaaat...!
Ki Langgu benar-benar berang, karena terus-menerus mendapat tekanan dan ancaman kata-kata Ki Jambak Gora. Maka sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan goloknya yang sudah terhunus di tangan kanan. Cepat sekali kebutan goloknya yang mengarah ke kepala. Namun hanya sedikit saja Ki Jambak Gora menarik kepala ke belakang, tebasan golok itu hanya lewat sedikit di depan wajahnya.
"Hiyaaa...!"
Pada saat yang bersamaan, Dewi Bulan Hitam melompat cepat menyerang Pandang Wangi. Sementara, Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga yang baru saja hendak bergerak membantu Ki Langgu menyerang Ki Jambak Gora, jadi terhalang langkahnya. Karena tiba-tiba saja, sebuah bayangan putih berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, didepan mereka sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Tampak gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung, menyembul dari punggungnya.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Dewa Pedang Emas dan Kipas Naga berbarengan.
Belum juga hilang rasa keterkejutan mereka atas munculnya Rangga yang begitu tiba-tiba, kembali mereka dikejutkan suara-suara gegap gempita memasuki Desa Jalakan ini. Teriakan-teriakan yang gegap gempita itu semakin terdengar keras, bagai hendak mengguncangkan bumi Desa Jalakan ini.
Bukan hanya Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga saja yang terkejut. Bahkan Ki Langgu dan Dewi Bulan Hitam hampir terlonjak, begitu mengetahui para penduduk Desa Jalakan yang selama ini menghilang sekarang berdatangan kembali. Mereka dipimpin oleh seorang gadis cantik bertubuh kecil mungil yang mengenakan baju warna putih bersih agak ketat. Gadis itu adalah Sutiningsih, putri Ki Jambak Gora, yang beberapa waktu lalu sempat membuat Ki Langgu jadi kelabakan menghadapinya.
"Bagaimana, Pedang Emas...?" bisik si Kipas Naga
"Aku tidak sudi mati sia-sia di sini," sahut Dewa Pedang Emas juga berbisik.
"Lalu...?"
Dewa Pedang Emas tidak menjawab dengan kata-kata lagi. Dan tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, dia langsung melesat cepat meninggalkan tempat itu. Si Kipas Naga pun tidak sudi mati konyol secara sia-sia begitu saja. Tanpa menghiraukan Ki Langgu dan Dewi Bulan Hitam yang masih bertarung dengan lawan masing-masing, dan langsung melesat pergi.
Sedangkan Rangga yang menghadang mereka, sama sekali tidak berusaha mengejar. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja memandangi kepergian Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga dari Desa Jalakan ini.
"Edan...! Mereka semua pergi...," desis Dewi Bulan Hitam, langsung bisa mengetahui kepergian Dewa Pedang Emas dan si Kipas Naga.
Dewi Bulan Hitam sudah begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan gencar yang dilancarkan Pandan Wangi. Beberapa kali ujung kipas yang berbentuk runcing di tangan Pandan Wangi hampir merobek kulit tubuhnya. Namun sampai saat ini, Dewi Bulan Hitam masih mampu bertahan. Tubuhnya terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.
Sementara di lain tempat, Ki Jambak Gora masih terus bertarung sengit menghadapi Ki Langgu yang dijuluki si Golok Setan itu. Dan tampaknya, Ki Langgu memang tidak mempunyai pilihan lain lagi. Dia harus bertarung mempertahankan diri menghadapi laki-laki tua berjubah putih yang tadinya menjadi Kepala Desa Jalakan ini. Meskipun tahu kalau sangat kecil kemungkinannya untuk bisa selamat dan keluar dari tempat ini, namun semua itu harus di hadapinya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu terdengar teriakan keras menggelegar. Tampak Pandan Wangi melenting ke udara sambil mengebutkan kipas mautnya beberapa kali. Dan cepat sekali, gadis itu meluruk deras sambil mencabut pedangnya yang tersampir di punggung.
Sret!
"Yeaaah.,.!"
Bet!
Secepat kilat pula Pandan Wangi mengebutkan pedangnya ke arah dada Dewi Bulan Hitam, begitu kakinya menjejak tanah. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Dewi Bulan Hitam jadi terperangah dengan kedua mata terbeliak lebar dan mulut ternganga. Namun, begitu ujung pedang berwarna hitam yang tergenggam erat di tangan Pandan Wangi hampir merobek dada, cepat sekali Dewi Bulan Hitam mengebutkan satu tongkat pendeknya di tangan kiri ke depan dada.
"Hait...!"
Trang!
Bunga api langsung memercik begitu dua senjata beradu keras di depan dada Dewi Bulan Hitam. Dan pada saat yang bersamaan, tangan kiri Pandan Wangi bergerak mengibas ke depan, sambil membuka kipas mautnya. Cepat sekali gerakan tangan kiri gadis berbaju biru muda itu, sehingga Dewi Bulan Hitam tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Bret!
"Aaakh...!"
Dewi Bulan Hitam menjerit keras agak tertahan begitu ujung kipas Pandan Wangi merobek perutnya. Darah langsung mengucur keluar deras sekali. Dewi Bulan Hitam terhuyung-huyung sambil mendekap perutnya yang robek mengucurkan darah. Dan pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil berteriak keras. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah leher wanita berbaju serba hitam yang sedang terhuyung-huyung itu.
"Hiaaat...!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat sekali, ketika pedang ditangan kanan Pandan Wangi membabat leher Dewi Bulan Hitam. Dan bersamaan berputarnya tubuh Pandan Wangi ke belakang, tampak Dewi Bulan Hitam jadi limbung. Lalu begitu kaki Pandan Wangi menjejak tanah, Dewi Bulan Hitam langsung ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah seketika itu juga muncrat keluar dari leher yang buntung. Hanya sebentar saja Dewi Bulan Hitam masih mampu berkelojot, sesaat kemudian sudah diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu di tempat lain, pertarungan antara Ki Langgu dan Ki Jambak Gora masih terus berlangsung. Tampak jelas kalau Ki Langgu sudah berhasil mendesak hebat Ki Jambak Gora. Beberapa kali Ki Jambak Gora terpaksa harus membanting tubuhnya, bergulingan di tanah menghindari tebasan-tebasan golok berukuran besar di tangan Ki Langgu.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Bagaikan kilat, Ki Langgu mengebutkan golok yang berukuran besar itu ke arah dada Ki Jambak Gora. Namun dengan sedikit menarik tubuhnya ke belakang, tebasan golok itu berhasil dihindari. Dan pada saat yang bersamaan, tanpa diduga sama sekali Ki Langgu melepaskan satu tendangan keras menggeledek kearah perut Ki Jambak Gora. Begitu cepat tendangannya, sehingga Ki Jambak Gora tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....
Des!
"Ugkh...!"
Ki Jambak Gora langsung terhuyung-huyung ke belakang, dengan tubuh terbungkuk. Pada saat itu juga, Ki Langgu melompat cepat sambil menebaskan golok berukuran besar itu ke arah leher yang sudah tidak terlindung. Tapi sedikit lagi mata golok yang berkilat menyentuh kulit leher Ki Jambak Gora, mendadak saja....
Tring!
"Heh...?!"
Ki Langgu jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba sebuah bayangan putih menepak goloknya dengan keras sekali. Hampir saja golok itu terlepas dari genggamannya, kalau saja tubuhnya tidak cepat-cepat melenting ke belakang. Ki Langgu jadi mendesis geram, begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri melindungi Ki Jambak Gora.
"Setan keparat...! Kubunuh kau, Bocah Edan! Hiyaaat...!"
Kemarahan Ki Langgu memang tidak bisa lagi terbendung. Sedangkan Rangga sendiri sudah muak melihat tingkah laki-laki berjubah biru itu. Dia tetap berdiri tegak menanti datangnya serangan si Golok Setan itu. Dan begitu Ki Langgu mengebutkan goloknya cepat ke arah dada, secepat kilat pula Rangga merapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Hingga....
Tap!
"Ukh...!"
Cepat-cepat Ki Langgu menarik goloknya yang tahu-tahu sudah terjepit di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi pada saat itu pula, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Dan sambil membungkukkan tubuhnya sedikit, tangan kanannya dikebutkan ke arah perut si Golok Setan itu. Begitu cepat sekali gerakan yang dilakukan Rangga, sehingga Ki Langgu yang memang sedang terkejut akibat sentakan pada goloknya tadi, tidak sempat lagi menghindari.
"Hiyaaa...!"
Bret!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar keras dan menyayat. Jari-jari tangan Rangga yang meregang kaku cepat sekali merobek perut Ki Langgu hingga seluruh isi perutnya terburai. Memang sungguh dahsyat jurus 'Cakar Rajawali' yang dikeluarkan Rangga barusan. Ki Langgu jadi terhuyung-huyung sambil mendekap perutnya yang robek cukup besar, sampai ususnya terburai. Darah mengucur deras dari perutnya yang sobek. Sementara itu, Rangga berdiri tegak dengan sorot mata tajam sekali memandangi Ki Langgu yang masih terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi perutnya.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan panjang melengking tinggi. Dan belum lagi teriakan itu menghilang dari pendengaran, tahu-tahu berkelebat sebuah bayangan putih yang begitu cepat melewati atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Bayangan putih itu langsung meluruk deras ke arah Ki Langgu. Begitu cepatnya, sehingga sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Rangga sendiri jadi terkejut, dan tidak sempat lagi bertindak mencegah. Karena....
"Aaa...!"
Ki Langgu sudah menjerit keras melengking, lalu ambruk menggelepar di tanah dengan dada sobek dan leher terkoyak hampir buntung. Darah mengucur deras dari dada, perut, dan lehernya yang terkoyak. Dan tidak jauh dari tubuh Ki Langgu, terlihat Sutiningsih berdiri tegak dengan pedang berlumur darah tergenggam di tangan kanan.
Sementara itu, Ki Langgu hanya sebentar saja menggelepar meregang nyawa, kemudian diam kaku tak bergerak-gerak lagi. Kematian Ki Langgu langsung disambut gegap gempita seluruh penduduk yang sudah memadati tempat ini. Mereka semua memang datang bersama Sutiningsih dan Jaka Umbaran, yang sudah berdiri di samping ayahnya, Ki Jambak Gora. Sementara Sutiningsih menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu, Rangga kini melangkah mendekati Pandan Wangi.
"Ayo kita pergi dari sini, Pandan," ajak Rangga.
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian kakinya terayun, mengikuti langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorang pun yang sempat memperhatikan kepergian kedua pendekar muda itu. Bahkan Ki Jambak Gora dan kedua anaknya juga tidak sempat lagi memperhatikan. Karena terlalu larut dalam kegembiraan, karena berhasil membebaskan Desa Jalakan dari cengkeraman tangan si Golok Setan dan teman-temannya.
Namun di balik itu, Ki Jambak Gora dan kedua anaknya sebenarnya merasa terpukul oleh kematian Ki Langgu. Karena biar seburuk-buruknya Ki Langgu, tetap saja masih ada hubungan darah dengan mereka. Ki Langgu memang adik tiri Ki Jambak Gora, dan berarti paman Sutiningsih dan Jaka Umbaran. Namun biar bagaimanapun juga, keadilan memang harus ditegakkan, tanpa memandang saudara.
Buat Jaka Umbaran dan Sutiningsih, mereka baru tahu kalau sebenarnya Ki Langgu adalah paman mereka juga. Hal itu diceritakan Ki Jambak Gora ketika kembali ke pengasingan setelah mengadakan serangan bersama pemuda-pemuda asuhannya ke rumah Ki Langgu. Setelah hati anak-anaknya mantap, barulah dia dan Pandan Wangi pergi ke rumah Ki Langgu kembali untuk melaksanakan rencananya. Merebut kembali Desa Jalakan.

***

TAMAT

71. Pendekar Rajawali Sakti : Ladang PembantaianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang