Kutatap bayangan di cermin. Aku yang tampak berbeda dari tujuh tahun yang lalu. Berbalut gaun malam selutut berwarna merah marun, memperlihatkan lekuk tubuh yang seksi. Rambut bergelombang sengaja digerai, karena Mas Irwan sangat menyukainya.
Bulu mata lentik sempurna dibantu sedikit sentuhan maskara. Wajah glowing merona berkat sapuan blush on. Kuoleskan sekali lagi pewarna bibir merah menggoda, aku tersenyum. Cantik. Cocok sekali panggilan Mas Irwan untukku itu.
Bunyi bel pintu depan sedikit mengagetkanku. Itu pasti Mas Irwan. Sepertinya, dia sudah tidak sabar ingin bertemu denganku. Kedatangannya tiga puluh menit lebih awal dari yang dijanjikan.
Sebelum menghampirinya, kusemprotkan parfum beraroma elegan dan feminin. Perpaduan vanila, jasmine dan may rose dari sebuah botol bermerek terkenal. Kuhirup sejenak ... wanginya sangat mewah.
Kurapikan sekali lagi semuanya. Setelah yakin sempurna, segera kuraih tas tangan di tepi meja rias. Aku melangkah penuh percaya diri menuju pintu.
Perlahan, kubuka pintu depan. Tampak Mas Irwan berdiri dengan sebuah buket bunga lily putih. "Hai, Cantik ... love you," ucapnya. "Bunga cantik ini, untuk perempuan tercantik." Mas Irwan memberikan buket bunga itu.
Aku menerimanya, mendekatkannya ke hidung. "Indah sekali ... makasih, ya, Sayang," ucapku. Meski sebenarnya aku tidak begitu suka bunga lily.
"Sama-sama, Sayang ...." Tangan Mas Irwan meraih pinggangku dan menariknya. Kami tidak berjarak. Wajahnya tinggal beberapa senti lagi di depan wajahku.
Sejenak aku terpana, Mas Irwan masih tetap seperti yang dulu. Tubuh tinggi atletis. Kulit sawo matang membuat dia tampak lebih menarik di mataku. Hidung mancung, kedua alisnya hampir bertautan dan mata yang selalu menatapku penuh cinta. Sebuah tatapan yang dulu tidak pernah kudapatkan darinya.
Aku mengerjap. "Ayo," ucapku. Berusaha meregangkan pelukannya.
"Ke mana? Katanya kangen." Dia malah semakin mempererat pelukannya.
"Aku lapar, belum makan malam. Masa tega, aku kelaperan," jawabku berusaha memberikan senyum termanis.
Perlahan Mas Irwan melepaskan tangannya. Dia tampak menarik napas dalam-dalam. Raut kecewa terlihat jelas di wajahnya.
Kuletakkan buket bunga di meja. Kemudian meraih tangan Mas Irwan, mengajaknya segera pergi. Dia melangkah dengan enggan. Kuhentikan langkah dan berbalik menghadapnya. Sebelum dia marah, kukecup pipinya dengan cepat.
"Yuk ...," ajakku lagi.
Kami menuju sebuah restoran terkenal. Sepanjang perjalanan Mas Irwan tidak banyak bicara. Aku tahu dia kecewa. Namun, aku sudah bertekad untuk tidak terlalu jauh mengorbankan diri untuk menggoda laki-laki ini. Jangan sampai dia mendapat keuntungan apapun dariku. Aku tidak akan pernah rela.
***
Matahari sepertinya baru menampakkan diri, ketika kudengar ponsel berbunyi. Dengan malas aku meraihnya. Tampak nomor kontak Dita yang memanggil.
Ah, mau apa lagi perempuan itu, rutukku dalam hati.
Namun, segera kugeser tanda telepon berwarna hijau ke sebelah kanan.
"Sin ...." Dita terisak memanggilku.
"Kenapa, Dit?"
"Sin, bisa gak, kita ketemu sekarang? Aku sama Nindi lagi otw ini."
Mendengar nama Nindi disebut, aku bangkit. "Nindi?"
"Iya, aku bawa dia."
"Kalian di mana? Kirim alamatnya. Aku segera ke sana." Cepat-cepat aku bangkit. Setengah berlari, masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)
RomanceSinta, seorang perempuan cantik, glamor dan kaya, rela menjadi perempuan lain dalam kehidupan rumah tangga Dita--sahabatnya. Dia tidak peduli, meski cap pelakor di sematkan di dadanya. Dendamlah yang membuat dia berlaku seperti itu. Apa yang sudah d...