"Assalamu'alaikum," ucapnya.
"Wa ... waalaikumussalam," jawabku sambil menerima pelukan perempuan itu. "Kamu, kok, ga ngasih kabar dulu mau ke sini?"
"Biar apa? Biar kamu ngasih alasan kalau lagi sibuk, iya?" tanyanya sambil nyelonong masuk tanpa kupersilakan.
Aku mengekor, "Bukan begitu, Ran. Tapi ...."
"Tempat yang rapi, tapi ... ini bukan gayamu, Yul." Rania mengedarkan pandangannya. "Kamu, menikmatinya?" Matanya menatapku sekilas. Kemudian dia duduk di sofa.
"Tentu saja. Tujuanku sebentar lagi tercapai." Aku menuju dispenser, menuangkan segelas air putih.
"Bagaimana dengan Nindi?"
"Belum, urusan itu nanti. Kalau mereka sudah hancur. Dengan leluasa aku akan mengambil Nindi." Kusimpan gelas berisi air putih di depan Rania.
"Yakin, rencanamu akan berjalan lancar?"
"Tentu saja. Semuanya sudah kuatur dengan baik."
Rania tersenyum sinis, tangannya meraih gelas dan meminum isinya hingga setengah. "Kamu, sama dengan mereka," ucapnya kemudian.
"Maksudnya?"
"Kamu dengan mereka itu sama, sama-sama ga punya hati."
"Aku tidak peduli apapun yang kamu katakan. Yang penting, rasa sakit di hatiku terbalaskan. Mereka, harus merasakan sakit, lebih sakit dari yang pernah kurasa." Kutekan setiap kata yang terucap. Dadaku bergejolak, panas.
Rania menarik napas dalam-dalam, dia menyerah. Ya, sudah berulang kali sahabatku itu berceramah tentang tidak baik menyimpan dendam. Dia, bisa saja bilang begitu, karena tidak mengalaminya langsung. Meski dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan hancurnya aku waktu itu.
Aku dan Rania bersahabat sejak lama. Sebelum peristiwa itu menimpa dan melemparkanku ke kubangan dendam yang pekat. Dia setia mendampingiku, memberi semangat hingga aku urung untuk bunuh diri.
Rania juga yang mengajakku pergi ke kota lain ketika dia mendapat tawaran kerja di sana. Satu tahun pertama, dia telaten sekali merawatku yang hampir gila.
Teringat masa-masa itu, luka yang masih menganga terasa dikucuri cuka lagi. Aku yang masih belia, harus menanggung beban yang begitu berat. Tidak mengerti harus berbuat apa. Hanya menangis dan meratapi nasib.
Dipaksa berpisah dari anak yang baru saja dilahirkan beberapa hari. Duniaku menghilang, aku terdampar di sudut ruangan yang gelap dan sunyi.
Sakit di tubuh bekas operasi secar dan dada yang menggumpal karena asi tidak tersalurkan, hingga tubuhku terasa panas dingin. Itu tidak seberapa, dibanding luka di hati yang tidak akan pernah bisa diobati.
Tahun ke dua, aku mulai bangkit. Ketelatenan Rania yang mengobati luka fisik dan membangkitkan semangatku membuahkan hasil. Setitik cahaya terang kulihat di depan. Aku mulai berusaha untuk meraihnya.
Hanya saja, Rania tidak mengetahui. Apa motif sebenarnya atas kebangkitanku dari keterpurukan. Dia terus membantuku untuk memperbaiki diri.
Berbekal sedikit harta peninggalan orang tua di kampung yang kemudian kujual. Aku membuka sebuah toko kue. Hobi dan bakatku di bidang itu terus kugali. Dengan mengikuti berbagai kursus dan mempraktekkannya di toko.
Aku bukan pebisnis, sekolah saja hanya tamatan SMK di kampung. Namun, lagi-lagi berkat bantuan Rania, usahaku berjalan lancar. Brand toko kueku, terkenal di seluruh kota dengan sangat cepat. Bronis singkong pelangi Yulisa.
Ya, Yulisa adalah nama asliku dan singkong adalah temanku sejak di desa. Ibu yang mengajariku membuat panganan kecil dari singkong. Karena hanya itu yang kami punya dari sepetak kebun peninggalan bapak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)
RomansaSinta, seorang perempuan cantik, glamor dan kaya, rela menjadi perempuan lain dalam kehidupan rumah tangga Dita--sahabatnya. Dia tidak peduli, meski cap pelakor di sematkan di dadanya. Dendamlah yang membuat dia berlaku seperti itu. Apa yang sudah d...