Ditemani secangkir coklat hangat, aku duduk di meja makan sambil sesekali melihat layar ponsel. Aku bisa bernapas lega, karena semalam Mas Irwan menelepon dan itu kesempatan untuk menyuruhnya berhati-hati. Dia mengiyakan meski sempat menanggapi tak acuh tentang kekhawatiranku. Karena menurutnya, tidak masalah jika Dita tahu semua tentangku.
"Yul, aku mau ke makam mama papa. Ikut, yuk!" Rania duduk di depan, dia sudah rapi.
"Kapan?"
"Sekarang."
"Tapi, siang ini aku ada janji."
"Sama Irwan?"
Aku hanya mengangguk. Malas sekali meladeninya. Pasti sebentar lagi dia akan ceramah.
"Jujur, deh, sama diri kamu sendiri. Apakah ini yang kamu mau?" tanyanya, dengan tatapan tajam menebus jantung.
"Tentu saja, dan aku happy," jawabku sambil tertawa.
"Kamu bohong. Tawamu palsu," ucap Rania sinis.
"Tahu apa kamu tentang hatiku? Memahami rasa sakitku saja kamu ga bisa." Aku memalingkan muka.
"Coba lihat, pakaianmu, gaya bicara bahkan tempat tinggal. Ini semua tidak mencerminkan dirimu." Rania mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Warna-warna di sini bahkan didominasi warna yang bukan kesukaanmu. Biru, orange dan warna-warna pelangi itu. Kamu tidak menyukainya."
Tanpa sadar, aku pun mengedarkan pandangan. Melirik ke ruang tamu, salah satu sisi dinding dicat garis-garis warna pelangi. Sofa berwarna ungu tua dengan bantal ungu cerah, merah, dan pink di atasnya.
Ruang makan pun, meja persegi putih tulang dengan list berwarna orange, kursi warna serupa. Beberapa hiasan berwarna cerah menghiasi dinding yang kosong. Ya, ini memang bukan gayaku.
Bahkan, di kamar. Di tempatku melepas lelah, yang seharusnya bisa membuat nyaman. Aku sengaja memilihkan cat berwarna biru. Lemari dan meja rias dengan ukiran berwarna emas. Pembaringan pun, warna-warna cerah melapisi kasur, bantal dan guling.
"Ini bukan kamu banget. Tidakkah merasa tersiksa dengan kepura-puraan ini?" tanya Rania kembali. Tangan kanannya memegang cangkir berisi teh. Dia tidak menyukai minuman coklat.
"Aku yang sekarang, berbeda yang dulu. Jadi, aku nyaman-nyaman saja," jawabku berusaha tak acuh.
"Benarkah? Kita lihat saja. Sampai kapan kamu akan bertahan." Lagi-lagi, bibir Rania menyunggingkan sebuah senyuman. Sinis. Ah, dia hanya merusak mood-ku saja.
Aku bangkit, meninggalkan coklat hangatku yang masih setengah.
"Ternyata, masih ada satu kebiasaanmu yang tertinggal. Minuman coklat, untuk menyambut hari," ucap Rania dengan suara keras.
Aku tidak menanggapinya, tetapi berlalu ke kamar untuk mandi. Setelah selesai, aku segera merapikan diri.
Terusan berwarna biru selutut, dengan lipatan di dada membentuk garis diagonal ke bahu kanan. Rambut, seperti biasa, kubiarkan tergerai. Riasan wajah, sengaja kupilihkan yang alami. Aku malas jika harus mendengar komentar Rania lagi.
Kuhampiri Rania yang sudah menunggu di teras. Dia tampak sangat gelisah.
"Lama amat, sih!" sungutnya. Matanya kemudian menelisik penampilanku. Dia menggeleng dan berdecak. "Jilbabmu, mana?"
"Ran, plis, deh. Jangan bahas itu sekarang, oke? Jangan rusak lebih dalam moodku." Aku berjalan memasuki mobil.
"Astagfirullah, Yul. Aku pikir, tidak sampai sejauh ini." Rania mengikutiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)
RomanceSinta, seorang perempuan cantik, glamor dan kaya, rela menjadi perempuan lain dalam kehidupan rumah tangga Dita--sahabatnya. Dia tidak peduli, meski cap pelakor di sematkan di dadanya. Dendamlah yang membuat dia berlaku seperti itu. Apa yang sudah d...