Bagian 8 (Qodo Allah)

431 21 1
                                    

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Begitu membuka mata, yang terlihat hanya warna putih di ruangan itu. Aku berusaha bangkit, tetapi badan rasanya tidak bersendi.

"Kamu, jangan banyak gerak dulu. Lukamu berdarah lagi," ucap Rania. Dia muncul dari balik pintu.

"Saya harus jemput bayi saya ...," ucapku lirih.

"Iya, tapi nanti. Bagaimana bisa mengurusi bayi kalau kamunya juga kaya gini."

Aku menyerah, Rania benar. Aku harus sembuh dulu supaya bisa merebut bayi yang belum sempat kuberi nama itu.

Hampir satu minggu, terpaksa aku di rumah sakit. Hingga hari itu, diizinkan untuk pulang, aku langsung menuju rumah Mas Irwan. Rania tidak ada, dia sedang sibuk dengan urusannya.

Rumah itu tampak sepi, perlahan kumasuki halamannya. Sebelum sempat sampai di depan pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan yang tidak asing berdiri sambil menggendong bayi.

"Teh, itu bayi saya. Balikin." Aku berusaha meraihnya.

Dia menatapku sinis. "Siapa kamu?"

"Saya ibunya bayi itu. Teteh boleh ambil Mas Irwan dan segalanya. Asal jangan bayi itu."

Dita--perempuan itu--tiba-tiba berbalik masuk rumah dan menutup pintu cepat.

"Teh! Teh Dita! Kembalikan bayi saya, kasihan dia. Dia butuh asi, Teh .... Saya mohon ...." Aku terduduk di depan pintu dan menggedornya pelan. "Teh, saya mohon ...." Aku terus memohon sambil berurai air mata. Namun, Dita tidak kunjung muncul apalagi memberikan bayiku.

Hingga beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Aku berdiri, mengusap wajah yang basah oleh air mata. Ada harapan yang tiba-tiba muncul, tetapi sesaat kemudian hancur kembali.

Bukan Dita yang datang, melainkan bibi dengan tas besar di tangannya. "Neng, maafkan bibi. Bibi hanya disuruh. Ini barang-barang Neng udah bibi beresin."

"Bi ... bayi saya, Bi ...." Bulir bening kembali berkejaran di pipi. Aku terisak dan terduduk.

"Maafkan bibi, ga bisa bantu banyak. Tapi, Neng ga usah khawatir, bibi akan bantu jaga dia." Bibi berjongkok di depanku.

Aku tidak menjawab, terus saja menangis meratapi nasib diri.

"Neng, sabar. Insya Allah, ada kebahagiaan di tempat lain untuk Neng." Bibi mengusap kepalaku. Dari suaranya, sepertinya ikut merasakan kesedihanku.

"Iya, Bi. Tapi, saya hanya ingin bayi itu ...."

"Yul ...!" Seseorang memanggilku. Aku tahu itu Rania.

"Kamu, kenapa pulang sendiri? Aku nyariin ke mana-mana." Dia membantuku berdiri.

"Bayinya, Teh Rania ...." Aku masih terus terisak.

Rania melirik bibi. Kemudian mereka berbicara, entah apa. Tidak lama, Rania mengajakku untuk meninggalkan tempat itu. Aku menolak, tetapi Rania terus memaksa.

Harapan untuk bisa merebut bayiku semakin tipis. Menurut Rania, Mas Irwan dan Dita sudah menikah, dan bayiku yang menurut bibi diberi nama Nindi berada di bawah asuhan mereka.

Dasar mereka tidak punya hati. Baru beberapa hari Papa Gus meninggal, dan baru beberapa hari aku melahirkan dan dicerai oleh Mas irwan. Namun, mereka sudah bisa berbahagia. Meski tahu ada aku yang terluka karena ulah mereka.

Rania baru saja lulus kuliah dan langsung mendapat pekerjaan di kota Semarang, kota tempatnya berasal. Dia mengajakku untuk turut serta. Awalnya, aku berniat pulang ke Garut. Meski hanya gubuk, tetapi aku punya tempat tinggal di sana.

Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang