***
Aku terduduk di sisi tempat tidur. Ada yang menelusup ke dasar hati, perih. Bukan seperti ini mauku. Perlahan aku beringsut ke kamar mandi, mengguyur seluruh tubuh yang terasa tak lagi berharga ini. Astagfirullah .... Bibir tak henti mengucap istigfar jika yang kurasa ini adalah salah.
Ya, ini memang kewajiban seorang istri, tetapi apakah dia pun melakukannya atas dasar kewajiban? Tidak! Aku yakin, tidak!
Sepanjang malam aku tersungkur di atas sajadah. Mengadukan segala perih yang ada di hati. Aku, hanya ingin bahagia. Dengan atau tanpa Mas Irwan, aku tidak peduli.
"Heh! Heh!" Seseorang terasa mencolek punggung. Aku tertidur di atas sajadah. Kubuka mata perlahan, dan melirik ke belakang. Tampak Mas Irwan berdiri dan menatapku tajam. Jempol kakinya mencolek punggungku sekali lagi. "Kamu jangan ge er. Yang terjadi semalem, itu bukan mauku. Itu kecelakaan, karena aku mabuk!" ucapnya, kemudian berlalu ke kamar mandi.
Aku tidak menjawabnya. Kubuka mukena dan melipatnya. Kemudian beranjak ke dapur untuk membantu bibi menyiapkan sarapan.
"Neng, kalau bosan, pergi saja ke luar. Papa lihat kamu hanya di rumah saja. Mungkin jenuh. Pergi ke mall, beli baju atau ke salon. Mama almarhumah juga, dulu begitu," ucap Papa Gus saat aku menata piring di meja makan.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Ke mall? Ke salon? Aku tidak berani. Waktu itu saja, sampai nyasar. Dalam hati, sih, sebenarnya ingin mencobanya, seperti apa rasanya. Selama ini, kalau membeli baju cukup di pasar saja.
Waktu nikah, meski hanya nikah sederhana, karena Mas Irwan yang mau. Ada beberapa barang hantaran yang mewah. Belum pernah aku pakai, seperti baju, sepatu dan tas. Rasanya, tidak cocok kupakai. Terlihat kontras.
Aku berdiri di depan cermin. Menatap pantulanku di sana. Jelas saja Mas Irwan tidak pernah mau meski hanya sekedar melirikku saja. Dibanding gadis di mall itu, aku dan dia bagaikan tanah dan langit.
Tubuhku tidak tinggi, hanya sekitar 150 cm. Dengan berat badan hampir enam puluh kilo, tentu saja tubuhku terlihat bulat. Pipi tembem, menghimpit hidung yang sebenarnya tidak terlalu pesek. Bibir kering, karena tidak pernah merasakan lipgloss atau lipstik. Aku tidak biasa memakainya, bibir akan terasa kaku. Kulit wajah kusam, tidak jarang terlihat mengkilap karena kelebihan minyak.
Baju, rok panjang dan kerudung selalu menutup tubuh dan kepala. Namun, tidak lantas menjadikan penampilanku lebih baik. Aku tetap terlihat kampungan dan kucel.
"Hayu, aku antar," tawar Rania. "Kamu juga harus diet, biar langsing. Siapa tahu suamimu jadi berubah," lanjutnya.
"Iyakah?" Aku mengernyitkan dahi. Harus membatasi makanan yang masuk ke mulut, rasanya akan sangat sulit. Karena ngemil adalah hobiku. Apalagi kalau sedang setres atau sedih jika teringat nasib diri. Maka, cemilan adalah teman setiaku.
"Nanti aku cari cara diet yang aman buatmu." Rania menenangkan.
Benar saja, Rania membantuku ke salon dan menjalankan diet. Meski diam-diam aku sering melanggarnya. Perubahan sudah terlihat meski sedikit, wajahku tidak beminyak lagi dan terasa lebih lembut dan kenyal. Namun, belum bisa membuat Mas Irwan melirikku.
Hingga suatu hari, aku jatuh sakit. Mungkin kerana diet itu. Tubuhku terasa lemas sekali. Tidak ada makanan yang bisa kutelan, semuanya keluar lagi bersama kucuran keringat di sekujur tubuh.
Betapa terkejutnya aku, ketika diperiksa oleh dokter, ternyata hasilnya positif hamil. Sejenak aku hanya terdiam, ada rasa senang tetapi juga khawatir. Entah reaksi apa yang harus diperlihatkan di hadapan Mas Irwan. Karena dia, pasti akan marah saat mengetahuinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/213018680-288-k81095.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)
RomansaSinta, seorang perempuan cantik, glamor dan kaya, rela menjadi perempuan lain dalam kehidupan rumah tangga Dita--sahabatnya. Dia tidak peduli, meski cap pelakor di sematkan di dadanya. Dendamlah yang membuat dia berlaku seperti itu. Apa yang sudah d...