Bagian 6 ( Bukan Aku Yang Diinginkannya)

427 18 0
                                    

Hampir delapan jam di perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Beberapa kali beristirahat, karena Rania tidak mengijinkanku untuk bergantian menyetir dengannya.

Matahari masih terasa terik, tetapi, ketika memasuki halaman sebuah rumah hawa sejuk langsung terasa. Jelas saja, halaman luas itu dipenuhi berbagai macam pohon buah-buahan yang rindang seperti pohon mangga dan jambu air. Belum lagi, di sisi teras terdapat taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni.

Sebuah rumah model zaman dulu, berdiri kokoh meski sudah dimakan usia. Semuanya masih terrawat dengan baik. Sehingga bisa membuat nyaman siapa saja yang mengunjunginya.

Perlahan, kubuka pintu mobil. Menyusul Rania yang mengambil koper-koper di bagasi.

Sebelum melangkah masuk rumah itu, kutarik napas dalam-dalam sehingga sejuk memenuhi paru-paru. Segar sekali, rasa nyaman langsung terasa. Masih sama seperti enam tahun yang lalu.

"Anggap ini rumah sendiri, tempat pulang selain kampung halamanmu," ucap Rania waktu itu.

Rania memang orang yang sangat baik. Meski tidak ada ikatan darah di antara kami, tetapi adalah sepasang sahabat atau bahkan saudara. Usia Rania dua tahun di atasku. Sehingga dia lebih bisa berpikir dewasa.

Rania seorang gadis kota, cantik, berpendidikan, dan baik hati, tetapi mau berteman denganku. Gadis desa, gendut, kucel dan kampungan.

"Ayo! Jangan melamun." Rania menyenggol lenganku.

Aku pun segera mengikutinya dari belakang.

Di rumah ini, aku mempunyai kamar sendiri. Ah, rasanya sudah tidak bisa kutahan, ingin segera merebahkan diri di sana. Rasa letih di jiwa dan raga sudah tidak tertahankan.

"Hari ini, kita istirahat. Besok, baru ke tokomu. Aku pun ada urusan dan kamu harus nemenin," ucap Rania.

Aku hanyaengangguk. Segera berlalu ke kamar yang selalu rapi dan wangi. Karena ada mbok yang menjaganya.

Aku duduk di tepi tempat tidur, melirik foto bapak dan ibu yang tengah menggendong seorang gadis kecil, dia adalah aku. Kuraih dan memeluknya erat. Rindu sekali kepada mereka. Tidak terasa, setitik bulir bening terjatuh di pipi.

Kulirik juga foto seorang gadis agak gemuk, berjilbab dan bermuka bulat. Tidak akan ada yang menyangka, jika itu adalah aku. Jangankan orang lain, bahkan diriku sendiri terkadang tidak percaya kalau aku bisa berubah sedrastis ini.

Kutarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Lagi-lagi, ini semua berkat Rania. Meski ucapannya sering setajam belati, tetapi aku tahu, dia sangat menyayangiku seperti saudaranya sendiri. Sama, seperti yang kurasa untuknya.

Aku bersyukur sekali dipertemukan dengannya. Malam itu, tujuh tahun yang lalu di kota Bandung. Kususuri jalanan kota yang mulai sepi. Aku benar-benar kebingungan.  Air mata membanjiri wajahku yang kusam.

"Teh, mau ke mana?" tanya seorang gadis tiba-tiba.

Aku menghentikan langkah, meliriknya yang tengah menatapku iba. "Mau pulang, tapi ga tahu arahnya ke mana," ucapku dengan suara bergetar.

"Alamatnya, tahu?"

Sejenak aku terdiam, mengingat-ingat  nama perumahan tempatku tinggal. Beruntung, aku mengingatnya dan Rania mengetahuinya. Akhirnya, dia mengantarku pulang.

"Kenapa bisa tersesat?" tanyanya sambil mengendarai sepeda motor.

"Aku ... aku ...."

"Ya sudah, ga apa-apa kalau kamu ga mau bilang," ucapnya.

Sebenarnya aku masih kaget dan takut. Sendirian malam-malam di kota yang asing. Itu semua kerjaan Mas Irwan. Dia meninggalkanku sendirian di mall demi seorang gadis.

Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang