Tubuhku masih terasa lemas, tetapi hari ini harus ke toko yang tiga bulan lebih tidak pernah ditengok. Setelah itu, harus menemani Rania juga. Aku sudah mengiyakan.
Kunikmati secangkir coklat hangat di meja makan. Tiba-tiba Rania menepuk bahuku. "Yul, berdiri!" perintahnya.
Aku melirik. "Kenapa?"
"Berdiri saja."
Meski tidak mengerti, perlahan aku pun berdiri.
Rania menatapku dari ujung kaki ke kepala. "Ini, baru Yulisa," ucapnya.
"Kenapa emang?" Kulihat rok panjang dan sweater yang dipakai, kuraba juga pashmina yang kusematkan dengan peniti kecil di dagu, satu ujungnya dibiarkan menutupi dada, sedangkan ujung satunya kuputar ke belakang.
"Aurat perempuan itu seluruh tubuh, kecuali muka dan ini." Rania menggenggam pergelangan tangannya. "Wajib, lho itu."
"Iya." Aku kembali duduk. Rania pasti bakal ceramah lagi.
"Kamu itu udah tua, tapi, kelakuan kaya anak kecil saja. Udah tahu wajib, tapi masih lalai."
"Yang kemarin itu sementara."
"Kamu yakin, masih ada kesempatan? Bagaimana kalau umurmu ga sampai?"
"Kok, malah ke situ? Udah, ah, ayok berangkat!" Aku bangkit, meninggalkannya yang terlihat menarik napas dalam-dalam.
***
Keadaan toko baik-baik saja, semuanya berjalan lancar. Pukul satu siang, setelah melaksanakan shalat dzuhur, kami--aku dan Rania pergi ke butik. Rania mau fitting baju pengantin. Di sana sudah ada calon suaminya menunggu.
Calon suami Rania terlihat ganteng. Dia tidak banyak bicara, hanya mengatakan yang penting-penting saja. Sangat cocok dengan Rania yang lumayan cerewet. Tadi pun, dia hanya mengobrol dengan seorang laki-laki yang datang bersamanya. Entah siapa. Karena kami hanya berkenalan seperlunya saja.
Acara fitting baju sudah selesai, kami pun berniat untuk pulang.
"Ini pertemuan kami ke tiga, dan setiap bertemu harus ada makhram yang menemaniku. Kemarin, aku ajak mbok," ucap Rania sambil terkikik dan membuka pintu mobil. Mereka tidak menjalani pacaran, melainkan taaruf.
"Aku minta maaf, Ran," ucapku.
"Buat?"
"Ketidakhadiranku saat kamu butuh teman." Aku menunduk, dalam hati sangat menyesali keegoisan diri sendiri. Rania selalu ada untukku, tetapi aku tidak.
"Sudah, sekarang, kan, ada."
Kutarik napas perlahan. Dalam hati berjanji untuk terus mendampingi Rania hingga memasuki gerbang pernikahannya nanti.
Di usainya yang hampir berkepala tiga, dia baru memutuskan untuk menikah. Menurutnya, jodoh itu akan datang jika sudah tiba saatnya yang tepat. Seperti maut dan rezeki, jodoh adalah rahasia Allah SWT.
Sekitar dua bulan yang lalu Rania bercerita tentang Mas Rido di telepon. Aku sendiri, baru tadi bertemu dengannya.
Rania memang terlihat semakin agamis. Bahkan, sekarang dia selalu memakai baju yang serba panjang dan longgar.
"Yul, gimana tadi, yang bareng Mas Rido?"
"Gimana apanya?"
"Ganteng, ga?"
Aku terdiam, mengingat-ingat seseorang yang bersama Mas Rido.
"Dia jomblo, lho ...." Rania melirik sebentar, kemudian fokus ke jalanan kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)
RomanceSinta, seorang perempuan cantik, glamor dan kaya, rela menjadi perempuan lain dalam kehidupan rumah tangga Dita--sahabatnya. Dia tidak peduli, meski cap pelakor di sematkan di dadanya. Dendamlah yang membuat dia berlaku seperti itu. Apa yang sudah d...