BAB XXIX BAGIAN B : Tragedi Alergi

5.8K 604 65
                                    


Aku menyandarkan kepalaku ke tembok sambil menghela nafas. Kemudian aku melirik pria yang kini sedang terbaring dan tertidur disofa, mungkin karena efek obat yang memang membuat kantuk.

Ku gigit bibir bawahku. Rasa sesak kembali menjalar setiap ku ingat perasaan yang kurasakan padanya muncul. Sekuat tenaga untuk melangkah maju, bayang-bayangnya memang selalu ada. Tapi, aku sendiri tak mau rasa luka itu kualami kembali.

6 bulan memang bukanlah waktu yang cukup untuk bisa melupakannya, hanya saja perlahan aku sudah mulai berdamai dengan keadaan. Membuat hatiku yang sangat terluka karena merasa tertipu selama bertahun-tahun oleh pria yang mungkin sampai detik ini masih kucintai. Itu tidak mudah. Yah. Melupakan dan menghapus perasaan ini begitu saja tidaklah mudah, walau terkadang usahaku seperti jalan ditempat, tapi aku tetap berusaha agar ia menghilang dari sana. Menghilang dari tahta tertinggi sebagai pria yang kucintai.

Selama 6 bulan ini, aku termenung. Memikirkan cinta tahu diriku yang berujung usahaku untuk mengikhlaskan. Kamarin, kami sama-sama hidup dalam penyesalan. Kami sama-sama hidup dalam sebuah kesalahan. Memang tak bisa langsung terlupakan, tapi aku yakin aku bisa mengikhlaskan.

Beribu berita, berjuta kejadian yang selalu saja menghambat usahaku untuk move on dan move up dari mas Tara membuatku pada akhirnya membentengi diri. Aku masih dalam tahap pemulihan, dimana hati dan fikiranku sedang ku netralkan.

Pria itu memang menyebalkan.

Ternyata berpisah dengan mas Tara masih membuatku se babak belur ini.

Ku kira perpisahan kemarin adalah sebuah punutupan dari segalanya. Kami memang sudah tidak ada masalah, karena kufikir perceraian adalah jalan kami untuk menyelesaikan kesalahan. Aku tidak tau ternyata sama saja. Oh tidak, mungkin hanya untukku yang sama saja. Mas Tara cukup baik menjalni hidupnya pasca perceraian tersebut.

Yah. Kami sudah hidup sendiri-sendiri dan mencoba untuk menata hati kembali. Seperti mas Tara yang mungkin sudah menemui pendamping. Dalam hal ini, aku yang bodoh. Masih terjebak dalam perasaan dungu padahal semua permasalahan sudah terselesaikan.

Ingin rasa melupakan, tapi masalah hati tak bisa kubohongi. Hanya akal dan logika yang menjadi tameng. Tapi, jika sudah begini, aku yang tertati tati, berusaha bersikap hati-hati agar aku tak jatuh hati kembali.

***
"Cet tembok dapur ini sudah pudar. Sebaiknya ganti biar kegiatan memasakmu menyenangkan."

Aku menoleh ke belakang saat suara itu memecah keheningan yang sejak tadi kunikmati sendiri. Mas Tara mendekat dan aku kembali menyibukan diri tanpa ada niatan untuk membalas pernyataannya.

"Mas tahu, mungkin kamu tidak suka Mas berada disini. Tapi, terasa bukan kamu jika bertindak tidak ramah." Ucapnya lagi.

"Aku tak punya waktu untuk mengganti warna cetnya. Selagi belum terkepulas, kurasa itu tidak menghilangkan selera memasakku."Memang, tidak dewasa jika basa basi mas Tara tidak ku indahkan. Hanya saja, inilah caraku untuk mentamengi diri.

Satu ruangan dengannya didalam rumah yang penuh kenangan ini saja sudah membuatku sesak. Jadi, aku harus ekstra hati-hati untuk menjaga hatiku sendiri.

Mas Tara mengangguk, kemudian ia melihat ke sekeliling rumah.

"Aku mau kembali ke restoran. Jam makan siang, restoran pasti ramai. Mas makan saja dulu jika memang masih terasa lemas."

"Kamu tidak makan dulu?"

Aku menggeleng, dan menyendokan sup kedalam mangkok. Bagaimanapun, mas Tara sedang kondisi tak Fit. Walau ingin rasanya aku segera pergi, aku juga tidak bisa begitu saja meninggalkan mas Tara. Tadi saja, dia tidak jadi makan apapun dan ia tertidur sampai siang. Perutnya masih kosong, dia juga punya mag, bisa kumat kembali jika dia telat makan. Ah Sial! aku masih perhatian dengannya.

ANKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang