Apakah semua realita memang menyakitkan?
Duniaku terseret-seret wajahmu. Perasaanku tumbuh subur melewati waktu. Tanpa pengaman, tanpa arahan, rasa ini terus berkeliaran bagai semak belukar yang tumbuh liar.
Dan semua terus berjalan dengan satu arah. Hanya aku, hanya diriku yang terus mendamba hadirmu. Mengirim pesan pada awan adalah caraku agar kau bisa tahu perasaanku. Namun aku lelah terus memendam, aku lelah menjadi lemah.
Aku terus terjebak dengan harapan yang penuh fiksi. Aku mainkan peranku sebagai tokoh utama dihadapanmu, namun ternyata aku hanya dipandang sebagai figuran dimatamu.
Hatimu terlalu keras untuk aku tembus, atau memang aku yang terlalu lemah.
Harapan fiksi ini harus segera disudahi, harus segera menemukan kepastian. Jika aku terus memberi rasa dalam diam, kepastian tidak akan datang.
Aku tahu, kau tidak akan tiba-tiba datang membawa kabar gembira bahwa kau juga memiliki rasa yang sama, maka harus aku yang memulai.
Meski kemungkinan untuk kau menghilang dari duniaku juga sangat besar jika rasa ini terungkap. Tapi setidaknya aku bisa berhenti berharap.
Aku tidak butuh jawaban "iya" dari mulutmu, aku hanya butuh kepastian itu, kepastian yang terlontar dari mulutmu. Sehingga aku bisa tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya, berhenti atau berdiam diri disini.
Aku turunkan semua egoku, aku tundukkan diriku dihadapanmu. Aku bertekad akan berubah menjadi kuat, kau harus tau rasa ini, semua yang aku simpan rapat dalam-dalam, aku harap kau mengerti.
Setidaknya aku bisa berhenti berharap setelah mendengar jawabanmu. Atau bahkan jika kau tidak menjawab sekalipun, aku bisa melihat bahasa tubuh milikmu, hingga aku mengerti bagaimana diri ini seharusnya.
Ada rasa yang terungkap, ada tubuh yang harus berhenti berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Diriku
Non-FictionUntuk yang sedang berdamai. Yang sedang mencari. Yang sedang patah. Yang sedang tumbuh. dan untuk diriku.