Aku menuruni tangga dengan semangat. Dengan tatapan riang aku membuka gorden ungu dijendela. Ini pagi yang cerah. Langit biru ditaburi awan seperti kapas lembut berkeliaran. Dari dapur Bi Ijah kalang kabut menyiapkan sarapan, ada semur, rendang, sop daging panas, dan berbagai menu lezat lainnya.
"Aduh Bi, jangan masak banyak-banyak. Yang mau makan siapa?" aku duduk dimeja makan, mataku berkeliaran menatap menu-menu pagi ini.
"Gak apa-apa. Toh, hari ini hari spesial. Nanti kalau Nak Ken udah disana gak bisa makan masakan Bibi lagi loh," Bi Ijah tertawa lembut. Bagiku ia adalah sosok ibu yang sesungguhnya.
"Aku kan cuma pergi sebentar Bi,"
"Menetap disana juga gak apa-apa,"
"Gak mau. Aku mau disini aja sama Bibi," aku mulai mengambil piring dan makan.
Ya, hari ini aku akan pergi ke London. Bertemu orang tuaku. Itupun setelah Bi Ijah yang memaksa. Setelah tragedi lima tahun lalu, Bi Ijah membuka keberadaan orang tuaku dan sebab mereka ada disana. Bagiku itu bukan hal penting untuk diceritakan. Tapi yang jelas aku menolak tawaran mereka untuk tinggal disana. Aku lebih memilih tetap tinggal dirumah ini bersama Bi Ijah. Selain karena Bi Ijah yang sudah ku anggap ibu sendiri, rumah ini memiliki banyak kenangan berharga milikku seorang, dan Cinta.
"Bi, bunga yang ku pesan sudah datang?"
"Sudah Nak, ada diteras. Mau berangkat sekarang?"
"Iya Bi, sekalian mampir"
Bibi membantuku mengemasi barang. Mobil sedan klasik milik Ayah terparkir siap diteras. Aku memasukkan koper kedalam bagasi mobil, tak lupa juga bingkisan bunga warna-warni untuk kekasihku.
"Hati-hati dijalan ya. Jangan buru-buru pulang kalau masih kangen sama Ayah Ibu," Bi Ijah mengusap kantung matanya yang basah.
"Iya Bi, aku gak lama. Kalau terlalu lama malah nanti aku kangennya ke Bibi,"
"Ah, kamu ini. O ya, salam untuk Cinta ya"
"Iya Bi, pasti aku sampaikan" aku pun masuk kedalam mobil. Supir pribadi Ayah menanyakan tujuan pertamaku, mengangguk, lalu menjalankan mobil.
Tak sampai sepuluh menit, aku sampai dirumah Cinta. Melewati gapura tinggi, hamparan rumput hijau dan bunga-bunga harum bermekaran. Aku melihat Cinta disana.
"Hai Cinta, sesuai ceritaku minggu lalu, hari ini aku berangkat ke London. Dulu kamu paling benci denger aku setiap pergi jauh, katamu dulu kamu khawatir takut gak ada yang bantuin aku berdiri kalau jatuh," hening. Aku diam sejenak. Mengusap air mataku. Sejak dulu sampai sekarang, aku memang lelaki cengeng.
"Oh, ini aku bawakan kamu bunga warna-warni. Beda dari yang lain karena ini momen spesial. Kamu tahu Cinta, Bi Ijah marah-marah memesan bunga ini dan dua kali tertukar pesanannya," aku mencoba tersenyum.
"Selamat ulang tahun Cinta, sayang" aku berjongkok terisak sembari meletakkan karangan bunga warna-warni itu di depan pusaranya. Di batu nisan terukir terang nama Cinta Amalia, sahabat kecilku. Ia terbaring disana sejak lima tahun lalu. Menggantikanku berteman sepi dan gelap. Ia meninggalkanku lebih dulu sejak lima tahun yang lalu, karena kecelakaan itu, juga karena salahku.
Apa yang terjadi kala itu? Aku benar-benar menyesali segalanya. Kegelapan hati yang menyelimuti membuatku kehilangan sosok Cinta, sosok berwarna dalam hidupku.
Ketika aku berlari bak orang bodoh waktu itu, aku melupakan Cinta yang berteriak mengejarku. Bahkan sampai saat itupun, sesungguhnya kami benar-benar tetap sahabat yang begitu dekat. Kebodohanku menular padanya. Tanpa pikir panjang dengan alasan mengkhawatirkan diriku yang dungu ini, Cinta menyusulku berlari menyeberang jalan. Tak dihiraukannya kendaraan, bukankah itu juga kebodohan? Hingga takdir menentukan segalanya. Cinta tertabrak mobil dengan kencangnya, menimbulkan teriakan histeris para saksi mata atas tragedi itu.