Seminggu berlalu. Setelah insiden telepon itu Cinta tidak ada kabar sama sekali. Aku juga tidak berani meneleponnya, takut Cinta marah-marah. Tapi nyatanya aku keliru.Keesokan paginya, diminggu yang cerah --menurutku, Cinta datang ke rumah. Ia membangunkan aku dari tidur yang nyenyak. Menarik selimut lalu menarik tanganku.
"Keeeen, ini udah jam tujuh! Ayo siap-siap kita ke taman kota, Keeeeenn!"
Berisik sekali. Cinta masih seperti biasanya, berisik. Mungkin dia sudah melupakan aku yang sedang ngambek ini. Tanpa menjawab aku bergegas bangun dengan malas. Berjalan ke kamar mandi dengan malas juga. Sesuai janjinya, Cinta memilihkan baju untukku. Ia menyiapkan t-shirt lengan panjang yang notebene itu kado darinya untuk ulang tahunku dulu. Kata Cinta warnanya abu-abu dan cocok untukku. Di bagian dada t-shirt itu ada tulisan Little Boy berwarna merah. Yah, meskipun aku tidak tahu seperti apa wujud bagusnya pakaian itu, tapi setiap kali Cinta bilang cocok bagiku juga cocok. Tak lupa Cinta memintaku mengenakan celana jeans, sepatu pendek bertali, juga jam tangan yang pernah kami beli sepasang waktu itu.
"Ken, kamu tampan. Ternyata sahabatku ini benar-benar seperti idola," Cinta memujiku, sudah biasa. Bi Ijah juga sering bilang kalau aku ini tampan mirip ayahku. Tapi aku selalu merasa benci dengan kata mirip Ayah.
"Kamu kenapa gak bilang kalau mau ngajak kencan?"
"Gimana mau bilangnya? Paling kalau kamu ditelpon juga gak bakalan diangkat." Cinta menyindirku.
"Kan ada Bi Ijah yang ngangkat," aku mengelak.
"Udah lah Ken, aku cuma mau ngasih kejutan aja kok,"
Aku terdiam. Hatiku merasa tidak nyaman. Bukan karena apa-apa, tapi aku merasa Cinta mengajakku kencan dengan terpaksa. Entah sejak kapan aku bisa merasakan hal yang seperti itu dari Cinta. Harusnya perasaan itu tidak ada diantara persahabatan kami.
"Kalau terpaksa mending gak usah pergi," aku keceplosan.
Cinta hanya membisu. Dia lalu keluar kamar dan menuruni tangga.
"Ayo Ken, kita sarapan terus berangkat," Cinta tak menanggapi ucapanku. Ada apa ini? Apa harusnya kami tidak usah pergi saja? Dan benar. Harusnya hari itu aku tidak usah kemana-mana.
Ternyata cuaca minggu itu amat terik terasa menyengat kulitku. Suara ketukan tongkat yang kubawa memecahkan keheningan antara aku dan Cinta. Taman kota sangat ramai. Aku bisa mendengar hingar bingar pedagang kaki lima dan asongan di tiap tepi taman, juga ada suara banyak orang yang berbincang-bincang, tertawa, batuk, dan lain-lain. Langkah anak kecil berlarian, lompat-lompat, juga muda-mudi yang berkeliling.
"Didalam taman ada bazar, Ken. Kita beli topi yuk, panas" Cinta menggandeng tanganku, gandengan tangannya terasa berbeda sekali. Ia nampak gelisah, dan aku bisa merasakan itu meski tak melihat raut wajahnya.
"Mau beli topi sepasang lagi? Kan udah banyak dirumah,"
"Bosen, Ken"
"Ya sudah, aku yang belikan" kami pun berjalan menuju bazar raya. Beberapa orang mungkin melirik kami, atau bahkan menatap kami terang-terangan, seorang gadis cantik bak peri menggandeng mesra tangan seorang lelaki tunanetra. Sebenarnya ada perasaan minder. Aku terkadang malu sendiri mendengar ketukan tongkatku disela-sela keramaian. Tapi aku sadar, ada Cinta yang selalu disampingku. Dia selalu membuatku merasa percaya diri, jadi tidak mungkin aku mengecewakan usahanya itu.
Cinta semangat memilih topi. Kadang ia memasangkan topi dikepalaku, melepasnya, dipasangkan yang lain, dilepas lagi, begitu seterusnya. Mungkin kami menghabiskan waktu hampir setengah jam di stand topi itu. Dan akhirnya, Cinta tidak jadi membeli topi manapun. Dasar wanita.