Bab 13

10.8K 519 22
                                    

Dua minggu sudah berlalu dari kepulangan ku dan Niko ke Solo. Hubungan ku dan Niko semakin hangat, kini rasa nyaman selalu bersamanya kurasakan, kadang kalanya rasa rindu jika lebih dari sehari tak bertemu denganya bisa kurasakan, mungkin rasa cinta mulai kurasakan meskipun aku yakin belum sepenuhnya kupercayakan cintaku padanya bukan karena belum move on, hanya saja rasa trauma yang kehilangan lagi-lagi datang padaku.

Hari senin antrian pasien poli mengular, hingga di jam makan siang belum juga kuselesaikan pasienku.

Ingin berhenti sebentar untuk istirahat rasanya tak tega dengan para pasien yang sudah mengantri dari tadi pagi.

"Dok, mau istirahat sebentar?" Asistenku seorang bidan yang membantuku di poli, sepertinya menyadari keletihan ku.

"Kurang berapa mbak?"

"Masih ada lima" katanya sambil menghitung tumpukan status di meja sampingku.

"Istirahat sholat aja mbak, habis itu lanjut tinggal dikit kan? Saranku, kemudian berdiri keluar dari poli.

Terlihat para pasien dan keluarganya kaget karena aku keluar ruangan sedangkan mereka belum kuperiksa, pasti kecewa atau bahkan marah karena telah menunggu dari pagi.

"Maaf ya bapak ibu, saya sholat sebentar habis itu lanjut lagi" ku pamit pada para pasien yang duduk di bangku antrian depan ruang periksa ku, tak lupa kuberikan senyuman tulus untuk mereka.

Berjalan menuju mushola rumah sakit, berpapasan dengan daddy yang keluar dari halaman mushola.

"Rame dek pasiennya?" Daddy berhenti di sampingku.

"Bangetttt"

"Makan dulu aja sebelum lanjutin, pucet gitu" Daddy mengusap kepalaku sayang.

"Siap" kulanjutkan memasuki musholla untuk sembahyang dhuhur.

Sholat sendiri karena jamaah sudah selesai dari tadi, tetapi masih banyak dari keluarga pasien entah rawat inap atau rawat jalan yang juga menjalankan kewajiban kami sebagai seorang muslim.

Kusenderkan kepalaku pada dinding, setelah kuakhiri doa, masih kugunakan mukenaku, memejamkan mata mengurangi rasa pusing yang dari tadi kutahan.

Teringat akan pasien yang telah lama mengantri, Ku akhiri aksi bersantai ku dan bergegas kembali menuju poli.

Kulanjutkan memeriksa pasien-pasien yang datang untuk kontrol kehamilan, kontrol nifas bahkan remaja yang konsultasi tentang mentruasi yang tidak teratur.

Pasienku telah selesai di pukul tiga sore, ingin rasanya bertemu dengan bantal dan berkualiti memeluk guling.

"Mbak saya pulang ya, tolong bilangin ke VK dan bangsal Nifas sementara pasien saya tolong di alihkan ke dokter Ramadhan"

"Sakit dok? Pucet banget" terlihat asistenku ikut kawatir, hanya kubalas tak apa dan aku segera bangkit membawa tas ku menuju lobby menemui om Aris yang sudah ku hubungi.

Berjalan dengan sedikit menahan nyut-nyutan di kepala, dan tiba-tiba perut terasa di aduk-aduk.

"Dek Aci sakit kan?" Daddy tiba-tiba berjalan di sampingku, di gandengnya aku menuju mobil om Aris.

Merebahkan badan di bangku penumpang belakang, Daddy duduk di bangku penumpang samping om Aris.

"Makanya jangan telat makan, itu juga makan pedesnya di kurangin" Daddy memulai berceramah setelah kujawab pertanyaan beliau tentang keluhanku.

"Makan kalau nggak pedas, berasa ada yang kurang dad"

"Kasihan Niko jadi suamimu nanti, bisa diare tiap hari tu anak" Daddy sangat tahu jika aku ngikut mamy yang lidahku Indonesia banget jika tak ada sambal pasti tak mantap, sedangkan Niko menyukai makanan yang berasa manis tentunya dia sedikit saja makan pedas perutnya tak akan kuat karena tak terbiasa makan pedas sepertiku.

Jodohku Duda (Tersedia Lengkap Di Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang