珍贵 | m o o m i n

284 92 20
                                    

"The future belongs

to those who believe

in the beauty

of their dream."

—Eleanor Roosevelt—

—Eleanor Roosevelt—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Lima.]

Kamu pernah bilang, kalau dari dulu kamu itu suka menggambar. Kamu bercerita tentang banyak momen, dimana kamu menghabiskan sore dengan menggoreskan pensil membentuk sketsa orang-orang yang berlalu lalang. Katamu, melihat bagaimana dunia berjalan selalu membuat kamu takjub.

Tidak seperti kebanyakan seniman yang tidak suka karyanya dilihat sebelum selesai, kamu tidak pernah mempermasalahkan saat aku melihat-lihat gambaranmu yang masih berbentuk sketsa asal. Kamu sudah menggambar banyak sekali, mulai dari orang-orang yang tengah berjalan dengan kesibukan mereka, pengamen kecil dengan ukulelenya, sampai genangan air yang menampakan pelangi lukisan-Nya.

Semua itu kamu satukan dalam satu buku sketsa tebal berwarna oranye dengan sampul karakter animasi berwarna putih. Awalnya, aku kira itu hanya karakter biasa. Namun, semakin banyak aku membalik halaman bukumu, semakin banyak juga karakter kartun itu ada.

"Namanya Moomin," katamu.

Kamu bercerita padaku tentang seberapa sukanya kamu pada Moomin, katamu, Moomin itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial, dan justru itu alasan kamu menyukainya. Sudah aku bilang berulang kali, kamu itu aneh, Juniandra. Bahkan saking anehnya kamu, kamu dengan percaya diri melukis tembok kamarmu dengan karakter Moomin. Karakter berwarna putih itu tidak kamu lukiskan dengan wajah, alih-alih kamu hanya menulis tiga huruf diwajahnya.

'J o Y'

Aku berkomentar bahwa gambaranmu benar-benar unik, dan kemudian mengomentarimu jadi lebih menarik. Aku menanyakan apa tak masalah remaja lelaki seumuranmu memiliki kamar bergambar kartun. Dan saat itu kamu tertawa.

"Enggak apa-apa, Jani."

Kamu tersenyum sejenak.

"Aku suka Moomin dari lama, tau kenapa?"

Aku menggelengkan kepalaku, menyaksikan tatapanmu yang melembut namun disertai sendu.

"Soalnya Moomin selalu keliatan bahagia."

Saat itu aku tidak mengerti makna dibalik kalimat yang kamu katakan. Maksudku, lihat saja Moomin-mu itu, dia tidak punya mulut terlebih wajah. Bagaimana mungkin kamu bisa menyimpulkan dia bahagia? Apa tiga huruf digambarmu cukup untuk menyimpulkan dia bahagia?

"Jani,"

"Ya?"

"aku mau jadi pelukis, mau jadi seniman hebat kayak Vincent Van Gogh. Mimpiku terlalu tinggi, ya?"

Aku tidak menjawabmu saat itu, karena aku sendiripun masih tidak tahu mimpiku. Lalu bagaimana mungkin aku mengomentari mimpimu saat mimpi sendiripun belum tahu? Itu jelas tidak sopan, bukan? Tapi, aku tidak mungkin hanya diam.

"Aku pernah denger, katanya masa depan ada untuk mereka yang percaya keindahan mimpi mereka."

Kamu meringis. "Gimana kalau itu artinya aku gak akan punya masa depan?"

"Jun!"

"Just.. wondering."

Setelah mengatakan itu, kamu diam begitupun aku. Kita terjebak dalam keheningan yang alih-alih menyiksa, justru memberikan ketenangan. Kamu tiba-tiba mengehela nafasmu, kemudian menoleh dan tersenyum padaku.

"Jani, aku.."

kamu memberi jeda sejenak, lalu kamu melanjutkan dengan lirih,

"aku bener-bener pengen jadi seniman."

*notes : lukisan di tembok kamar Juni bisa dilihat di mulmed

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*notes : lukisan di tembok kamar Juni bisa dilihat di mulmed.

©2020, mengukirhujan.
—6 Februari

j u n i [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang