珍贵 | d i t i n g g a l k a n

286 92 47
                                    

"The world need someone

they can admire

from a distance;

from a very far distance."

—Michael Bassey Johnson—

—Michael Bassey Johnson—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Delapan.]

Hampir dua tahun hubungan kita, tidak pernah sekalipun kamu kasar dalam sikap maupun kata. Seorang Juniandra yang aku kenal itu hangat, itu yang aku ingat. Tapi, aku lupa, bahwa sebaik-baiknya manusia, pasti merasa jenuh juga.

Mungkin kamu memang lelah menghadapiku, mungkin kamu lelah dengan tingkah tak acuhku atau justru lelah akan perhatianku. Atau.. kamu lelah akan seberapa tertutupnya diriku. Selelah itu, sampai kamu menyuarakan lelahmu padaku.

"Jani, kenapa kamu gak bilang?"

Intonasi bicaramu masih terdengar sama, namun tatapanmu beda dari biasanya. Nampak begitu dingin tapi juga terluka, sampai aku tak tahu harus berkata apa.

"Karena aku takut aku gagal, Jun. Jadi sebelum pasti aku gak bilang, dan ternyata.. aku bisa."

"Kamu emang bisa," kamu terdengar begitu yakin, seakan itu memang pasti. Tak sedikitpun kamu terdengar ragu, "tapi aku tanya, kenapa kamu gak bilang?"

"Jun.. maaf. Seenggaknya aku udah bilang 'kan ke kamu?"

Aku sedikit menyesal, saat itu nada bicaraku terdengar begitu tajam dan dingin, seakan-akan tak memiliki belas kasihan. Kamupun terlihat terkejut, tatapanmu menyendu dan aku merasa sudut hatiku terluka.

"Aku hargai kamu jujur, but I think it's too late. Kamu udah bakal berangkat untuk ngejar mimpi kamu, sedangkan aku baru tau sekarang," kamu memberi jeda sejenak, "sehari sebelum keberangkatan kamu."

"Jun.. kamu.. mau nunggu 'kan?"

Aku katakan juga, pertanyaan yang aku pendam selama ini aku katakan juga. Netraku menatapmu penuh harap, menunggu jawaban yang akan kamu ucap.

Saat itu, tidak seperti bayanganku, kamu menggelengkan kepalamu. Sesak otomatis menyesaki dadaku, mataku yang sedari tadi terasa panas mulai meneteskan apa yang ditahannya. Tapi, kamu justru tersenyum. Tipis namun tulus.

"Bukan tentang nunggu, tapi tentang kejujuran kamu, Jani. Dengan kamu nyembunyiin inipun udah nunjukin kalau kamu gak percaya sama aku, yang notabennya pacar kamu."

Kamu mengalihkan pandanganmu, kentara menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya mengatakan apa yang mau kamu katakan.

"Rinjani, kita sampe disini aja, ya?"

Pertahananku hancur, aku terisak begitu saja dan sosokmu terlihat semakin kabur. Namun kamu masih tetap tersenyum, begitu manis seperti semua sosokmu dalam ingatanku.

"Baik-baik ya di kota orang, jangan sampe sakit. Kamu harus kuliah yang bener, kamu udah berjuang susah payah buat masuk kesana dan itu gak boleh kamu sia-siain,"

jemarimu menggenggam milikku,

"baik-baik tanpa Juniandra ya, Rinjani?"

Dan kamu berbalik, melangkah begitu saja meninggalkan sosokku di taman kita biasa bersama. Bahkan sampai aku berdiri menunggumu di depan bandara, kamu tidak datang juga.

Juniandra, bagaimana bisa kamu benar-benar mengakhiri hubungan kita, begitu saja?

"Jani, pesawat kamu sebentar lagi take off."

Aku menarik nafasku dalam-dalam, sekali lagi menoleh kebelakang dengan harap ada kamu berdiri dan menatapku dengan seulas senyuman. Tapi, kamu tidak ada. Kamu tidak datang.

"Jani—"

"Iya, aku berangkat sekarang."

Dan hari itu, aku melangkah meninggalkan kota kelahiran kamu dan aku. Meninggalkan kamu dan semua kenangan yang pernah kita ukir bersama-sama. Hari itu, Rinjani meninggalkan Juniandra-nya.

©2020, mengukirhujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©2020, mengukirhujan.
—9 Februari

j u n i [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang