珍贵 | b a h a g i a

289 86 61
                                    

"Remember me and smile,

for it's better to forget

than to remember me and cry."

—Dr. Seuss—

[Terakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Terakhir.]
(Kindly play the song in media as you read this part or play Sampai Menutup Mata by Acha Septriasa)

Hari itu, kami berakhir di sebuah kafe dengan desain minimalis disertai ornamen serba biru, sedikit banyak mengingatkan aku pada kamu. Tidak seperti yang aku bayangkan, tidak ada kecanggungan diantara kami. Walau yang lebih banyak memulai topik adalah kawanmu itu, karena sejak awal kamu sendiri tahu aku bukan sosok seramah temanmu.

Radhit banyak bercerita, mulai dari kabarmu sampai alasannya sampai kesini. Katanya, dia ingin menyendiri. Entah kenapa aku tidak mau tahu, karena bagiku, yang lebih menarik adalah mendengar kabarmu tanpa aku. Radhit bilang, kamu masih merindukan sosok yang tiba-tiba hilang. Saat itu, diam-diam ada sesuatu menghujam sudut hatiku yang paling dalam.

Entah sendu, entah rindu.

Tepat di menit ke duapuluh delapan yang diisi pembicaraan tentang kamu, Radhit tiba-tiba berhenti berceloteh dan menatap lekat padaku.

"Kata Juni, dia sampe sekarang masih kangen sama kamu,"

Aku juga.

"dia pengen ketemu kamu."

Aku juga.

"Rinjani,"

"Ya?"

"Sekali aja, apa pulang pernah kepikiran sama kamu?"

Kalau soal itu, tentu.

Tapi, kalau tentang kembali menginjakan kaki di Ibukota, aku tidak bisa. Kamu tahu sendiri, ada begitu banyak alasan aku tidak bisa kembali kesana. Sejak awal, Rinjani dan Jakarta tidak cocok disandingkat dalam satu kalimat yang sama.

"Rinjani," Radhit membasahi bibirnya sejenak, kentara jelas menimang-nimang tentang sesuatu yang belum aku tahu, "sekali aja, pulang ke Jakarta. Kamu harus ketemu sama Juni, ada yang harus kalian selesain."

"Gak ada apa-apa lagi yang harus kami selesain, Radhit."

"Ada," Radhit menyela, terlihat begitu menggebu, "tolong pulang, ya? Kamu dan Juni harus nyelesain semuanya. Tolong, Rinjani, kamu harus ketemu Juni walau cuma sekali."

Permintaan temanmu menjadi alasan aku berdiri di bandara dengan gaun biru pemberianmu. Dipenuhi ragu namun juga rindu, aku melangkah menuju rumahmu.

Jakarta masih sama sesaknya seperti kemarin. Masih dipenuhi manusia-manusia yang sibuk dengan diri mereka sendiri, tanpa sudi melirik sesosok Rinjani. Tapi toh, aku tidak peduli. Sejak awal tempatku memang bukan disini. Jadi aku membungkam mulutku dan menyusuri jalan menuju rumahmu.

j u n i [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang