"Tak ubahnya raja siang yang menyebalkan, sinarnya memendam buruk rasa. Di hadapan terdiam, di belakang terbahak-bahak melihat abdi galaba bersama rinai air mata."
Lagi. Sang Enkoder melakukan kebiasaannya. Menulis, berkias. Lantas, tersenyum kecut ia memandangi komentar hampa. Sekaligus berharap, sang Dekoder tidak merespon tulisannya kali ini. Sayang, ia mendapat balasan. Tiga jam selepasnya, sang Dekoder menjawab, "kurasa kaulah yang berburuk sangka. Mungkin sebaiknya kau selesaikan masalahmu baik-baik."
Uih, gemas sang Enkoder melihat respon si pemuda sok tahu segalanya itu. Ini sudah hari kesekian sejak ia mendapati komentar sang Dekoder pada semua tulisannya. Namun, entah karena apa ia justru tak ingin memblokir pemuda itu. Dibiarkannya sang Dekoder bertutur. Aneh, memang.
Sang Enkoder itu, dengan kesal—karena kesalahannya juga, tidak berupaya menjauhkan diri—membalas sang Dekoder. "Tahu apa kau soal masalahku?"
Sepi. Sang Dekoder di seberang sana—entah dimana—tidak lagi merespon. Alih-alih ikut tenang, sang Enkoder justru kian berang. Dihantamkannya sang Dekoder dengan selaksa pesan yang kini dikirimnya melalui fitur pesan pribadi. Pertanyaan-pertanyaan membanjiri, luapan emosi tercium pekat.
Sementara, tanpa sepengetahuan gadis itu, sang Dekoder tidak ambil pusing. Di lain tempat, pemuda itu tersenyum. Ia enggan melempar granat. Sang Dekoder tahu, gadis itu telah menyumbang peran besar dalam dirinya. Ia, sang Dekoder itu, bangkit dari keterpurukan. Ia, si terundung itu, membuktikan bahwa ia kuat menanggung hina. Ia, si mantan pengidap afasia sensoris itu, kini hidup bergelimang syukur.
Dan semua itu berkat sang Enkoder.
Untuk itu, ia tak ingin berbalas emosi. Sang Dekoder mengatakan, "kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja. Kau tahu itu, enkoder?"
Sang Enkoder terkejut. "Enkoder? Kau bercanda denganku? Memberiku julukan asal? Aku bertanya serius, siapa kau sebenarnya? Tahu apa tentangku? Mengapa mudah sekali bagimu mengerti tulisanku di saat orang lain justru pura-pura kagum?"
"Sudah kubilang, jawabannya sederhana. Bahkan, tidak memuaskan. Aku bukan siapa-siapa, kalau kau benar ingin tahu. Aku tak tahu apapun tentangmu selain kau adalah pemilik akun ini dan kau adalah seorang gadis. Soal bagaimana aku mengerti kalimatmu, itu karena dirimu sendiri, jika kau percaya."
Sang Enkoder habis akal. Sementara sang Dekoder membalas lagi. Panjang kalimatnya membuat sang Enkoder melamun bermenit-menit. Gadis itu tengah memposisikan anggapan di ambang logis dan tidak logis. Sang Dekoder menceritakan tentang dirinya, tentang rasa terimakasihnya. Hingga kemudian, gadis tunaganda kita menggigit bibir.
Sang Enkoder terenyuh. Dalam pikirannya telah terbesit kehendak untuk bertemu pemuda ini secara langsung. Melihat bagaimana rupanya, mendengar bagaimana suaranya. Sang Enkoder menjadi penasaran. Alamak, ia jatuh hati pada pemuda yang juga jatuh hati padanya tanpa ia duga. Lantas sang Enkoder menumpahruahkan air mata manakala ia membaca balasan sepanjang sekian paragraf dari sang Dekoder. Sang Enkoder terisak.
Ia menangisi sang Dekoder.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mea Culpa [Lengkap]
Historia CortaRealita berkata, sang Enkoder tak berdaya. Gadis itu menampik, membuat pelik. Huruf-hurufnya bertahta di baris teratas, menggempar mereka yang tak gemar berkias. Namun, hai, pemuda itu rupa-rupanya datang. Mantan pengidap afasia sensoris yang ditata...