Dia, sang Dekoder. Karma telah berlaku atasnya, sebab ia sempat tak punya hati. Pemuda yang dengan angkuhnya meninggalkan korban, seorang gadis yang ditabraknya sendirian di tengah jalan. Sang Dekoder. Ah, betapa sepadan penderitaan sosialnya untuk membalas kejahatan yang telah ia lakukan.
Dia, sang Dekoder. Sedih benar hidupnya manakala ia kehilangan kemampuan berbahasa. Tertimpa sudah kepalanya, terbentur keras, merusak bagian otak yang sangat penting bagi hidupnya. Sang Dekoder. Aduh, malangnya terdiagnosis afasia.
Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan tahunan. Terapi ia jalani sampai-sampai rasanya ingin mati. Dikucilkan, direndahkan. Bahkan, tak mampu ia utarakan isi hati dan akal. Namun, sungguh, bahwasanya jika Tuhan Mahaadil, maka Tuhan juga Mahabaik. Tuhan menciptakan skenario terbaik, naskah hidup terindah untuk seorang pemuda yang menangisi kesalahannya.
Berjumpalah ia. Dengan seorang gadis dalam dunia artifisial. Gadis tunaganda yang tak kuasa bicara dan kehilangan kedua kakinya. Alamak, itu gadis yang ditabraknya. Sedang sang Dekoder tidak mengetahui barang sedikit pun. Sang Enkoder. Itulah gadis yang lambat laun membuatnya tersandung batu cinta.
Sang Dekoder. Mulanya, ia bingung. Termangu membaca sulaman kata sang Enkoder. Tentu, afasia sebabnya. Kendati demikian, skenario hidup yang indah itu berjalan mulus. Sang Enkoder, dengan tulisannya tanpa sadar, membantu sang Dekoder untuk kembali normal. Perlahan, begitu lama prosesnya. Setitik demi setitik, hingga sempat tampak mustahil.
Sang Enkoder. Kini ia menangis. Ia membuka hati, melapangkan dada. Alangkah ia terkejut mengetahui kenyataan seorang diri. Namun, aduh, dia telah jatuh hati. Sang Enkoder. Ia memaafkan, ia merelakan.
Sang Enkoder. Masih ia berdiam di dalam rumah. Menjauhi sinar raja siang, menunggu sang Dekoder untuk datang.
Sang Dekoder. Melangkah ia ke dunia luar. Dengan rasa haru, tekad menggebu. Pemuda itu mencari, hendak menemui sang Enkoder. Mewujudkan keinginan, mengenal sang Enkoder lebih dalam. Lantas meminang gadis yang terkasih itu, sungguh, tanpa peduli dengan kekurangannya.
Maka ketika telah sampai masanya, sang Dekoder mengetahui kebenaran. Kemudian, dengan penuh penyesalan, ia berucap mea culpa[1]. Dan sang Enkoder, sang Enkoder merengkuh erat masa depan dengan maaf dan syukur.
***
[1] Mea culpa adalah ungkapan Bahasa Latin yang berarti karena kesalahan saya. (Sumber: KBBI V)
Catatan penting lainnya:
1. Tunadaksa: cacat fisik;
2. Tunawicara: bisu;
3. Tunaganda: penderita lebih dari satu kecacatan;
4. Afasia sensoris: (mohon lihat bagian selanjutnya).***
Ditulis khusus untuk event "Cinta dan Kehilangan" oleh Teenlit Indonesia pada Februari 2020.
Bandar Lampung, 4 Februari 2020
Sadaraa
KAMU SEDANG MEMBACA
Mea Culpa [Lengkap]
Short StoryRealita berkata, sang Enkoder tak berdaya. Gadis itu menampik, membuat pelik. Huruf-hurufnya bertahta di baris teratas, menggempar mereka yang tak gemar berkias. Namun, hai, pemuda itu rupa-rupanya datang. Mantan pengidap afasia sensoris yang ditata...