Mea Culpa [1]

698 79 36
                                    

Mentari pagi mencuri celah, mencoba mengendap-endap masuk ke dalam ruang. Sayang, sang Enkoder tak ramah pada sinar raja siang. Gorden tertutup rapat, menyisakan lampu kualitas rendah yang bercahaya sekuat tenaga dengan hasil sangat tidak memuaskan.

Sang Enkoder menatap layar. Sepasang netranya berkilat ditempa sinar gawai yang ternyata lebih ia sayangi. Lagi, gadis itu tersenyum kecut. Tetikusnya bermain, menggulir tampilan layar ke bawah. Komentar-komentar itu semuanya, pujaan hampa belaka.

Sang Enkoder menghela napas. Ia kerap bertutur dalam situsnya. Membuat paragraf acak, mencurahkan segala kesedihan dan kepapaan. Tak seorang pun tahu maknanya. Para pembaca hanya mampu memuji, tanpa kuasa memahami.

Jemari sang Enkoder menari. Bersama papan ketik, ia sulam kata-kata kebencian. Lagi, ia curhat pada dunia. Tentang masa lalunya, tentang kesedihannya. Tulisannya sarat amarah dan keterpurukan, yang entah mengapa justru digemari para remaja gila asmara.

"Wahai, kuda putih tak kuasa lagi berlari. Tiap helai yang tercipta untuk harapan, dikoyak tanpa ampun oleh yang tak kasat mata. Afeksi, akunya. Bualan yang tampak nyata sejelas gajah di pelupuk mata. Tidak-tidak lagi. Bahkan, gurita bisa mati. "

Begitu tuturnya di akun media sosial. Tak ingin ia mendapat perhatian, namun sekonyong-konyong notifikasi datang tanpa permisi. Para penggemar tulisannya memuji, menyampaikan kesenangan mereka akan curahan sang Enkoder.

Ratusan pujian, tidak satu pun komentar pengertian, batinnya nestapa. Dalam dunia maya diagungkan, di dunia nyata dikucilkan. Sang Enkoder pada dasarnya hanyalah seorang gadis tunadaksa. Gadis korban perundungan bertemankan kursi roda, yang dicampakkan sahabat satu-satunya karena kecelakaan yang merenggut kedua kakinya. Malu, begitu kata "sahabatnya" itu.

Namun, ai! Siapa gerangan yang tutur hurufnya menyambar ini? Aduh-aduh, sang Enkoder tercekat dibuatnya. Tak ubahnya patung, sang Enkoder membeku. Sahut-menyahut batin gadis itu. Antara kagum dan khawatir. Sungguh, bahwasanya ini yang pertamakali baginya.

Sang Dekoder muncul ke permukaan. Menerjemahkan tiap paragraf yang sang Enkoder ukir dengan segala perasaannya. Bersua benar alurnya. Insan itu tepat sasaran. Sang Enkoder termangu-mangu mendapat notifikasi—yang terpampang mengoyak semua kalimat penuh maknanya.

Wahai, siapa ini?

Maka di sinilah, mula sang Enkoder jatuh dalam palung bernama cinta. Sang Dekoder telah datang, mengucapkan belasungkawa melalui kolom komentar.

Sang Dekoder lewat dunia artifisial berkata, "gurita memang punya banyak jantung. Tapi, kamu manusia. Kamu jelas lebih mulia dan kuat dibanding seekor hewan laut. Aku turut sedih, atas kemalangan apapun yang terjadi padamu."

Seseorang, pemuda itu, memahami tulisannya. Sang Enkoder larut dalam keterkejutan. Kendati demikan, sang Enkoder justru berpaling. Meludah pada suara hati, supaya ia tak sakit lagi. Sang Enkoder lemah, sangat lemah. Raganya, sukmanya. Maka daripada itulah, ia telah memutuskan. Sang Enkoder tak ingin dengan mudahnya terjajah oleh diktator perasaan. Ia muak dikhianati.

Bertahun-tahun lalu, terjadi tragedi kelam yang menyebabkan kedua kakinya tak lagi utuh bersama raga. Tabrak lari, faktornya. Sang Enkoder hanya kuasa menangis. Realita berkata ia tak lagi berdaya. Ia, sang Enkoder itu, jatuh dalam kepapaan. Ia, si tunawicara itu, kehilangan cinta kasih seorang sahabat. Ia, si tunadaksa itu, kehilangan hidup penuh syukurnya. Ia sang Enkoder, ia tak pernah lagi bersentuhan dengan sang bayu di bawah hangatnya sinar mentari.

Mea Culpa [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang