Setelah berdebat ringan dengan Andre hanya karena masalah pakaiaan, akhirnya kami sudah berada di dalam mobil, Andre memegang setir dan menatap jalanan dengan serius. Aku tak tahu Andre akan membawaku bersenang-senang ke mana setiap aku bertanya dia hanya berkata. “kau akan tahu ketika sudah sampai!” dasar menyebalkan.
Aku sudah bosan berpura-pura merajuk sebab Andre tak memberitahu ke mana kita pergi yang pastinya yang ku tahu Andre tak akan membawaku ke tempat yang macam-macam.
“Andre?” aku memanggil namanya, sesaat orang yang ku panggil tersebut menoleh dan tersenyum.
“Kau sudah tak merajuk?” sahutnya.
“Apa kau masih mencintaiku?” Aku menoleh keluar jendela tak berani menatapnya.
“Kenapa kau bertanya saat sudah mengetahui jawabannya?” Andre menatap ke arahku sebentar.
Aku tak dapat berkata lagi, aku merasa ada benjolan di tenggorokan. Sakit dan lega rasanya, aku tahu Andre masih mencintaiku. Tapi sial kenapa aku tak bisa mencintainya lagi seperti dahulu? Apa yang salah dengan diriku saat ini, kenapa aku tak bisa mencintai orang baik seperti dirinya dan kenapa aku bisa mencintai pria berengsek seperti Revan.
“Tak usah berpikir keras Tania. Aku tak memaksamu kembali padaku!” sahut Andre tiba-tiba seakan ia membaca apa yang aku pikirkan sekarang.
“Terus kenapa kau masih mau bersamaku?” Aku memandang ke arahnya, ia juga memandang ke arahku kemudian meminggirkan ke tepi jalan mobil yang kami kendarai.
“Karena aku mencintaimu Tania, sampai kapanpun!” ucapnya tulus kemudian menatapku dalam, dan entah hanya firasatku saja wajah Andre perlahan mendekat ke arahku.
Aku tau jika Andre akan berniat menciumku. Aku menutup kedua bola mataku sampai benda kenyal itu sekarang sudah menempel di bibirku, perlahan dengan lembut Andre melumat bibirku. Aku takut akan menyakitinya jika aku menghindari ciumannya maka dari itu aku membiarkannya.
Aku melingakarkan tanganku pada lehernya, satu tangannnya menyentuh daguku dan yang lain mengelus pipi ku, aku balas melumat bibirnya, membiarkan ia bermain. Tanganku menarik rambutnya aku sedikit sesak karena ia tak berhenti malah semakin rakus. Sial! Kenapa aku membayangkan jika yang menciumku adalah Revan.
Aku memalingkan wajahku, sehingga Andre menyudahi ciumannya. “Maaf Tania, aku lancang!” kata Andre sambil kembali menancapkan gas mobil.
“Tak apa.” Jawabku singkat, aku tidak baik-baik saja untuk sekarang. Kenapa harus membayangkan wajah Revan? Sial! Kenapa aku ingin Revan yang melakukannya, kenapa aku tidak bisa melupakan moment di saat aku baru saja sampai di Dubai dan meminta Revan untuk mandi bersamaku, saat itu pertama kali aku berciuman dengannya, dan bodohnya aku yang memulainya! Oh Shit! Aku sungguh bodoh.
“Apa kau marah?” Andre bertanya, seketika memoriku kembali ke dunia nyata yang sekarang.
“Aku menikmatinya.” Jawabku setengah berbohong. Aku berkata sedemikian karena aku mengira Revan lah yang menciumku. Dan tak ada tanggapan dari Andre, untunglah.
“Apa tempatnya masih jauh?” Aku bertanya karena ingin merehatkan pikiranku tentang Revan.
“Beristirahatlah dulu! Aku akan membangunkanmu saat sudah sampai.” Jawab Andre fokus menatap jalanan tanpa memalingkan wajahnya padaku.
Aku tau Andre merasa canggung karena peristiwa tadi. Aku memasangkan headset ditelingaku mendengarkan lagu dan berusaha menutup mata agar Revan sialan itu tak lagi terbayang-bayang dipikiranku. Dan sial lagi-lagi tidak bisa.
Aku menoleh ke arah jendela mobil, ribuan pohon-pohon karet berbaris beraturan. mobil Andre menyusuri pertengahan hutan. Aku suka pemandangan di sini. Tentram, sejuk, dan jauh dari kebisingan. Ke mana sebenarnya dia akan membawaku?
“Kenapa terbangun?” Andre menoleh sebentar.
“Aku tak bisa tidur, sayang jika harus melewati pemandangan seperti ini.” Ucapku
“Di sana akan lebih indah Tania, aku yakin kau akan menyukainya.”ucap Andre sungguh-sungguh.
Aku semakin penasaran dibuatnya, tapi aku tak ingin bertanya lagi. Menyebalkan rasanya jika ia menjawab “kau akan tahu saat sudah sampai.”
Beberapa menit kemudian mobil Andre sudah berhasil menyusuri keluar hutan pohon karet, beberapa rumah pun sudah dapat kami lihat, yang menyita perhatianku yaitu pemandangan yang tak kalah luar biasa dari sebelumnya, sawah hijau terbentang luas di sebelah kanan Revan, sedangkan di sebelahku ada kebun teh, sementara jauh dari hadapan kami beberapa bukit tinggi hijau berjejeran.
Aku memperbaiki posisi dudukku, sangat indah sekali. “Bisakah kau membuka atap mobilmu?” pintaku pada Andre. Aku segera ingin merasakan betapa segarnya udara di sini dan satu lagi aku ingin berteriak sepuasnya.
“Tentu saja.” Andre tersenyum detik itu juga atap mobil Andre terbuka.
Aku berdiri dari dudukku merentangkan kedua tanganku ke depan, membiarkan hempasan angin menerpa wajahku, sejuk udara di sini mencekam ke kulit tapi semua itu sungguh tenang dan tentram suara kicauan burung seakan menjadi musik bahwa aku sungguh menikmatinya.
“AHHHHHH!!!!!!”aku berteriak sekencangnya, lega rasanya membuang sedikit beban seperti itu.
Andre memberhentikan mobilnya di tengah jalan, karena hanya sedikit kendaraan yang melewati jalan ini jadi bebas saja ia berhenti semaunya. Ia ikut berdiri persis denganku ia merentangkan kedua tangannya dan berteriak.
“Ahhhhh!!! Aku mencintai, Tania!” teriaknya sekeras-kerasnya.
Aku tersipu malu, aku lupa bahwa ada beberapa penduduk di sini sedang memetik teh ataupun bersawaah. Mereka melihat ke arah kami sambil tersenyum di sertai gelengan kepala. Aku memegang tengkuk ku yang sama sekali tak gatal kemudian melemparkan senyum kepada mereka.
“Aku juga mencintaimu, Revan!” ucapku tulus, aku segera membekap mulutku saat ada sesuatu yang salah telah ku ucapkan.
Lagi! Dan lagi. Kenapa harus nama orang itu yang ku sebut? Aku tak berani menatap ke arah Andre, ia pasti sedang bersedih, sebab aku mengganggap dirinya sebagai orang lain. Aku tak berani untuk berbicara padanya, sehingga suasana saat ini kembali sunyi.
Selang beberapa menit Andre kembali menancap gas mobilnya aku sudah kembali duduk pada kursi mobil, atap mobilpun masih terbuka seperti tadi hanya saja aku tak enak jika berdiri lagi. Aku menatap ke arah Andre sekilas, raut wajahnya sedikit berbeda.
“Kita akan bermalam di salah satu rumah di sini, jangan khawatir kau tahu siapa pemiliknya.” Ucap Andre pada akhirnya.
Aku mengangguk melihat kondisi hari sudah semakin sore. Sejujurnya aku ingin bertanya siapa pemiliknya tapi aku malas bertanya. Dan pasti Andre akan menjawab seperti sebelumnya.
“Jangan memikirnya, kau akan tahu siapa pemiliknya nanti.” Lagi, Andre dapat membaca pikiranku.
Aku terkekeh “Aku hanya penasaran sedikit.”
Tak sampai 10 menit hari pun sudah nampak semakin gelap akhirnya mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumah bercat hijau, rumah ini berada di ujung jalan dan di atas pendakian,dari sini aku bisa menyaksikan semua yang ku lihat tadi pohon karet, sawah, kebun teh dan bukit hijau yang aku lihat dari kejauhan tadi kini tak jauh lagi dari keberadaanku sekarang semuanya benar-benar segar, hijau dan asri.
Udara di sini benar-benar sejuk sampai mencekam ke kulit, aku menggosok-gosokkan tanganku untuk menghangatkan tubuhku sedikit.
“Turunlah, kita sudah sampai!” Andre melepaskan tali pengaman yang melekat di tubuhnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. “Terimakasih!” kataku bahagia aku sangat menyukai tempat ini.
Andre tersenyum dan bangkit dari duduknya kemudian keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untukku.
Kami sama-sama berjalan mendekat ke arah pintu rumah tersebut belum sempat kami mengetuk pintu seseorang telah membukakan pintu untuk kami.
Aku menghambur ke dalam pelukannya, air mataku jatuh beriringan dengan suara tangis ku yang pecah. Hatiku terasa sakit, aku sangat merindukan sosoknya.
Apa sebenarnya maksud Andre membawaku ke sini?
....
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM SORRY! (END)
General FictionBagaimana rasanya jika seorang menikah dengan orang yang justru ia benci? Yah, begitulah yang terjadi dengan seorang dr. Tania Angreanita. Mau tidak mau harus menikah dengan seseorang yang telah dijodohkan oleh orang tuanya. Lalu apa yang terjadi s...