Kami tengah berkumpul di halaman rumah. Langit yang begitu gelap bertaburan milyaran bintang sebagai penghias. Bulan memancarkan sinar begitu terang. Udara di sini benar-benar sejuk. Serta angin sepoi-sepoi yang bertiup semakin mencekam ke kulit sampai ke dalam tulang-tulang.
Aku membolak-balikkan jagung yang sedang ku bakar di atas bara api. Sedangkan Andre tengah memanggang daging di tempat yang berbeda. Ibu dan beberapa wanita seumuran dengannya duduk di atas tikar. Mereka adalah ibu-ibu tetangga yang ikut meramaikan acara daripada hanya ada aku, Andre dan Ibu. Sesekali mereka memerhatikan ke arah kami berdua. Biar ku tebak mereka pasti sedang menggosipi ku dengan Andre.
Aku sedikit risih sebenarnya, apalagi Andre meminta bersikap romantis di hadapan ibu dan mereka.
"Tania!" Panggilan Andre membuyarkan lamunanku.
Aku meliriknya sekilas dengan ujung mataku.
"Jangan melamun. Nanti hangus." katanya sambil mengarahkan jari telunjuknya pada jagung yang tengah ku bakar.
Aku segera meletakkan jagung bakarku ke atas piring, bau nya begitu menyeruak masuk ke dalam pernafasan. Seakan meminta untuk segera di jadikan santapan.
"Ini untukmu." ujarku yang langsung memberikan satu jagung bakarku pada Andre.
Tanpa berpikir panjang Andre langsung meraihnya dari tanganku dan langsung memakannya. " Terimakasih." ucapnya dibalik mulut yang masih terisi.
"Sama-sama." ucapku datar dan langsung meninggalkannya untuk segera berjalan menuju segerombolan wanita parubaya.
Sejujurnya sejak masalah yang tadi. Aku masih sangat kecewa terhadap Andre. Aku cukup mengerti ia takut jika aku akan mengecewakan ibunya. tapi menyembunyikan statusku dan berpura-pura kami masih berpacaran itu adalah kebohongan yang tak bisa dipungkiri.
Aku sudah tiba di antara ibu-ibu parubaya. Dan langsung duduk bergabung di dekat ibunya Andre. Segera ku letakkan 2 piring jagung yang telah ku bakar, lalu mempersilahkan semuanya untuk mencicipi.
"Silahkan di makan bu, maaf membuat ibu-ibu menunggu lama." ucapku begitu ramah. Di sertai senyum lembutku.
"Tidak apa nak. Terimakasih," ucap Ibu mewakili. Semuanya tersenyum ke arahku.
"Sama-sama ibu."
"Sudah cantik, pandai, sopan lagi. Kau beruntung memiliki calon menantu seperti ini ibu Widya." ujar ibu-ibu yang duduk berdampingan dengan ibu. Sedangkan ibu-ibu yang lain mengangguk membenarkan.
Aku hanya bisa melemparkan senyum. Menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal. Perkataannya membuat mulutku begitu bungkam. Kata sopan yang baru saja ku dengar membuatku teringat dengan perlakuanku dulu pada ayah mertuaku Om Sultan. terlebih lagi pada suamiku Revan.
Elusan tangan di puncak kepalaku, kembali membuyarkan lamunan panjangku. Aku melirik ke pemilik tangan dan melihat ibu yang duduk di dekatku tersenyum bangga. Sontak saja aku langsung memeluknya. Elusan tangannya membuatku begitu merindukan mama ku. Aku sangat ingin menemuinya dan merasakan tangan kasarnya membelai rambut panjangku. Merengkuh tubuh kecilku dari dekapan tubuhnya. Tak terasa aku menitikkan air mata dalam pelukan ibu Widya. Segera ku hapus kasar air mataku. Aku tak ingin orang lain melihatku.
Sesaat semuanya begitu hening, mereka menikmati jagung bakar yang berada di genggamnya. Begitu pula denganku. Dapat kurasakan perlahan tangan ibu mendekat dan menyentuh ujung bibirku dengan jari jempolnya, kemudian menyingkirkan sedikit makanan yang tertempel. Aku sedikit kaget dengan perhatian ibu yang berlebihan padaku.
"Melihat keakrapan Ibu Widya dengan Tania. Kami penasaran kapan ibu akan menikahkannya dengan Andre." salah satu ibu-ibu berujar dengan tatapan mata yang menyelidik ke arah kami.
Aku langsung terbatuk begitu mendengar ucapannya. Kaget. Dan penasaran apa yang akan di katakan ibu nantinya.
Tiba-tiba Andre datang sambil membawa hasil kerjanya dan duduk di samping ibu. Sekarang ibu berada di tengah-tengah antara aku dan Andre.
"Itu semua tergantung dari mereka." jawab Ibu seadanya. Sambil merangkul bahu kami dan menatap kami secara bergantian. Aku tersenyum lega, untung saja bukan jawaban yang terlalu menohok dan juga tidak
akan memancing untuk memperpanjang topik pembicaraan."Doakan saja yang terbaik untuk Aku dan Tania." Andre juga ikut berbicara. Semua ibu-ibu tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Begitupula denganku yang memasang raut senyuman diwajahku.
Hening. Untuk sesaat. Setelah topik pembicaraan itu selesai. Sampai pada akhirnya Andre meminta izin untuk meninggalkan kami dan mengangkat panggilan dari ponselnya.
"Tania?" panggil Ibu segera ku palingkan pandanganku ke arahnya. Yang sebelumnya tertuju pada Andre.
"Iya bu. Kenapa?"
"Kamu masih mencintai Andre, kan?" tanya ibu hati-hati. Ia melirik Andre di bawah pohon yang sibuk berbicara melalui ponselnya.
Aku menelan saliva ku dengan susah payah. Sial. Pertanyaan ibu adalah pertanyaan yang selama ini aku hindari. Dan kenapa dia menanyakan ini di saat Andre tak di dekatku. Pertanyaan ini membuatku begitu bungkam. Aku tak berani untuk menjawabnya. Bukan itu. Hanya saja aku takut mengecewakan ibu dan aku tidak ingin mengacaukan moment kebahagiaan ibu malam ini.
"Tania?" panggil Ibu kemudian menepuk pelan bahuku. Aku menatapnya sekilas. Tatapan mata ibu-ibu tetangga berpusat pada kami berdua dan menunggu jawaban dariku.
"Iya bu." jawabku.
"Kamu masih belum jawab pertanyaan ibu. Apa kamu masih mencintai Andre seperti dulu?" tanya ibu dengan ekspresi wajahnya yang begitu serius. Menatap begitu dalam mataku.
Suasana begitu tegang dan aku ingin lari dari pertanyaan membunuh ini. Hanya saja aku sudah terjebak di dalamnya. Jika ingin keluar aku harus menjawab pertanyaan dulu. Mengingat ekspresi wajah ibu yang begitu serius dan ini pertanyaannya untuk yang kedua kali.
"Tentu saja ibu. Aku mencintainya!" ucapku berbohong. Dengan tatapan mata yang mengarah pada Andre. Aku sengaja melepaskan kontak mataku pada ibu.
Lagi. Ibu merangkul tubuhku dari pelukannya. Mengusap pelan pucuk kepalaku dan mengecup beberapa kali kening dan pipiku secara bergantian. "Terimakasih, nak! Ibu lega mendengarnya. Terimakasih sudah mencintai putraku dan sudah menunggunya, walaupun kalian sempat berhubungan jarak jauh. Terimakasih, sayangku." ucap ibu begitu bahagia, di akhiri dengan kecupan di keningku yang agak lama.
"Sama-sama ibu." Aku tersenyum simpul dan balas memeluknya. Air mataku perlahan-lahan jatuh dari pelupuknya.
Ya Allah... Apa yang harus aku lakukan sekarang? Wanita parubaya di depanku ini begitu menyayangiku. Dia begitu bahagia dengan kebohongan dan harapan yang aku buat. Ucapan terima kasihnya begitu tulus terucap dari bibirnya. Bagaimana jika ia tahu yang sebenarnya? Apa rasa sayangnya akan berubah jadi kebencian? Atau mungkin ucapan terima kasih nya berubah menjadi umpatan pembohong untukku.
Aku benar-benar hanya bisa pasrah nantinya. Mungkin ini keputusan yang tepat untuk saat ini. Aku akan berjanji akan memberitahunya saat waktunya tepat. Dan siap menanggung atas semua kebohongan yang telah ku buat.
Assalamualaikum readers....
Mohon tinggalkan jejak jika kalian masih ingin membaca atau menunggu kelanjutan cerita ini. Please...
Saya cuma ingin tahu, apa masih ada yang mau dan mengharapkan cerita ini berlanjut atau tidak? Di Komen yah...
Sekian & terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
I AM SORRY! (END)
General FictionBagaimana rasanya jika seorang menikah dengan orang yang justru ia benci? Yah, begitulah yang terjadi dengan seorang dr. Tania Angreanita. Mau tidak mau harus menikah dengan seseorang yang telah dijodohkan oleh orang tuanya. Lalu apa yang terjadi s...