1. Bertemu Lila

87.1K 3.3K 128
                                    

Tak kenal maka tak sayang.
Tapi baru kenal dan belum sayang, masa iya nginap di rumah orang?!

***

Nara baru selesai mengerjakan tugas di rumah Luli ketika adzan asar berkumandang. Dibereskannya buku dan alat tulis yang berserakan, lalu memasukkannya ke dalam ransel dengan posisi yang selalu sama.

Buku-buku diletakkan di saku tempat laptop yang kosong, karena dia tak mampu mengisi dengan barang yang seharusnya ada di sana. Tempat pensil di kantong utama, bersama kotak bekal dan kotak-kotak lain yang entah berisi apa. Botol air minum di saku luar sebelah kiri, sedang yang kanan berisi benda-benda semacam hand sanitizer dan body lotion. Dompet, ponsel, dan pouch koin ditaruh di saku kecil sebelah luar.

Berkali Luli, sahabatnya, mengingatkan untuk tak membiasakan menaruh barang berharganya di sana, tapi Nara tetap kekeuh. Katanya bagian itu sudah diberi perangkap tikus, biar yang mau mengambil tanpa izin kena jebret.

Begitulah Nara. Dia kalau bicara suka asal, tapi soal kerapian dan keteraturan dia tak pernah asal-asalan. Apalagi jika itu menyangkut keuangan, Nara sangat disiplin dan teliti, lebih tepatnya terpaksa ngirit sih. Tak ada pilihan lain jika ia masih ingin melanjutkan kuliah sampai selesai.

Gadis manis berkulit kuning langsat dengan rambut ikal hitam mengkilat itu yatim sejak SMP kelas tiga. Sejak itu ibunya berjualan makanan untuk menambah pemasukan. Kedua adik kembarnya saat ini baru duduk di bangku dua SMP, tentu saja butuh tak sedikit biaya. Masih mending ada uang pensiun dari mendiang ayahnya, sehingga asap dapur di rumah ibunya bisa tetap mengepul setiap hari. Tapi untuk membiayai kuliah Nara, ibunya sudah menyatakan angkat tangan.

Nara gadis cerdas dan pintar, hingga ia bisa masuk perguruan tinggi favorit dari jalur prestasi. Tak tanggung-tanggung, bangku teknik sipil sekarang ia duduki. Cita-citanya tinggi, setinggi kemauannya untuk mewujudkan mimpi. Maka dengan tekad kuat, meski terseok karena kakinya pegal, ia berusaha untuk tetap berdiri. Begitulah pengandaiannya.

Meski begitu, tak pernah sedikit pun terdengar keluh dari bibirnya. Curcol kadang ada, tapi dikemas dalam canda, sampai-sampai orang di sekitarnya tak bisa menangkap kesahnya. Kecuali Luli. Itulah sebabnya Nara merasa beruntung memiliki sahabat sepertinya.

"Nar, habis ini ikut aku ya," ajak Luli sambil melipat mukena. Mereka baru saja usai melaksanakan jamaah salat asar berdua.

"Ke mana?"

"Ke rumah Mas Fikar. Disuruh ibu ngantar makanan ke sana."

"Oh, yang istrinya baru habis meninggal beberapa hari lalu ya?"

"Iya bener."

"Maaf ya, Lul, aku nggak bisa ikut bantu-bantu waktu keluargamu lagi berduka kemarin."

"Nggak pa-pa kali. Dukacita kan nggak direncana, Nar. Memang ngepasi jadwalmu pulang kampung. Tiga bulan nggak ketemu ibu dan adik-adikmu, uh, kalo aku mungkin nggak mampu. Sama Mas Fikar yang diem, dingin, dan malesin aja aku selalu kangen kalo seminggu aja gak ketemu." Luli tertawa.

"Iya. Makasih pemaklumannya ya, Lul. Eh, kira-kira aku perlu ngucapin belasungkawa sama kakakmu nggak ya, Lul? Soalnya aku nggak kenal. Hehe."

"Terserah sih kalo itu. Eh tapi anaknya Mas Fikar kasian lho, Nar. Setiap hari dia nanyain dan nyariin mamanya. Sebenernya Mas Fikar lebih kasian lagi, karena masih sedih kehilangan dua orang yang disayangi, ditambah harus menenangkan Lila setiap hari."

"Kenapa nggak tinggal di sini aja, Lul?"

"Dari tadi lal lul lal lul mulu, emang namaku bahlul?!" Luli paling nggak suka dipanggil dengan 'Lul'. Sebaliknya, Nara justru senang menggodanya dengan memanggil 'Lul'.

Mendadak Mama (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang